Saya menerima kabar putusan terhadap Hardi, yang didakwa
berkaitan dengan skandal penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) Kota
Kotamobagu (KK) 2009, menjelang petang. Mengingat terlampau banyak bisik-bisik
tidak bertanggungjawab, saya kemudian mengirim pesan pendek (SMS) dan
BlackBerry Messenger (BBM), meng-cross
check ke sejumlah orang. Termasuk ke beberapa kawan wartawan yang setahu
saya intens mengikuti isu ini.
Ternyata info itu benar adanya, yang berarti Hardi
Mokodompit menjadi terdakwa pertama yang sudah mendapatkan kepastian hukum (dua
lainnya adalah mantan Sekretaris Kota –Sekkot, Muhamad Mokoginta dan mantan
Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah, Idris Manoppo). Kendati, menanggapi
vonis yang dia terima, Hardi menyatakan masih berpikir apakah banding atau
menerima keputusan Majelis Hakim.
***
Di Jalan Amal, puluhan tahun silam, Hardi Mokodompit adalah
salah seorang yang kami (yang berusia lebih muda) kagumi. Dia tergolong
generasi pertama dari lingkungan kami yang menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA)
dan masuk Perguruan Tinggi (PT) dengan sangat smooth. Ketika akhirnya saya menyusul ke fakultas yang berbeda di
Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Hardi sudah hampir menamatkan kuliahnya
(dan tepat waktu).
Di era saya Hardi dikenal sebagai anak manis-baik. Jangankan
membuat ulah, perkelahian antar kaum muda yang ketika itu sudah jadi semacam
olahraga di Jalan Amal, dia sama sekali tak pernah terlibat. Orang-orang tua
suka menjadikan dia contoh bagaimana anak-anak mesti bersikap. Saya kenyang
mendengar omelan seperti, ‘’Lia pa Hardi,
nyanda pernah bekeng ribut deng bekeng malo rupa ngoni-ngoni ini.’’
Tamat kuliah dia kembali ke Mongondow, menjadi birokrat
dengan karir yang menanjak cepat dibanding rekan-rekan seangkatannya. Di
beberapa kesempatan (terutama Idul Fitri), kami kerap bertemu dan bertukar
cerita, apalagi dia kemudian membangun kediaman tepat berhadapan dengan rumah
Ayah-Ibu saya.
Melihat karirnya, saya menyakini Hardi punya peluang terus meroket.
Optimisme itu saya sampaikan ketika di hari kedua Idul Fitri 2011 lalu dia dan
istri bertandang ke rumah Ayah-Ibu dan saya kebetulan ada. Sembari bergurau,
saya mengatakan dia adalah kandidat terkuat Sekkot KK berikutnya. Kalau pun ada
satu dan lain hal yang jadi pertimbangan, karena dia menyandang marga yang sama
dengan Walikota: Mokodompit.
Di Mongondow, di mana marga menunjukkan hubungan
kekerabatan, promosi politik dan birokrasi mudah dikait-kaitan dengan kolusi,
korupsi dan nepotisme (KKN). Dan demikianlah faktanya. Walau percaya terhadap
kompetensi Hardi, saya juga tidak menutup mata pasti ada sinisme bila dia
dijadikan kandidat Sekkot. Mudah bagi warga KK meruyakkan spekulasi, ‘’Nyanda herang, sama-sama Mokodompit
toh….’’
***
Sedih adalah sesuatu yang gampang dikatakan, tapi sulit
didiskripsikan. Mendengar vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim pada Hardi, saya
mesti mengakui didera campuran antara sesal dan amarah. Di sidang-sidang
skandal CPNS KK 2009 yang saya ikuti, antaranya yang terus-menerus dilaporkan
oleh Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com),
tampak jelas para terdakwa sebenarnya terjerat hanya karena mematuhi perintah
atasan.
Bagi awam hukum seperti saya, dari sisi hirarki birokrasi,
Hardi Mokodompit berada di posisi tengah, di bawah Sekkot dan Walikota. Dengan
demikian, bila secara hukum dia terbukti bersalah, maka otomatis Sekkot
bersalah. Kesalahan yang sama juga tak dapat dielakkan oleh Kepala Badan
Kepegawaian dan Diklat KK.
Rabu (2 Mei 2012) Tribun
Manado (Kedua Terdakwa Mengakui
Keterlibatan Wali Kota Kotamobagu) menuliskan kesaksian Muhamad Mokoginta
dan Idris Manoppo yang sudah menunjuk hidung: Walikota dan Wakil Walikota
(Wawali) KK ikut serta dalam ‘’permainan’’ CPNS KK. Aparat berwenang, terutama
polisi, semestinya tidak tuli, buta, apalagi goblok, untuk segera
menindak-lanjuti pengakuan (di bawah sumpah) yang dinyatakan di depan Majelis
Hakim itu.
Atasan macam apa yang membiarkan bawahannya, yang hanya
mematuhi perintah, harus menanggung risiko? Menurut hemat saya, atasan jenis
ini bukan hanya tidak pantas dihormati, melainkan boleh diludahi tepat di kedua
bola matanya. Sebaliknya, bawahan yang bersedia menerima risiko tanpa reserve atas sesuatu semata karena
patuh, tidak lebih dari keledai.
Skandal CPNS KK bukan masalah administrasi atau kebijakan.
Kasus ini adalah tindak-pidana. Sebab itu, kalau Hardi Mokodompit bersedia
menerima hukuman yang dijatuhkan Majelis Hakim, dia berhak menggugat atasan
yang telah menjerumuskan ke balik bui. Hal yang sama seharusnya dipahami pula
oleh mantan Sekkot dan Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat KK.
Di sisi lain, atasan yang mestinya melindungi dan
mengarahkan bawahan selayaknya tahu diri. Pernyataan Walikota KK di Harian Manado Post, Rabu, 13 Juni 2012 (CPNS Tak Masalah), lebih pantas dimaknai
sebagai kata-kata orang mabuk. Di mana logika skandal CPNS KK 2009 tidak
berkaitan dengan korupsi sebagaimana pengertian yang umumnya diketahui orang?
Definisi korupsi mana yang tidak diketahui Walikota yang
terakhir bergelar master ekonomi? Adoh,
Pak Walikota, makanya jangan beli ijazah. Uang negara yang dihambur-hamburkan,
gagalnya kesempatan negara (khususnya KK) mendapatkan sumber daya manusia (SDM)
terbaik, serta sogok-menyogok demi meluluskan CPNS, jelas adalah tindak pidana
korupsi. Untuk urusan CPNS KK, lebih baik Walikota Djelantik Mokodompit menutup
rapat-rapat mulutnya, lalu rajin berdoa (tidak perlu ke dukun) supaya aparat
berwenang tetap mau ‘’diberi makan’’ agar malas dan akhirnya memasukkan dugaan
keterlibatannya ke dalam file kategori
dark number.
Mengorbankan tiga orang birokrat papan atas KK (dengan
kemungkinan ada lagi ikutannya), sudah cukup pahit bagi warga Kotamobagu. Belum
lagi kalau kasus ini dipersoalkan sebagai cacat yang akhirnya menggugurkan
seluruh proses rekrutmen CPNS KK 2009. Kabar buruk ini berarti: Seluruh CPNS
2009 yang lulus dibatalkan dan mereka yang kini menyandang PNS dipaksa
menggembalikan uang negara yang sudah diterima.***