Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, May 16, 2012

O, Cuma Proklamasi Orang-Orang Bermartabat Receh (1)

TERSEBUTLAH dua penipu lihai yang berhasil mendekati seorang raja. Kepada baginda mereka menjanjikan pakaian maha indah dipandangan semua orang, kecuali mereka yang tidak pantas, tidak kompeten atau bodoh. Yang sebenarnya, dua tukang tipu itu hanya mematut-matut, berbuat seolah-olah sedang mengukur dan mengemas pakaian.

Raja bukannya tak punya pertanyaan. Tapi karena malu dianggap tak pantas duduk di jabatannya, tak kompeten dan bodoh, apa yang sudah di ujung lidah ditelan kembali.

Singkat kata, pakaian sang raja selesai dan dipertontonkan lewat parade di hadapan khalayak. Semua mata tertuju dan banyak mulut yang mendecakkan kagum, hingga seorang bocah berteriak nyaring, ‘’Tapi bukankah raja tidak mengenakan apa pun?’’

Ya, bayangkan raja berparade hanya dengan cawat tetapi lengkap bermahkota, tongkat kebesaran, diiring pejabat tinggi kerajaan dan decak kagum orang banyak. Tak satu pun berani mengatakan raja sedang mempermalukan dirinya, kerajaan, dan seluruh rakyat hanya karena kuatir dianggap tak pantas, tidak kompeten atau bodoh.

Kisah yang saya petik dari The Emperor’s New Clothes karya Hans Christian Andersen ini  pertama kali diterbitkan C. A. Reitzel bersama cerita klasik lain, The Little Mermaid, pada 1837 di Kopenhagen. Nestapa raja yang ditipu mentah-mentah ini adalah dongeng abadi anak-anak yang tetap relevan mengajarkan kejujuran dan integritas. Dan lucunya, sangat kontekstual dengan Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) hari ini.

Bupati Bolmong dan istri dikelilingi para bajingan dan pejabat-pejabat yang sama banditnya, dengan sengaja menjerumuskan mereka dan membiarkan ditertawai di mana-mana. Tatkala ada yang mengingatkan, dianggap sebagai tindakan pongah, lancang, tidak tahu diri, tidak beradab, dan jauh dari sopan-santun.

Martabat Recehan

Saya tahu persis serial tulisan yang mengkritik Bupati, istrinya dan para antek di sekitar yang dipublikasi di blog Kronik Mongondow  (lalu dilansir pula oleh Harian Radar Totabuan dan Media Totabuan) bakal mengundang reaksi. Tidak perlu dukun sakti untuk menduga akan ada serangkaian tuduhan, hujatan, ejekan dan sejenisnya yang dialamatkan ke saya (yang tidak akan keberatan sepanjang itu punya dasar yang kokoh).

Tidak pula saya mesti marah ketika mendapatkan transkrip percakapan di group facebook ‘’Radar Manado Berita Biro Bolmong Raya’’ di mana Hendro Dedulah sesumbar akan menulis pembelaan terhadap Bupati Bolmong. Seperti biasa, saya terbahak-bahak saja karena si entah siapa ini bergaya seolah-olah mendapat restu Bupati; seolah-olah orang dekat; dan seolah-olah punya ilmu digjaya yang siap dikeluarkan melawan pendapat saya.

Siapa anak ini? Di mana dia waktu Salihi Mokodongan menghadapi ejekan dan hinaan selama proses pencalonan Bupati-Wakil Bupati (Wabup) Bolmong? Kemana pula pahlawan kesiangan kita ini ketika harga diri Salihi Mokodongan sedang dipertaruhkan di Mahkamah Konstitusi (MK)?

Banyak betul kutu kurap di Bolmong saat ini yang tiba-tiba merasa jagoan hanya bermodal klaim.

Pertanyaan yang sama melintas di kepala ketika mengetahui Radar Totabuan menurunkan tulisan Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu!’’ (1 dan 2), Senin (14 Mei 2012) dan Selasa (15 Mei 2012). Siapa orang-orang ini? Atas kepentingan apa mereka tiba-tiba menyembulkan kepala?

Saya tahu siapa-siapa di balik tulisan itu. Bertahun-tahun menggeluti huruf, kata dan kalimat, melatih saya dengan mudah mengenali tulisan orang per orang. Pilihan kata, bentuk kalimat (lengkap dengan kesalahan tanda-baca) dari tulisan tersebut membawa saya pada simpulan: A. R. Thomas hanya sebuah nama. Tulisannya sendiri adalah hasil rembuk dengan satu orang (yang saya tahu dan kenali persis) sebagai dirijennya.

Menjadi munafik dan pengecut mungkin menyenangkan –biasanya juga punya daya tahan dan adaptasi luar biasa. Tapi buat saya manusia-manusia seperti itu adalah jenis yang paling rendah: martabatnya seharga recehan. Apa susahnya berhadap-hadapan, toh risikonya hanya diejek?

Berani betul dia meremehkan jaringan perkauman yang bertahun-tahun saya bangun, khususnya dengan media. Tidak perlu teori konspirasi kalau saya ingin mengetahui lebih pasti. Cukup datang ke Radar Totabuan dan mendapatkan copy asli artikelnya (lupakan saja, misalnya, menanyakan siapa yang mengantar artikel itu atau dikirim dengan email apa, sebab itu melanggar etika). Jejak elektronik yang ada di artikel itu dengan mudah menunjuk di komputer mana dan kapan artikel itu ditulis.

Pandir dengan nafsu mengebu-gebu memang gemar menggali liang lahat sendiri. Saya pura-pura tidak tahu saja. Hanya: Jangan lupa, saya pengingat yang baik. Bertingkah tidak tahu bukan berarti melupakan.

Sekali Lagi: Langit Pendek

Bagaimana dengan isi tulisan yang mendadah saya habis-habisan itu? Satu kata: Payah! Lanjutannya: Sok canggih menggunakan kata, tapi malah norak (semakin terlatih dan pintar seorang penulis, semakin sederhana dan tepat pilihan katanya). Ingin mengejek dan memaki (bahkan menghina) tapi justru tampak memelas dan tak berdaya. Dan yang terpenting, gagal menggunakan diksi, stilistika, dan substansi tulisan saya untuk menyerang baik.

Saya malah heran Radar Totabuan meluluskan artikel yang tujuan satu-satunya hanya memaki-maki saya (dilakukan pula dengan cara pengecut). Substansi apa yang ingin disampaikan? Membela Bupati Bolmong dan istri, tapi implisit mengatakan mereka bodoh dan teramat tolol?

Semarah-marah saya pada Bupati Bolmong dan istrinya, tak ada satu kalimat pun di artikel saya yang menyebut mereka bodoh dan teramat tolol. Alih-alih ingin melakukan pembelaan, gerombolan di balik artikel atas nama A. R Thomas justru ‘’membelah’’ Bupati Bolmong dan istri, mengumumkan bahwa yang saya tulis ini sepenuhnya benar.

Masalahnya: Mengapa harus ditulis? Kalau ini jadi problem, apa urusannya? Bukan saya yang punya persoalan, melainkan orang per orang yang keberatan. Bila tidak ingin membaca, abaikan. Jangan melongok ke blog saya supaya nyanda tereng deng makang hati.(Bersambung)