Koran yang dia pimpin, jelas Taufik, mengakui kecolongan
memuat tulisan yang sudah menyerang pribadi. Untuk itu, mereka memutuskan menghentikan
sahut-sahutan tersebut.
Bila hanya mengikuti ego, terlebih karena tahu di posisi
yang pantas menuntut, saya bisa bersikap keras kepala. Tapi sembari tertawa
saya mengatakan sangat memahami situasi yang dihadapi Taufik. Lagipula, pembaca
yang berpengetahuan dan cukup punya kewarasan tahu pasti, sejak awal saya
memposisikan Fahri Damopolii sekadar coro
yang empuk diolok-olok.
Tidak dimuat di media, saya punya blog yang dibaca cukup banyak orang. Bahkan tulisan-tulisan yang
bertebaran di media cetak terbitan lokal sejak 2007 lalu, sedianya ditulis
untuk konsumsi http://orangmongondow.blogspot.com/
dan http://kronikmongondow.blogspot.com/,
termasuk tulisan yang akhirnya memicu Fahri Damopolii bercakalele.
***
Menjejer sejarah sebuah isu adalah cara mendekati masalah dengan
jujur dan terhormat. Lewat tulisan ini saya akan menunjukkan bahwa sejak awal Radar Totabuan kecolongan karena memuat
tulisan atas nama A. R. Thomas; kemudian juga artikel Fahri Damopolii yang
substansinya menyerang saya pribadi, bukan isu-isu publik yang memang penting
dikritisi.
Sudah benar bila Fahri Damopolii harus meminta maaf pada
pembaca Radar Totabuan. Pura-pura
merendah, dengan berulang-ulang mekalumatkan dia bukan apa-apa, adalah bentuk
penonjolan ego dengan cara yang buruk. Alih-alih tampak menarik, kepura-puraan
itu hanya memperjelas dia memang culas, munafik, dan seorang pembohong kepepet
yang mengais-ngais simpati terakhir seolah-olah adalah korban (setelah gagal membantah
bahwa bangsat di balik bantal ternyata dia seorang).
Apalagi serangan pribadi terhadap saya tergolong sangat kasar,
di mana orang-orang berpedidikan bisa sampai pada simpulan: Benarkah yang
bersangkutan pernah makan sekolahan? Seberapa bengkok dan terganggu jiwanya?
Dan apa motifnya?
Berulang kali saya menuliskan, caci maki adalah mengatakan
(dan menuliskan) sekadar kata-kata kotor; sedangkan menghina adalah menuliskan
(atau mengatakan) sesuatu yang menunjukkan kelas subyek, tetapi dengan
ketrampilan tinggi. Fahri Damopolii mencaci-maki saya; sedangkan saya memang
menghina dia (apalagi yang paling pantas untuk kecoak?). Yang satu cukup
mengumpulkan serapah, sementara saya mengajari dia kelihaian olah otak dan
bahasa.
Tak dipungkiti bahwa kritik saya terhadap tokoh-tokoh dan
pejabat publik di Mongondow bermuatan tonte’ek
dan –beberapa—bahkan hinaan. Tapi hanya itu yang dapat dilakukan oleh orang
kebanyakan (sekaligus juga hiburan yang membesarkan hati) melihat perilaku mereka
yang jauh dari dapat dipercaya dan amanah.
Perihal menghina sebagai olah otak dan bahasa, ini contoh
kepiawaian itu: Fahri, cobalah berkaca, pasti Anda akan melihat seorang
laki-laki pendek, berkecenderungan gendut (bayangkan jenis hewan seperti apa
itu), dengan wajah dipenuhi bekas lobang jerawat, gigi tak putih dan
bolong-bolong, dengan rambut disemir agar ketombe tak bertaburan. Nah, apa yang
tampak di kaca adalah Anda. Tidak ganteng bukan?
Lalu cobalah hembuskan nafas, sesap bagaimana bau got
bercampur terasi yang menguar. Anda pasti tahu derajat mual yang
menghantam batok kepala. Kalau tidak percaya, tanyakan pada teman-teman di
sekitar yang itu-itu juga. Anda pasti tahu mengapa mereka agak segan bercakap
berhadap-hadapan muka.
Jenis manusia seperti itu pasti asupan makanannya
bertahun-tahun patut dipertanyakan sumber kehalalan dan kebersihannya.
***
Manakah yang benar, hemaprodit
atau hermaprodit? Sebelum mengunggah Nyali Hemaprodit ‘’Daong Lemong’’,
seorang kawan yang duduk di samping saya –kami sedang menikmati kopi bersama--
mengoreksi yang benar adalah ‘’hermaprodit’’. Saya mengiyakan sekaligus
menjelaskan bahwa saya memang sengaja menuliskan kesalahan ini, bahkan sebagai
judul.
Saya yakin Fahri Damopolii bakal terbirit-birit mencari tahu
arti katanya dan bakal menemukan yang benar adalah ‘’hermaprodit’’. Bagai lele
kelaparan, umpan itu disambar. Benar bukan, seperti yang sudah saya tuliskan,
beberapa jenis fauna air mudah dipancing, dengan kudul sekali pun. Tingkat kecerdasan dan intelektualitasnya, yang
dia sangka sudah di atas angin, tak lebih senilai ‘’kudul’’.
Dengan tahu apa itu ‘’hermaprodit’’ seharusnya dia paham
inilah cara menyindir tingkat tinggi. Mainan para pemikir, bukan gaya orang
jalanan yang sekadar menggelung lengan baju dan berteriak-teriak di pinggir
jalan.
Katakanlah bersusah payah menulis kritik untuk Penjabat
Bupati Gun Lapadengan, kemudian menulis atas nama A. R. Thomas dan terakhir
menyumpah-serapahi saya pribadi adalah bentuk kontrol publik. Kalau demikian,
kenapa dia tidak berani melakukan hal yang sama terhadap Walikota Kota Kotamobagu
(KK), Djelantik Mokodompit, dan anggota DPR Sulut, Raski Mokodompit? Padahal
Fahri Damopolii adalah penduduk dan
pegawai negeri sipil (PNS) di KK, juga ‘’katanya’’ sobat Raski Mokodompit
(patut diduga keduanya pasti kesulitan mendifinisikan apa itu ‘’Tupoksi’’). Sama
bingungnya dengan membedakan yang mana yang publik dan private, mana yang profan dan sakral.
Anggap saja sebagian besar bantahan dan alasan Fahri
Damopolii berkaitan dengan sepak-terjang Walikota KK sahih. Tapi bagaimana
dengan dusta dan sesumbar Djelantik Mokodompit berkaitan dengan isu Calon Pegawai
Negeri Sipil (CPNS) 2009, dimana dia mempertaruhkan jabatannya? Bagaimana pula
dengan kenyataan bahwa Raski Mokodompit tak beda dengan ayam kena teluh saat
ujian sarjana karena tak mampu menjawab pertanyaan apa itu ‘’Tupoksi’’ –anehnya
dia tetap gagah menyandang gelar Sarjana Hukum? Kontrol publik apa yang dia
lakukan? Gundukkan di kejauhan mampu diteropong kok bukit kotoran di depan mata sama sekali tak tampak? (Bersambung)