Tak ada embel-embel di depan dan belakang nama saya. Ketiadaan
itu membuat saya mudah kagum membaca deretan gelar yang tersemat: Didahului Ir,
nama, MSc dan diakhiri PhD. Atau diawali Dr, Drs, lalu nama, dan ditutup MSi.
Keren betul dan menunjukkan yang bersangkutan paling tidak kenyang makan sekolahan.
Empat-lima tahun S1, dua-tiga tahun S2, dan 4-5 tahun S3, pasti menghasilkan
penguasaan digjaya bidang ilmu tertentu.
Kali pertama bertemu almarhum Dr HT Usup, saya memandang
wajahnya dengan saksama dan mengulang-ngulang dalam hati: ‘’Ini orang hebat.
Warga Mongondow yang studi hingga ke Belanda dan meraih gelar S3. Pasti
pintarnya minta ampun.’’ Ke Belanda, apalagi ketika saya masih membayangkan
negeri ini sama seperti memikirkan bulan, memerlukan lebih dari nasib mujur.
Persentuhan dengan almarhum selalu menyenangkan. Rendah hati
dan (yang terpenting) penuh humor serta tawa segar. Khotbah Idul Fitri-nya,
yang saya simak dengan khusyuk beberapa waktu sebelum almarhum berpulang, tak
akan pernah terlupa: ‘’Rumput yang dipelihara dan dijaga lebih indah daripada
kembang yang dibiarkan dan terlantar.’’ Sebuah kalimat sarat makna yang layak
diabadikan sebagai kutipan.
***
Banyak di antara generasi saya, anak-anak Mongondow yang
menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di era mulai awal 1980-an, dikaruniai
keberuntungan melanjutkan pendidikan S1, S2, dan S3 ke manca negara. Salah satunya
adalah Suhardjo Makalalag (saya menyapanya ‘’Adjo’’) yang mendalami basic science.
Selain Adjo, ada beberapa lagi yang saya tahu (lebih karena
persentuhan personal), seperti Chairil Anwar Korompot yang sepengetahuan saya telah
lama berada di luar Indonesia dan sedang menyelesaikan studi S3. Atau yang
terakhir Lily Djenaan (istri dari Suhendro Boroma) yang antusias mendalami
pendidikannya di Boston (salah satu kota yang jadi pusat pendidikan dunia di
Amerika Serikat).
Di dalam negeri, orang Mongondow yang menempuh pendidikan S2
(dari yang serius di PT-PT ternama hingga program kelas jauh dari PT di Sulut)
sudah mencapai angka ratusan. Mudah-mudahan ke depan mereka yang menempuh
pendidikan S3 bakal sama banyaknya.
Di antara semua anak-anak Mongondow itu, Suhardjo
Makalalag adalah salah seorang yang menarik perhatian saya. Ilmu dasar (yang
jadi fokus studinya) adalah pengetahuan yang (sejujurnya) saya sesali tak
pernah benar-benar menjadi minat selepas SMA. Belakangan, saya menyadari maha
pentingnya matematika dan fisika. Bahkan ilmu politik yang pernah saya anggap
eksotis, sesungguhnya dapat dihitung dengan matematika. Ilmu politik sama
eksak-nya dengan ilmu teknik.
***
Kekaguman terhadap anak-anak Mongondow yang serius
bersekolah itu membuat saya jengkel ketika mengetahui Adjo pulang dan memulai
karirnya sebagai birokrat di Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow (Pemkab
Bolmong) sebagai Kepala Badan Pembangunan Penanaman Modal dan Statistika
(BP3MS). Menurut hitungan saya (yang tidak pernah saya tanyakan langsung), saat
itu semestinya dia sedang menyelesaikan disertasi doktor.
