Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, June 5, 2012

Kau yang Memulai, Kau yang Mengakhiri

HAMPIR sepanjang siang hingga malam, Minggu (3 Juni 2012), saya melahap karya James Fallows, Postcards from Tomorrow Square: Reports from Cina (Knopf, 2009). Tidak ada yang lebih nikmat dari membaca buku bagus yang ditulis seorang pencerita mahir.

James Fallows memang piawai. Apalagi yang harus diragukan dari penulis yang bertahun-tahun bekerja sebagai wartawan The Atlantic Monthly, editor U.S. News & World Report, serta Ketua Tim Penulis Pidato (Presiden) Jimmy Carter? Minatnya yang luas terekspresi dari buku-buku yang dipublikasi, semisal National Defense (Random House, 1981), Breaking the News: How the Media Undermine American Democracy (Pantheon Books, 1996), Blind into Baghdad: America's War in Iraq (Vintage,2006), hingga yang terbaru, China Airborne (Random House, 2012).

Di salah satu bagian dari buku yang tak hendak saya letakkan sebelum selesai hingga halaman terakhir, saya terbahak-bahak membaca bagaimana James Fallows menulis mantan Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi, sebagai ‘’si idiot’’. Penahbisan ini karena kunjungan kehormatannya ke pekuburan tentara Jepang dan korban Perang Dunia (PD) II, Yasukuni Shrine, pernah mengakibatkan hubungan Cina-Jepang meriang dan sentiment anti Jepang memanas di Cina.

Penilaian blak-blakkan terhadap PM Jepang itu bukan sekadar serapah yang tercetus begitu saja. James Fallows menuliskan alasan-alasan kuat mengapa akhirnya Junichiro Koizumi memang pantas disebut ‘’si idiot’’.

Seketika pula saya teringat pada sutradara film dokumenter dan penulis eksentrik, Michael Moore, yang menulis buku penuh hujatan dan serapah terhadap Presiden Amerika Serikat (AS), George Bush Jr. Stupid White Men (HarperCollins, 2001) menjadi salah satu buku favorit saya bukan semata karena itu hadiah sangat berarti, melainkan karena isinya memang asyik.

***

Senin siang (4 Juni 2012), di antara beberapa pesan BlackBerry Messenger (BBM) yang masuk, salah satunya berisi foto berita Harian Radar Totabuan, halaman 16, Katamsi-Fahri Diminta Debat Publik. Yang dikutip sebagai sumber masing-masing Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Kotamobagu (KK), Rubiyanto Suid, dan Ketua Karang Taruna KK, Sofian Bede.

Reaksi pertama saya adalah bertanya-tanya, ‘’Apa maunya Radar Totabuan?’’ Kamis pekan lalu (31 Mei 2012) harian ini memuat tulisan Fahri Damopolii yang isinya (sebagaimana dua tulisan sebelumnya) mencaci-maki saya secara verbal, fisik, dan bersifat pribadi. Di hari yang sama, lewat telepon Pemimpin Redaksi (Pemred) Radar Totabuan menyampaikan karna satu dan lain hal, tulisan tanggapan saya tidak akan dimuat lagi. Pendeknya: Radar Totabuan menghentikan sahut-sahutan antara saya dengan Fahri Damopolii.

Sekali lagi saya harus menuliskan, saya memahami sikap Radar Totabuan. Tetapi dengan pemberitaan terbaru koran ini, tampaknya harus diingatkan bahwa, pertama, Radar Totabuan-lah yang memulai genderang serangan yang bersifat pribadi dengan memuat tulisan A. R. Thomas atawa Fahri Damopolii. Kedua, tanggapan atas tanggapan tulisan saya oleh Fahri Damopolii, secara terang-terangan melanggar semua asas dan kepatutan publikasi media massa umum, yang anehnya tetap diberi ruang oleh Redaksi Radar Totabuan.

Asas dan kepatutan yang saya maksud adalah, media boleh memuat kritik, hujatan, hinaan, bahkan caci-maki verbal terhadap seseorang, sekelompok orang, lembaga, atau institusi, sepanjang itu punya dasar dan alasan yang kuat. Yang tak kurang penting, tidak bersifat tendensius, fisik, dan pribadi. Contohnya seperti yang ditulis James Fallows atau Michael Moore.

