Di tengah jalan tiba-tiba tebersit ide melewati Penjara
Fremantle yang riwayatnya tak bisa dipisahkan dari kota ini. Selesai dibangun
pada 1850-an dan digunakan hingga 1991 sebagai tempat mengerangkeng orang-orang
hukuman yang diangkut dari Inggris, penjara ini masih berdiri kokoh dan menjadi
salah satu lanskap kota sekaligus tujuan wisata populer.
Kami yang berjalan berombong bersepakat mengagumi ketahanan
konstruksinya. Lalu satu per satu mulai membagi pengetahuan dan pengalaman dari
negeri masing-masing berkenaan dengan peninggalan sejarah, terutama
bangunan-bangunan tua dan antik yang tetap berdiri (dan digunakan) kendati
sudah berusia ratusan tahun.
Percakapan kian seru ketika menyentuh topik sensitif:
Mengapa di banyak tempat (termasuk Indonesia) peninggalan masa lalu dirobohkan
dan diganti dengan gedung-gedung modern –yang kerap justru jauh dari ideal
disandingkan dengan sekitarnya. Yang tidak mengenakkan, bangunan-bangunan baru (lebih
luas lagi infrastruktur lain) yang dikategorikan sebagai fasilitas publik, dikonstruksi
asal-asalan dan sekadar jadi. Alhasil, jangankan mencapai usia ratusan,
hitungan puluh tahun saja tidak.
Topik terus bergeser hingga ke problem klasik, korupsi yang
menggerogoti peradaban manusia.
***
Di depan gerbang Penjara Fremantle, di bawah naungan tembok
tua yang tak berubah banyak di usia hampir dua abad, salah seorang mahasiswa
UWA asal Jamaika yang sedang menjalani studi S2 Forensic Sciance, Kimberlyn Campbell, berkisah tentang dua orang
sahabat dimana yang satu lebih berdaya secara ekonomi dibanding yang lain.
Satu hari, tutur Kimberlyn, si sahabat kaya meminta bantuan temannya
yang kebetulan paham seluk-beluk kontruksi dan manajemen teknik untuk membangun
sebuah rumah. Seluruh urusan, kecuali dana yang disediakan didepan, sepenuhnya
diserahkan pada sang teman. Mulai dari mencari tanah, mendesain, memilih
material, membangun hingga rumah itu siap huni. Pesannya cuma satu: Bangunlah
rumah itu seperti membangun milik sendiri.
Bagai mendapat durian runtuh, teman yang diserahi
kepercayaan itu bergegas mengerjakan tanggungjawab yang disepakati. Sayangnya,
keuntungan sesaat membutakan matanya. Tanah yang dipilih bukanlah di lokasi
terbaik. Disain bangunan yang semestinya prima, dibuat sekadarnya. Demikian
pula, material yang digunakan untuk kontruksi serta fasilitas pendukung
bukanlah yang berkualitas nomor satu.
Sebuah rumah akhirnya berdiri dan siap huni. Tetapi
dibanding biaya yang disediakan, apa yang tersaji jauh dari ‘’harga
sepantasnya’’.
Di hari kunci akan diserahkan, teman berpunya yang baik hati
itu datang dan memeriksa rumah yang telah dibangun. Dia berkeliling, mengecek
satu per satu tanpa suara, hingga mereka berdua duduk berhadap-hadapan di ruang
tamu. Lalu dengan tenang dia menyodorkan kunci rumah pada sahabatnya dan
berkata, ‘’Terimalah rumah yang kau bantu bangun ini sebagai hadiah atas
persahabatan kita. Sejak mula ini memang diniatkan menjadi milik dan hakmu.’’
***
Cerita Kimberlyn melekat di kepala di sisa hari yang
diwarnai percakapan aneka topik, lelucon, dan tawa. Kalau pun kisah dua orang
sahabat itu hanya pengadaian inspirasional atau pembangkit semangat (yang
biasanya dijajakan para motivator), saya mengakui ampuh jadi reminder jendela kesadaran. Sedihnya
yang tampak adalah Mongondow dengan orang-orang yang telah menyia-nyiakan
‘’rumah yang semestinya mereka bangun untuk mereka sendiri’’.
Beberapa jam sebelumnya di Kontraonline saya membaca Selasa pekan lalu (29 Mei 2012) Kantor
Bupati Bolaang Mongundow Utara (Bolmut) kembali nyaris terbakar. Digunakannya frasa
‘’kembali nyaris terbakar’’ karena menurut catatan wartawan yang menulis,
peristiwa yang sama pernah pula terjadi beberapa bulan lampau, tepatnya Kamis
23 Februari 2012. Penyebabnya sama, hubungan pendek arus listrik yang diduga
diakibatkan penggunaan kabel yang tak sesuai spesifikasi.
Kabel yang tak sesuai spesifikasi jelas tindak manipulasi
dan korupsi. Kerugian yang ditimbulkan bukan hanya uang atau kian rusaknya
kepercayaan terhadap pemerintah dan aparatnya, tetapi juga goyahnya kebanggaan
masyarakat Bolmut terhadap eksistensi mereka yang direpresentasikan melalui
simbol-simbol seperti Kantor Bupati atau fasilitas umum penting lainnya.
Tapi di manakah di empat kabupaten dan satu kota di seantero
Mongondow yang fasilitas dan infrastruktur umumnya benar-benar dapat
dibanggakan? Kantor Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) di Lolak atau Bolaang
Mongondow Timur (Boltim) di Tutuyan yang baru dibangun, tidak lebih baik dari
yang ada di Bolmut, yang bila instalasi listriknya tetap dipertahankan tinggal
menunggu waktu pasti memercikkan api lagi.
Kantor Bupati sebagai titik pusat kabupaten terang-terangan
dibangun sesukanya, bagaimana dengan infrastruktur yang tingkat kepentingannya
berada di prioritas dua atau tiga? Bupati dan Walikota di Mongondow boleh
berbusa-busa pidato tentang pentingnya pengembangan ekonomi, misalnya, namun
faktanya mereka tak peduli terhadap pasar (dalam pengertian infrastruktur)
sebagai aspek pendukung yang langsung bersentuhan dengan rakyat banyak.
Dua pasar rakyat Kota Kotamobagu (KK), Genggulang dan Poyowa
Kecil, adalah contoh bagaimana ‘’rumah sendiri’’ pun dibangun serampangan dan
sekadar ada. Pemerintah Kota (Pemkot) KK mengabaikan bahwa fasilitas ini akan
menjadi bagian dari tanggungjawabnya untuk waktu sangat panjang.
Keuntungan jangka pendek yang dinikmati segelintir orang
telah mengabaikan hajat hidup orang banyak. Padahal kita –tak hanya di
Mongondow, melainkan sebagai warga Indonesia-- memiliki dan hidup di ‘’rumah
yang sama’’, yang akan diwariskan pada generasi berikut.***