Namun birokrasi tampaknya tak cukup mengakomodasi idealisme
(mungkin juga ambisi) Adjo, yang pada 2010 lalu tiba-tiba melompat ke politik
dengan mencalonkan diri sebagai calon bupati (Cabup) Bolmong. Di pemilihan
Bupati (Pilbup), pasangan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit kandas saat proses awal pencalonan. Mereka tidak lolos verifikasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bolmong.
Gagal di politik, birokrasi masih membuka pintu. Di rolling yang dilakukan Bupati Salihi
Mokodongan beberapa waktu lalu, dia kembali ke posisi eselon II setelah
ditunjuk menjadi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Kadis Tamben). Secara
pribadi saya berpendapat, idealnya Adjo kembali ke BP3MS. Walau dia berlatar ilmu
dasar, tapi pengalamannya di luar negeri (Amerika Serikat dan Australia) setidak
menjadi nilai tambah yang dibutuhkan bagi perencanaan terintegrasi di Bolmong.
Baru saja menduduki jabatan baru, kabar buruk itu menghempas:
Polres Bolmong menetapkan Suhardjo Makalalag sebagai salah seorang tersangka
raibnya Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) senilai hampir Rp
5 miliar. Selain Adjo, empat nama lain yang diduga terlibat adalah Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda), Iswan Gonibala; Kepala Bidang
(Kabid) Perbendaharaan Dinas Pengelola Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah
(DPPKAD), Ikram Lasinguru; Kepala
Bagian Pemerintahan Desa (Kabag Pemdes), Cimmy Wua; dan Staf Khusus Bupati Bolmong,
Mursid Potabuga.
Kasus TPAPD
mengundang perhatian saya berbulan-bulan lalu karena nama pertama yang
disebut-sebut adalah Cimmy Wua. Ketika polisi akhirnya melakukan penyidikan,
saya bertemu Cimmy dan sempat menanyakan kemana juntrungan dana tersebut. Cimmy
hanya menjawab pendek, ‘’Saya akan bertanggungjawab.’’ Dari matanya, saat itu,
saya tahu Cimmy bukan orang yang akan menggumbar cerita. Dan saya menghormati
sikapnya –walau itu mungkin bentuk pengorbanan bodoh.
Hanya saya tidak
percaya Cimmy yang keseharian hidupnya tergolong biasa saja mampu menilep
hampir Rp 5 miliar tanpa meninggalkan bekas. Minimal mobil baru, baju bermerek,
jam tangan, kalung emas sebesar kelingking, dan cincing kerlip-kerlip yang
biasanya jadi perhiasaan orang-orang berduit di Mongondow.
Hari-hari belakangan tatkala jumlah tersangka bertambah, di
media massa musabab kasus TPAPD ini samar-samar mulai diungkap. Di bawah
permukaan, bisik-bisik yang beredar lebih seru, termasuk keyakinan sebagian
orang bahwa sejumlah birokrat elit dan tokoh politik bakal turut diseret.
Tidak mudah bagi saya –berdasar pengalaman selama
ini—mempercayai polisi akan menyingkap tuntas skandal TPAPD Bolmong hingga ke
tokoh kuncinya. Tapi apalagi yang dapat dilakukan kecuali berharap, menghimbau,
dan berdoa, terlebih kalau tokoh utama itu punya jejak dan hutang-piutang (termasuk
budi) dengan elit Polres Bolmong (sesuatu yang sudah menjadi pengetahuan umum
sebagai simbiosis mutualisme antara politisi-aparat hukum berwenang).
Konsern saya sendiri adalah, skandal TPAPD ini jangan
mengorbankan anak-anak muda, birokrat pintar berpendidikan bagus yang sedang
menanjak menuju performa terbaik hanya karena di satu masa rezim yang berkuasa
terlampau kuat dan tidak mengenal kata ‘’tidak boleh’’. Jangan sampai Adjo,
Iswan, Ikram, Cimmy, dan Mursid yang mungkin adalah korban, berakhir sebagai
pelaku yang menanggung hukuman karena mereka tak piawa berpolitik dan cigulu-cigulu hukum.***