Ketiga, kalau pun sudah terlanjur –dengan alasan apa pun--, semestinya kedua pihak yang berhadap-hadapan mendapat porsi yang sama. Saya kira untuk isu saling sahut antara saya dan Fahri Damopolii, Redaksi Radar Totabuan harus mengakui telah bersikap semena-mena. Fahri Damopolii memulai serangan, saya tanggapi, dia menyerang lagi, saya tanggapi, dia terus menyerang, dan kemudian giliran saya ditutup. Apa boleh buat, Radar Totabuan yang memulai, Radar Totabuan pula yang mengakhiri. Puas atau tidak, itu sepenuhnya hak mereka.

Saya tidak heran bila ada spekulasi yang mengatakan Radar Totabuan memang berkonspirasi untuk menciderai sikap kritis saya, khususnya terhadap beberapa pejabat publik di Mongondow. Karena saya tidak menyukai spekulasi dan teori konspirasi, ya, duga-duga itu diabaikan saja.

Yang jelas, saya memang diperlakukan dengan tidak adil. Apalagi di satu sisi dicaci secara verbal, fisik, dan tanpa dasar kuat; sementara di sisi lain saya tetap setia pada sikap bahwa celaan –bahkan cacian dan hinaan-- sampai taraf yang brutal sekali pun, boleh sepanjang dasar dan alasannya kuat dan rasional. Sikap ini saya kira bisa diuji oleh satu panel independen yang khatam seluk-beluk tulis-menulis.

***

Pemberitaan Katamsi-Fahri Diminta Debat Publik pada akhirnya mengundang prasangka. Demi kepentingan apakah dan siapakah berita itu ditulis? Kalau kepentingan publik, apa yang harus diperdebatkan? Caci-maki pribadi Fahri Damopolii terhadap saya; atau sikap kritis saya, termasuk dengan membedakan wilayah publik dan private?

Kalau caci-maki pribadi, saya tidak punya niat sama sekali menyepelekan orang-orang Mongondow yang sudah tahu pasti mana yang wilayah pribadi dan mana ranah umum. Masak anak muda mengalomania yang merasa besar kepala sendiri harus ditanggapi serius?

Sikap kritis saya terhadap kepentingan publik? Bila isu ini yang akan diperdebatkan, siapa yang akan duduk berhadapan dengan saya? Apa masalah yang akan dikupas? Bukankah kepentingan publiklah yang saya tuliskan selama ini, yang sesungguhnya sudah menjadi pengetahuan umum yang di keseharian dilihat, didengar, dan diketahui masyarakat Mongondow? Bedanya saya menyuarakan dengan terbuka, sementara yang lain (dengan alasan yang hanya Tuhan dan orang per orang yang tahu) memilih menyikapi dengan cara masing-masing.

Dengan tetap menghormati Rubiyanto Suid dan Sofian Bede (utamanya sebagai ketua organisasi), saya menyarankan keduanya untuk lebih kreatif. Ada banyak isu lain yang memerlukan sumbang-saran Anda berdua. Mengusulkan debat tidak perlu bukan hanya lebay dan buang-buang waktu, tetapi juga mengundang prasangka lain: Niat apa lagi yang ada di balik usul yang seolah-olah atas nama kepentingan umum itu? Dan umum yang mana yang dimaksud?

Lebih elegan bagi KNPI KK melakukan terobosan demi kepentingan kaum muda, misalnya soal pendidikan, mentalitas, independensi, kreativitas, dan kejujuran. Demikian pula dengan Karang Taruna KK yang setahu saya namanya terdengar tetapi tak ada (bahkan sekadar) bunyi dan desau berkaitan dengan kerja nyatanya.

Namun bila debat tetap dianggap perlu, rumah kopi (Jalan Roda) KK bisa jadi arena yang akomodatif. Kalau dianggap kurang memadai dan seru, ada Jalan Roda di Manado. Dan percayalah, ‘’pembantaian’’ di Jalan Roda –terlebih di Manado—lebih kejam dari ruang opini Radar Totabuan.***