James Fallows memang piawai. Apalagi yang harus diragukan
dari penulis yang bertahun-tahun bekerja sebagai wartawan The Atlantic Monthly, editor U.S.
News & World Report, serta Ketua Tim Penulis Pidato (Presiden) Jimmy
Carter? Minatnya yang luas terekspresi dari buku-buku yang dipublikasi, semisal
National Defense (Random House, 1981), Breaking the
News: How the Media Undermine American Democracy (Pantheon Books, 1996), Blind
into Baghdad: America's War in Iraq (Vintage,2006), hingga yang terbaru, China
Airborne (Random House, 2012).
Di salah satu
bagian dari buku yang tak hendak saya letakkan sebelum selesai hingga halaman
terakhir, saya terbahak-bahak membaca bagaimana James Fallows menulis mantan
Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi, sebagai ‘’si idiot’’. Penahbisan ini
karena kunjungan kehormatannya ke pekuburan tentara Jepang dan korban Perang
Dunia (PD) II, Yasukuni Shrine, pernah mengakibatkan hubungan Cina-Jepang
meriang dan sentiment anti Jepang memanas di Cina.
Penilaian
blak-blakkan terhadap PM Jepang itu bukan sekadar serapah yang tercetus begitu
saja. James Fallows menuliskan alasan-alasan kuat mengapa akhirnya Junichiro
Koizumi memang pantas disebut ‘’si idiot’’.
Seketika pula
saya teringat pada sutradara film dokumenter dan penulis eksentrik, Michael
Moore, yang menulis buku penuh hujatan dan serapah terhadap Presiden Amerika
Serikat (AS), George Bush Jr. Stupid
White Men (HarperCollins, 2001) menjadi salah satu buku favorit saya bukan
semata karena itu hadiah sangat berarti, melainkan karena isinya memang asyik.
***
Senin siang (4
Juni 2012), di antara beberapa pesan BlackBerry
Messenger (BBM) yang masuk, salah satunya berisi foto berita Harian Radar Totabuan, halaman 16, Katamsi-Fahri Diminta Debat Publik. Yang
dikutip sebagai sumber masing-masing Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia
(KNPI) Kota Kotamobagu (KK), Rubiyanto Suid, dan Ketua Karang Taruna KK, Sofian
Bede.
Reaksi pertama
saya adalah bertanya-tanya, ‘’Apa maunya Radar
Totabuan?’’ Kamis pekan lalu (31 Mei 2012) harian ini memuat tulisan Fahri
Damopolii yang isinya (sebagaimana dua tulisan sebelumnya) mencaci-maki saya
secara verbal, fisik, dan bersifat pribadi. Di hari yang sama, lewat telepon
Pemimpin Redaksi (Pemred) Radar Totabuan
menyampaikan karna satu dan lain hal, tulisan tanggapan saya tidak akan dimuat
lagi. Pendeknya: Radar Totabuan
menghentikan sahut-sahutan antara saya dengan Fahri Damopolii.
Sekali lagi
saya harus menuliskan, saya memahami sikap Radar
Totabuan. Tetapi dengan pemberitaan terbaru koran ini, tampaknya harus
diingatkan bahwa, pertama, Radar Totabuan-lah yang memulai
genderang serangan yang bersifat pribadi dengan memuat tulisan A. R. Thomas
atawa Fahri Damopolii. Kedua,
tanggapan atas tanggapan tulisan saya oleh Fahri Damopolii, secara
terang-terangan melanggar semua asas dan kepatutan publikasi media massa umum,
yang anehnya tetap diberi ruang oleh Redaksi Radar Totabuan.
Asas dan
kepatutan yang saya maksud adalah, media boleh memuat kritik, hujatan, hinaan,
bahkan caci-maki verbal terhadap seseorang, sekelompok orang, lembaga, atau
institusi, sepanjang itu punya dasar dan alasan yang kuat. Yang tak kurang
penting, tidak bersifat tendensius, fisik, dan pribadi. Contohnya seperti yang
ditulis James Fallows atau Michael Moore.
