Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, June 3, 2012

Skandal TPAPD dan Rezim Tanpa Kata ‘’Tidak Boleh’’

SEKOLAH bukan salah satu kebisaan yang dapat saya banggakan. Tidak perlu ditutup-tutupi bahwa Pendidikan Tinggi (PT) saya kacau-balau. Pindah fakultas, banting setir dari satu bidang ilmu ke yang lain, lalu berakhir tanpa gelar. Belakangan ada yang bisa disematkan di belakang nama, tapi itu lebih pada pengakuan profesional ketimbang pendidikan dalam arti sekolah yang dipahami umum.

Tak ada embel-embel di depan dan belakang nama saya. Ketiadaan itu membuat saya mudah kagum membaca deretan gelar yang tersemat: Didahului Ir, nama, MSc dan diakhiri PhD. Atau diawali Dr, Drs, lalu nama, dan ditutup MSi. Keren betul dan menunjukkan yang bersangkutan paling tidak kenyang makan sekolahan. Empat-lima tahun S1, dua-tiga tahun S2, dan 4-5 tahun S3, pasti menghasilkan penguasaan digjaya bidang ilmu tertentu.

Kali pertama bertemu almarhum Dr HT Usup, saya memandang wajahnya dengan saksama dan mengulang-ngulang dalam hati: ‘’Ini orang hebat. Warga Mongondow yang studi hingga ke Belanda dan meraih gelar S3. Pasti pintarnya minta ampun.’’ Ke Belanda, apalagi ketika saya masih membayangkan negeri ini sama seperti memikirkan bulan, memerlukan lebih dari nasib mujur.

Persentuhan dengan almarhum selalu menyenangkan. Rendah hati dan (yang terpenting) penuh humor serta tawa segar. Khotbah Idul Fitri-nya, yang saya simak dengan khusyuk beberapa waktu sebelum almarhum berpulang, tak akan pernah terlupa: ‘’Rumput yang dipelihara dan dijaga lebih indah daripada kembang yang dibiarkan dan terlantar.’’ Sebuah kalimat sarat makna yang layak diabadikan sebagai kutipan.

***

Banyak di antara generasi saya, anak-anak Mongondow yang menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di era mulai awal 1980-an, dikaruniai keberuntungan melanjutkan pendidikan S1, S2, dan S3 ke manca negara. Salah satunya adalah Suhardjo Makalalag (saya menyapanya ‘’Adjo’’) yang mendalami basic science.

Selain Adjo, ada beberapa lagi yang saya tahu (lebih karena persentuhan personal), seperti Chairil Anwar Korompot yang sepengetahuan saya telah lama berada di luar Indonesia dan sedang menyelesaikan studi S3. Atau yang terakhir Lily Djenaan (istri dari Suhendro Boroma) yang antusias mendalami pendidikannya di Boston (salah satu kota yang jadi pusat pendidikan dunia di Amerika Serikat).

Di dalam negeri, orang Mongondow yang menempuh pendidikan S2 (dari yang serius di PT-PT ternama hingga program kelas jauh dari PT di Sulut) sudah mencapai angka ratusan. Mudah-mudahan ke depan mereka yang menempuh pendidikan S3 bakal sama banyaknya.

Di antara semua anak-anak Mongondow itu, Suhardjo Makalalag adalah salah seorang yang menarik perhatian saya. Ilmu dasar (yang jadi fokus studinya) adalah pengetahuan yang (sejujurnya) saya sesali tak pernah benar-benar menjadi minat selepas SMA. Belakangan, saya menyadari maha pentingnya matematika dan fisika. Bahkan ilmu politik yang pernah saya anggap eksotis, sesungguhnya dapat dihitung dengan matematika. Ilmu politik sama eksak-nya dengan ilmu teknik.

***

Kekaguman terhadap anak-anak Mongondow yang serius bersekolah itu membuat saya jengkel ketika mengetahui Adjo pulang dan memulai karirnya sebagai birokrat di Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow (Pemkab Bolmong) sebagai Kepala Badan Pembangunan Penanaman Modal dan Statistika (BP3MS). Menurut hitungan saya (yang tidak pernah saya tanyakan langsung), saat itu semestinya dia sedang menyelesaikan disertasi doktor.

