Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, June 1, 2012

Bibit Korup Intelektual ‘’Kudul’’ (1)

SEMBARI berjalan menuju gerbang keberangkatan, mengejar waktu sempit transit, saya bercakap-cakap dengan Pemimpin Redaksi (Pemred) Radar Totabuan, Taufiq Adam. Singkatnya, dengan sangat menyesal dia menyampaikan tulisan saya merespons caci maki Fahri Damopolii, Kambing Terbang, Alamat Palsu dan Sakit Jiwa (Radar Totabuan,Kamis siang, 31 Mei 2012), tidak akan dipublikasi.

Koran yang dia pimpin, jelas Taufik, mengakui kecolongan memuat tulisan yang sudah menyerang pribadi. Untuk itu, mereka memutuskan menghentikan  sahut-sahutan tersebut.

Bila hanya mengikuti ego, terlebih karena tahu di posisi yang pantas menuntut, saya bisa bersikap keras kepala. Tapi sembari tertawa saya mengatakan sangat memahami situasi yang dihadapi Taufik. Lagipula, pembaca yang berpengetahuan dan cukup punya kewarasan tahu pasti, sejak awal saya memposisikan Fahri Damopolii sekadar coro yang empuk diolok-olok.

Tidak dimuat di media, saya punya blog yang dibaca cukup banyak orang. Bahkan tulisan-tulisan yang bertebaran di media cetak terbitan lokal sejak 2007 lalu, sedianya ditulis untuk konsumsi http://orangmongondow.blogspot.com/ dan http://kronikmongondow.blogspot.com/, termasuk tulisan yang akhirnya memicu Fahri Damopolii bercakalele.

***

Menjejer sejarah sebuah isu adalah cara mendekati masalah dengan jujur dan terhormat. Lewat tulisan ini saya akan menunjukkan bahwa sejak awal Radar Totabuan kecolongan karena memuat tulisan atas nama A. R. Thomas; kemudian juga artikel Fahri Damopolii yang substansinya menyerang saya pribadi, bukan isu-isu publik yang memang penting dikritisi.

Sudah benar bila Fahri Damopolii harus meminta maaf pada pembaca Radar Totabuan. Pura-pura merendah, dengan berulang-ulang mekalumatkan dia bukan apa-apa, adalah bentuk penonjolan ego dengan cara yang buruk. Alih-alih tampak menarik, kepura-puraan itu hanya memperjelas dia memang culas, munafik, dan seorang pembohong kepepet yang mengais-ngais simpati terakhir seolah-olah adalah korban (setelah gagal membantah bahwa bangsat di balik bantal ternyata dia seorang).

Apalagi serangan pribadi terhadap saya tergolong sangat kasar, di mana orang-orang berpedidikan bisa sampai pada simpulan: Benarkah yang bersangkutan pernah makan sekolahan? Seberapa bengkok dan terganggu jiwanya? Dan apa motifnya?

Berulang kali saya menuliskan, caci maki adalah mengatakan (dan menuliskan) sekadar kata-kata kotor; sedangkan menghina adalah menuliskan (atau mengatakan) sesuatu yang menunjukkan kelas subyek, tetapi dengan ketrampilan tinggi. Fahri Damopolii mencaci-maki saya; sedangkan saya memang menghina dia (apalagi yang paling pantas untuk kecoak?). Yang satu cukup mengumpulkan serapah, sementara saya mengajari dia kelihaian olah otak dan bahasa.

Tak dipungkiti bahwa kritik saya terhadap tokoh-tokoh dan pejabat publik di Mongondow bermuatan tonte’ek dan –beberapa—bahkan hinaan. Tapi hanya itu yang dapat dilakukan oleh orang kebanyakan (sekaligus juga hiburan yang membesarkan hati) melihat perilaku mereka yang jauh dari dapat dipercaya dan amanah.

Perihal menghina sebagai olah otak dan bahasa, ini contoh kepiawaian itu: Fahri, cobalah berkaca, pasti Anda akan melihat seorang laki-laki pendek, berkecenderungan gendut (bayangkan jenis hewan seperti apa itu), dengan wajah dipenuhi bekas lobang jerawat, gigi tak putih dan bolong-bolong, dengan rambut disemir agar ketombe tak bertaburan. Nah, apa yang tampak di kaca adalah Anda. Tidak ganteng bukan?

Lalu cobalah hembuskan nafas, sesap bagaimana bau got bercampur terasi yang menguar. Anda pasti tahu derajat mual yang menghantam batok kepala. Kalau tidak percaya, tanyakan pada teman-teman di sekitar yang itu-itu juga. Anda pasti tahu mengapa mereka agak segan bercakap berhadap-hadapan muka.

Jenis manusia seperti itu pasti asupan makanannya bertahun-tahun patut dipertanyakan sumber kehalalan dan kebersihannya.

***

Manakah yang benar, hemaprodit atau hermaprodit? Sebelum mengunggah Nyali Hemaprodit ‘’Daong Lemong’’, seorang kawan yang duduk di samping saya –kami sedang menikmati kopi bersama-- mengoreksi yang benar adalah ‘’hermaprodit’’. Saya mengiyakan sekaligus menjelaskan bahwa saya memang sengaja menuliskan kesalahan ini, bahkan sebagai judul.

Saya yakin Fahri Damopolii bakal terbirit-birit mencari tahu arti katanya dan bakal menemukan yang benar adalah ‘’hermaprodit’’. Bagai lele kelaparan, umpan itu disambar. Benar bukan, seperti yang sudah saya tuliskan, beberapa jenis fauna air mudah dipancing, dengan kudul sekali pun. Tingkat kecerdasan dan intelektualitasnya, yang dia sangka sudah di atas angin, tak lebih senilai ‘’kudul’’.

Dengan tahu apa itu ‘’hermaprodit’’ seharusnya dia paham inilah cara menyindir tingkat tinggi. Mainan para pemikir, bukan gaya orang jalanan yang sekadar menggelung lengan baju dan berteriak-teriak di pinggir jalan.

Katakanlah bersusah payah menulis kritik untuk Penjabat Bupati Gun Lapadengan, kemudian menulis atas nama A. R. Thomas dan terakhir menyumpah-serapahi saya pribadi adalah bentuk kontrol publik. Kalau demikian, kenapa dia tidak berani melakukan hal yang sama terhadap Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit, dan anggota DPR Sulut, Raski Mokodompit? Padahal Fahri  Damopolii adalah penduduk dan pegawai negeri sipil (PNS) di KK, juga ‘’katanya’’ sobat Raski Mokodompit (patut diduga keduanya pasti kesulitan mendifinisikan apa itu ‘’Tupoksi’’). Sama bingungnya dengan membedakan yang mana yang publik dan private, mana yang profan dan sakral.

Anggap saja sebagian besar bantahan dan alasan Fahri Damopolii berkaitan dengan sepak-terjang Walikota KK sahih. Tapi bagaimana dengan dusta dan sesumbar Djelantik Mokodompit berkaitan dengan isu Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2009, dimana dia mempertaruhkan jabatannya? Bagaimana pula dengan kenyataan bahwa Raski Mokodompit tak beda dengan ayam kena teluh saat ujian sarjana karena tak mampu menjawab pertanyaan apa itu ‘’Tupoksi’’ –anehnya dia tetap gagah menyandang gelar Sarjana Hukum? Kontrol publik apa yang dia lakukan? Gundukkan di kejauhan mampu diteropong kok bukit kotoran di depan mata sama sekali tak tampak? (Bersambung)