Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, June 3, 2012

Korupsi dan Cerita Tentang Sebuah Rumah

MATAHARI menghangatkan udara autumn di Western Australia, Sabtu (2 Juni 2012), ketika saya dan beberapa mahasiswa University of Western Australia (UWA) berjalan kaki menuju Stasiun Kereta Fremantle. Kami baru saja mengunjungi Shipwreck Museum yang punya koleksi luar biasa, antaranya (yang membuat saya ternganga-nganga) sepotong lambung Kapal Batavia yang tenggelam pada 1629.

Di tengah jalan tiba-tiba tebersit ide melewati Penjara Fremantle yang riwayatnya tak bisa dipisahkan dari kota ini. Selesai dibangun pada 1850-an dan digunakan hingga 1991 sebagai tempat mengerangkeng orang-orang hukuman yang diangkut dari Inggris, penjara ini masih berdiri kokoh dan menjadi salah satu lanskap kota sekaligus tujuan wisata populer.

Kami yang berjalan berombong bersepakat mengagumi ketahanan konstruksinya. Lalu satu per satu mulai membagi pengetahuan dan pengalaman dari negeri masing-masing berkenaan dengan peninggalan sejarah, terutama bangunan-bangunan tua dan antik yang tetap berdiri (dan digunakan) kendati sudah berusia ratusan tahun.

Percakapan kian seru ketika menyentuh topik sensitif: Mengapa di banyak tempat (termasuk Indonesia) peninggalan masa lalu dirobohkan dan diganti dengan gedung-gedung modern –yang kerap justru jauh dari ideal disandingkan dengan sekitarnya. Yang tidak mengenakkan, bangunan-bangunan baru (lebih luas lagi infrastruktur lain) yang dikategorikan sebagai fasilitas publik, dikonstruksi asal-asalan dan sekadar jadi. Alhasil, jangankan mencapai usia ratusan, hitungan puluh tahun  saja tidak.

Topik terus bergeser hingga ke problem klasik, korupsi yang menggerogoti peradaban manusia.

***

Di depan gerbang Penjara Fremantle, di bawah naungan tembok tua yang tak berubah banyak di usia hampir dua abad, salah seorang mahasiswa UWA asal Jamaika yang sedang menjalani studi S2 Forensic Sciance, Kimberlyn Campbell, berkisah tentang dua orang sahabat dimana yang satu lebih berdaya secara ekonomi dibanding yang lain.

Satu hari, tutur Kimberlyn, si sahabat kaya meminta bantuan temannya yang kebetulan paham seluk-beluk kontruksi dan manajemen teknik untuk membangun sebuah rumah. Seluruh urusan, kecuali dana yang disediakan didepan, sepenuhnya diserahkan pada sang teman. Mulai dari mencari tanah, mendesain, memilih material, membangun hingga rumah itu siap huni. Pesannya cuma satu: Bangunlah rumah itu seperti membangun milik sendiri.

Bagai mendapat durian runtuh, teman yang diserahi kepercayaan itu bergegas mengerjakan tanggungjawab yang disepakati. Sayangnya, keuntungan sesaat membutakan matanya. Tanah yang dipilih bukanlah di lokasi terbaik. Disain bangunan yang semestinya prima, dibuat sekadarnya. Demikian pula, material yang digunakan untuk kontruksi serta fasilitas pendukung bukanlah yang berkualitas nomor satu.

Sebuah rumah akhirnya berdiri dan siap huni. Tetapi dibanding biaya yang disediakan, apa yang tersaji jauh dari ‘’harga sepantasnya’’.

Di hari kunci akan diserahkan, teman berpunya yang baik hati itu datang dan memeriksa rumah yang telah dibangun. Dia berkeliling, mengecek satu per satu tanpa suara, hingga mereka berdua duduk berhadap-hadapan di ruang tamu. Lalu dengan tenang dia menyodorkan kunci rumah pada sahabatnya dan berkata, ‘’Terimalah rumah yang kau bantu bangun ini sebagai hadiah atas persahabatan kita. Sejak mula ini memang diniatkan menjadi milik dan hakmu.’’

***

Cerita Kimberlyn melekat di kepala di sisa hari yang diwarnai percakapan aneka topik, lelucon, dan tawa. Kalau pun kisah dua orang sahabat itu hanya pengadaian inspirasional atau pembangkit semangat (yang biasanya dijajakan para motivator), saya mengakui ampuh jadi reminder jendela kesadaran. Sedihnya yang tampak adalah Mongondow dengan orang-orang yang telah menyia-nyiakan ‘’rumah yang semestinya mereka bangun untuk mereka sendiri’’.

Beberapa jam sebelumnya di Kontraonline saya membaca Selasa pekan lalu (29 Mei 2012) Kantor Bupati Bolaang Mongundow Utara (Bolmut) kembali nyaris terbakar. Digunakannya frasa ‘’kembali nyaris terbakar’’ karena menurut catatan wartawan yang menulis, peristiwa yang sama pernah pula terjadi beberapa bulan lampau, tepatnya Kamis 23 Februari 2012. Penyebabnya sama, hubungan pendek arus listrik yang diduga diakibatkan penggunaan kabel yang tak sesuai spesifikasi.

Kabel yang tak sesuai spesifikasi jelas tindak manipulasi dan korupsi. Kerugian yang ditimbulkan bukan hanya uang atau kian rusaknya kepercayaan terhadap pemerintah dan aparatnya, tetapi juga goyahnya kebanggaan masyarakat Bolmut terhadap eksistensi mereka yang direpresentasikan melalui simbol-simbol seperti Kantor Bupati atau fasilitas umum penting lainnya.

Tapi di manakah di empat kabupaten dan satu kota di seantero Mongondow yang fasilitas dan infrastruktur umumnya benar-benar dapat dibanggakan? Kantor Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) di Lolak atau Bolaang Mongondow Timur (Boltim) di Tutuyan yang baru dibangun, tidak lebih baik dari yang ada di Bolmut, yang bila instalasi listriknya tetap dipertahankan tinggal menunggu waktu pasti memercikkan api lagi.

Kantor Bupati sebagai titik pusat kabupaten terang-terangan dibangun sesukanya, bagaimana dengan infrastruktur yang tingkat kepentingannya berada di prioritas dua atau tiga? Bupati dan Walikota di Mongondow boleh berbusa-busa pidato tentang pentingnya pengembangan ekonomi, misalnya, namun faktanya mereka tak peduli terhadap pasar (dalam pengertian infrastruktur) sebagai aspek pendukung yang langsung bersentuhan dengan rakyat banyak.

Dua pasar rakyat Kota Kotamobagu (KK), Genggulang dan Poyowa Kecil, adalah contoh bagaimana ‘’rumah sendiri’’ pun dibangun serampangan dan sekadar ada. Pemerintah Kota (Pemkot) KK mengabaikan bahwa fasilitas ini akan menjadi bagian dari tanggungjawabnya untuk waktu sangat panjang.

Keuntungan jangka pendek yang dinikmati segelintir orang telah mengabaikan hajat hidup orang banyak. Padahal kita –tak hanya di Mongondow, melainkan sebagai warga Indonesia-- memiliki dan hidup di ‘’rumah yang sama’’, yang akan diwariskan pada generasi berikut.***