Namun birokrasi tampaknya tak cukup mengakomodasi idealisme (mungkin juga ambisi) Adjo, yang pada 2010 lalu tiba-tiba melompat ke politik dengan mencalonkan diri sebagai calon bupati (Cabup) Bolmong. Di pemilihan Bupati (Pilbup), pasangan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit kandas saat proses awal pencalonan. Mereka tidak lolos verifikasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bolmong.

Gagal di politik, birokrasi masih membuka pintu. Di rolling yang dilakukan Bupati Salihi Mokodongan beberapa waktu lalu, dia kembali ke posisi eselon II setelah ditunjuk menjadi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Kadis Tamben). Secara pribadi saya berpendapat, idealnya Adjo kembali ke BP3MS. Walau dia berlatar ilmu dasar, tapi pengalamannya di luar negeri (Amerika Serikat dan Australia) setidak menjadi nilai tambah yang dibutuhkan bagi perencanaan terintegrasi di Bolmong.

Baru saja menduduki jabatan baru, kabar buruk itu menghempas: Polres Bolmong menetapkan Suhardjo Makalalag sebagai salah seorang tersangka raibnya Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) senilai hampir Rp 5 miliar. Selain Adjo, empat nama lain yang diduga terlibat adalah Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda), Iswan Gonibala; Kepala Bidang (Kabid) Perbendaharaan Dinas Pengelola Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD), Ikram Lasinguru; Kepala Bagian Pemerintahan Desa (Kabag Pemdes), Cimmy Wua; dan Staf Khusus Bupati Bolmong, Mursid Potabuga.

Kasus TPAPD mengundang perhatian saya berbulan-bulan lalu karena nama pertama yang disebut-sebut adalah Cimmy Wua. Ketika polisi akhirnya melakukan penyidikan, saya bertemu Cimmy dan sempat menanyakan kemana juntrungan dana tersebut. Cimmy hanya menjawab pendek, ‘’Saya akan bertanggungjawab.’’ Dari matanya, saat itu, saya tahu Cimmy bukan orang yang akan menggumbar cerita. Dan saya menghormati sikapnya –walau itu mungkin bentuk pengorbanan bodoh.

Hanya saya tidak percaya Cimmy yang keseharian hidupnya tergolong biasa saja mampu menilep hampir Rp 5 miliar tanpa meninggalkan bekas. Minimal mobil baru, baju bermerek, jam tangan, kalung emas sebesar kelingking, dan cincing kerlip-kerlip yang biasanya jadi perhiasaan orang-orang berduit di Mongondow.

Hari-hari belakangan tatkala jumlah tersangka bertambah, di media massa musabab kasus TPAPD ini samar-samar mulai diungkap. Di bawah permukaan, bisik-bisik yang beredar lebih seru, termasuk keyakinan sebagian orang bahwa sejumlah birokrat elit dan tokoh politik bakal turut diseret.

Tidak mudah bagi saya –berdasar pengalaman selama ini—mempercayai polisi akan menyingkap tuntas skandal TPAPD Bolmong hingga ke tokoh kuncinya. Tapi apalagi yang dapat dilakukan kecuali berharap, menghimbau, dan berdoa, terlebih kalau tokoh utama itu punya jejak dan hutang-piutang (termasuk budi) dengan elit Polres Bolmong (sesuatu yang sudah menjadi pengetahuan umum sebagai simbiosis mutualisme antara politisi-aparat hukum berwenang).

Konsern saya sendiri adalah, skandal TPAPD ini jangan mengorbankan anak-anak muda, birokrat pintar berpendidikan bagus yang sedang menanjak menuju performa terbaik hanya karena di satu masa rezim yang berkuasa terlampau kuat dan tidak mengenal kata ‘’tidak boleh’’. Jangan sampai Adjo, Iswan, Ikram, Cimmy, dan Mursid yang mungkin adalah korban, berakhir sebagai pelaku yang menanggung hukuman karena mereka tak piawa berpolitik dan cigulu-cigulu hukum.***