Raja bukannya tak punya pertanyaan. Tapi karena malu
dianggap tak pantas duduk di jabatannya, tak kompeten dan bodoh, apa yang sudah
di ujung lidah ditelan kembali.
Singkat kata, pakaian sang raja selesai dan dipertontonkan
lewat parade di hadapan khalayak. Semua mata tertuju dan banyak mulut yang
mendecakkan kagum, hingga seorang bocah berteriak nyaring, ‘’Tapi bukankah raja
tidak mengenakan apa pun?’’
Ya, bayangkan raja berparade hanya dengan cawat tetapi
lengkap bermahkota, tongkat kebesaran, diiring pejabat tinggi kerajaan dan
decak kagum orang banyak. Tak satu pun berani mengatakan raja sedang
mempermalukan dirinya, kerajaan, dan seluruh rakyat hanya karena kuatir
dianggap tak pantas, tidak kompeten atau bodoh.
Kisah yang saya petik dari The Emperor’s New Clothes karya Hans Christian Andersen ini pertama kali diterbitkan C. A. Reitzel
bersama cerita klasik lain, The Little
Mermaid, pada 1837 di Kopenhagen. Nestapa raja yang ditipu mentah-mentah ini
adalah dongeng abadi anak-anak yang tetap relevan mengajarkan kejujuran dan
integritas. Dan lucunya, sangat kontekstual dengan Kabupaten Bolaang Mongondow
(Bolmong) hari ini.
Bupati Bolmong dan istri dikelilingi para bajingan dan
pejabat-pejabat yang sama banditnya, dengan sengaja menjerumuskan mereka dan
membiarkan ditertawai di mana-mana. Tatkala ada yang mengingatkan, dianggap
sebagai tindakan pongah, lancang, tidak tahu diri, tidak beradab, dan jauh dari
sopan-santun.
Martabat Recehan
Saya tahu persis serial tulisan yang mengkritik Bupati,
istrinya dan para antek di sekitar yang dipublikasi di blog Kronik Mongondow (lalu
dilansir pula oleh Harian Radar Totabuan
dan Media Totabuan) bakal mengundang
reaksi. Tidak perlu dukun sakti untuk menduga akan ada serangkaian tuduhan,
hujatan, ejekan dan sejenisnya yang dialamatkan ke saya (yang tidak akan
keberatan sepanjang itu punya dasar yang kokoh).
Tidak pula saya mesti marah ketika mendapatkan transkrip
percakapan di group facebook ‘’Radar
Manado Berita Biro Bolmong Raya’’ di mana Hendro Dedulah sesumbar akan menulis
pembelaan terhadap Bupati Bolmong. Seperti biasa, saya terbahak-bahak saja
karena si entah siapa ini bergaya seolah-olah mendapat restu Bupati;
seolah-olah orang dekat; dan seolah-olah punya ilmu digjaya yang siap
dikeluarkan melawan pendapat saya.
Siapa anak ini? Di mana dia waktu Salihi Mokodongan
menghadapi ejekan dan hinaan selama proses pencalonan Bupati-Wakil Bupati (Wabup)
Bolmong? Kemana pula pahlawan kesiangan kita ini ketika harga diri Salihi
Mokodongan sedang dipertaruhkan di Mahkamah Konstitusi (MK)?
Banyak betul kutu kurap di Bolmong saat ini yang tiba-tiba
merasa jagoan hanya bermodal klaim.
Pertanyaan yang sama melintas di kepala ketika mengetahui
Radar Totabuan menurunkan tulisan Metamorfosis
Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu!’’ (1 dan 2), Senin (14 Mei 2012) dan Selasa
(15 Mei 2012). Siapa orang-orang ini? Atas kepentingan apa mereka tiba-tiba
menyembulkan kepala?
Saya tahu siapa-siapa di balik tulisan itu. Bertahun-tahun
menggeluti huruf, kata dan kalimat, melatih saya dengan mudah mengenali tulisan
orang per orang. Pilihan kata, bentuk kalimat (lengkap dengan kesalahan
tanda-baca) dari tulisan tersebut membawa saya pada simpulan: A. R. Thomas
hanya sebuah nama. Tulisannya sendiri adalah hasil rembuk dengan satu orang
(yang saya tahu dan kenali persis) sebagai dirijennya.
Menjadi munafik dan pengecut mungkin menyenangkan –biasanya
juga punya daya tahan dan adaptasi luar biasa. Tapi buat saya manusia-manusia
seperti itu adalah jenis yang paling rendah: martabatnya seharga recehan. Apa
susahnya berhadap-hadapan, toh
risikonya hanya diejek?
Berani betul dia meremehkan jaringan perkauman yang
bertahun-tahun saya bangun, khususnya dengan media. Tidak perlu teori
konspirasi kalau saya ingin mengetahui lebih pasti. Cukup datang ke Radar Totabuan dan mendapatkan copy asli artikelnya (lupakan saja,
misalnya, menanyakan siapa yang mengantar artikel itu atau dikirim dengan email
apa, sebab itu melanggar etika). Jejak elektronik yang ada di artikel itu
dengan mudah menunjuk di komputer mana dan kapan artikel itu ditulis.
Pandir dengan nafsu mengebu-gebu memang gemar menggali liang
lahat sendiri. Saya pura-pura tidak tahu saja. Hanya: Jangan lupa, saya
pengingat yang baik. Bertingkah tidak tahu bukan berarti melupakan.
Sekali Lagi: Langit
Pendek
Bagaimana dengan isi tulisan yang mendadah saya
habis-habisan itu? Satu kata: Payah! Lanjutannya: Sok canggih menggunakan kata,
tapi malah norak (semakin terlatih dan pintar seorang penulis, semakin
sederhana dan tepat pilihan katanya). Ingin mengejek dan memaki (bahkan
menghina) tapi justru tampak memelas dan tak berdaya. Dan yang terpenting,
gagal menggunakan diksi, stilistika, dan substansi tulisan saya untuk menyerang
baik.
Saya malah heran Radar
Totabuan meluluskan artikel yang tujuan satu-satunya hanya memaki-maki saya
(dilakukan pula dengan cara pengecut). Substansi apa yang ingin disampaikan?
Membela Bupati Bolmong dan istri, tapi implisit mengatakan mereka bodoh dan
teramat tolol?
Semarah-marah saya pada Bupati Bolmong dan istrinya, tak ada
satu kalimat pun di artikel saya yang menyebut mereka bodoh dan teramat tolol.
Alih-alih ingin melakukan pembelaan, gerombolan di balik artikel atas nama A. R
Thomas justru ‘’membelah’’ Bupati Bolmong dan istri, mengumumkan bahwa yang
saya tulis ini sepenuhnya benar.
Masalahnya: Mengapa harus ditulis? Kalau ini jadi problem, apa
urusannya? Bukan saya yang punya persoalan, melainkan orang per orang yang
keberatan. Bila tidak ingin membaca, abaikan. Jangan melongok ke blog saya supaya nyanda tereng deng makang
hati.(Bersambung)