Ketiga, kalau pun sudah terlanjur –dengan alasan apa pun--, semestinya
kedua pihak yang berhadap-hadapan mendapat porsi yang sama. Saya kira untuk isu
saling sahut antara saya dan Fahri Damopolii, Redaksi Radar Totabuan harus mengakui telah bersikap semena-mena. Fahri
Damopolii memulai serangan, saya tanggapi, dia menyerang lagi, saya tanggapi,
dia terus menyerang, dan kemudian giliran saya ditutup. Apa boleh buat, Radar Totabuan yang memulai, Radar Totabuan pula yang mengakhiri.
Puas atau tidak, itu sepenuhnya hak mereka.
Saya tidak
heran bila ada spekulasi yang mengatakan Radar
Totabuan memang berkonspirasi untuk menciderai sikap kritis saya, khususnya
terhadap beberapa pejabat publik di Mongondow. Karena saya tidak menyukai
spekulasi dan teori konspirasi, ya, duga-duga itu diabaikan saja.
Yang jelas,
saya memang diperlakukan dengan tidak adil. Apalagi di satu sisi dicaci secara
verbal, fisik, dan tanpa dasar kuat; sementara di sisi lain saya tetap setia
pada sikap bahwa celaan –bahkan cacian dan hinaan-- sampai taraf yang brutal
sekali pun, boleh sepanjang dasar dan alasannya kuat dan rasional. Sikap ini
saya kira bisa diuji oleh satu panel independen yang khatam seluk-beluk
tulis-menulis.
***
Pemberitaan Katamsi-Fahri Diminta Debat Publik pada akhirnya
mengundang prasangka. Demi kepentingan apakah dan siapakah berita itu ditulis?
Kalau kepentingan publik, apa yang harus diperdebatkan? Caci-maki pribadi Fahri
Damopolii terhadap saya; atau sikap kritis saya, termasuk dengan membedakan
wilayah publik dan private?
Kalau caci-maki
pribadi, saya tidak punya niat sama sekali menyepelekan orang-orang Mongondow
yang sudah tahu pasti mana yang wilayah pribadi dan mana ranah umum. Masak anak
muda mengalomania yang merasa besar kepala sendiri harus ditanggapi serius?
Sikap kritis
saya terhadap kepentingan publik? Bila isu ini yang akan diperdebatkan, siapa
yang akan duduk berhadapan dengan saya? Apa masalah yang akan dikupas? Bukankah
kepentingan publiklah yang saya tuliskan selama ini, yang sesungguhnya sudah
menjadi pengetahuan umum yang di keseharian dilihat, didengar, dan diketahui
masyarakat Mongondow? Bedanya saya menyuarakan dengan terbuka, sementara yang
lain (dengan alasan yang hanya Tuhan dan orang per orang yang tahu) memilih
menyikapi dengan cara masing-masing.
Dengan tetap
menghormati Rubiyanto Suid dan Sofian Bede (utamanya sebagai ketua organisasi),
saya menyarankan keduanya untuk lebih kreatif. Ada banyak isu lain yang
memerlukan sumbang-saran Anda berdua. Mengusulkan debat tidak perlu bukan hanya
lebay dan buang-buang waktu, tetapi
juga mengundang prasangka lain: Niat apa lagi yang ada di balik usul yang
seolah-olah atas nama kepentingan umum itu? Dan umum yang mana yang dimaksud?
Lebih elegan
bagi KNPI KK melakukan terobosan demi kepentingan kaum muda, misalnya soal
pendidikan, mentalitas, independensi, kreativitas, dan kejujuran. Demikian pula
dengan Karang Taruna KK yang setahu saya namanya terdengar tetapi tak ada
(bahkan sekadar) bunyi dan desau berkaitan dengan kerja nyatanya.
Namun bila
debat tetap dianggap perlu, rumah kopi (Jalan Roda) KK bisa jadi arena yang
akomodatif. Kalau dianggap kurang memadai dan seru, ada Jalan Roda di Manado.
Dan percayalah, ‘’pembantaian’’ di Jalan Roda –terlebih di Manado—lebih kejam
dari ruang opini Radar Totabuan.***