Warga Mongondow patut membanggakan prestasi itu. Kota yang
bersih dan tertata adalah impian masyarakat yang sadar terhadap kenyamanan
wilayah yang dihuni. Apalagi resik serta terencananya keseimbangan pembangunan
dan daya dukung lingkungan sebuah kota telah lama menjadi salah satu indikator
tingkat peradaban yang telah dicapai penghuninya.
Selamat untuk KK di bawah pemerintahan Walikota Djelantik
Mokodompit-Wakil Walikota (Wawali) Tatong Bara. Atau barangkali cukup selamat
buat Walikota dan jajarannya karena dalam isu Adipura Wawali hampir tak
terdengar suara dan kiprahnya. Ini pula yang barangkali membuat sejumlah
komentar di media sosial (terutama facebook)
menuding anugerah itu kental aroma politik dan kepentingan jangka pendek
Walikota yang dipastikan mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua, 2013
mendatang. Atau seperti dugaan yang ditulis http://beritamanado.com/,
Rabu (6 Juni 2012), Piala Adipura itu diperoleh sebagai hasil ‘’jual-beli’’
dengan tim penilai.
Saya tak hendak membahas lebih jauh kaitan penghargaan itu
dengan dinamika politik (praktis) dan kepentingan pemilihan walikota (Pilwako)
2013. Walau harus diakui dan tak dapat dielakkan perkembangan politik terkini
di KK sangat mempengaruhi cara warganya mengapresiasi capaian dan prestasi
Pemerintah Kota (Pemkot).
Demikian pula, dugaan ‘’jual-beli’’ Adipura tak lepas persepsi
masyarakat terhadap galibnya praktek curang di kalangan pemerintah dan
birokrasi. Sudah terlampau banyak contoh, misalnya bagaimana provinsi,
kabupaten, atau kota yang pengelolaan keuangannya mendapat predikat wajar tanpa
pengeculian (WTP), tapi tak lama kemudian gubernur, bupati, atau walikotanya
diseret ke balik jeruji bui karena terbukti korup.
***
Bagaimana sebuah kota yang ideal? Jawaban terhadap
pertanyaan ini sungguh kompleks. Namun secara sederhana dapat diajukan sejumlah
aspek utama yang meliputi: Pertama,
perencanaan yang terintegrasi, yang mengakomodasi seluruh kebutuhan ruang warganya
(hunian, komersil, hingga ruang publik dalam bentuk taman atau arena bermain
umum).
Kedua,
infrastruktur yang memadai (jalan, transportasi umum, pendidikan, layanan
kesehatan, tempat ibadah, air bersih, hingga saluran air dan buangan). Aspek
kedua ini tak lepas dari aspek pertama, karena sebuah kota tidak statis
sehingga kebutuhan terhadap infrastruktur harus diperhitungkan jauh ke depan.
Ketiga,
keterhubungan dan harmonisasi dengan wilayah di sekitarnya. Apa pun alasannya
sebuah wilayah tidak dapat berdiri sendiri, sepenuhnya seperti enclave yang memenuhi kebutuhannya
secara mandiri dan terus tumbuh. KK dengan luas wilayah relatif kecil dan
terletak di tengah lembah Bolaang Mongondow (Mongondow), tak dapat ditolak
memiliki ketergantungan tinggi terhadap daerah tingkat II lain.
Ketergantungan itu di jangka panjang dapat dipastikan bahkan
hingga pada aspek-aspek paling dasar bagi kebutuhan warga KK. Tidak memerlukan
analisis dengan kerumitan tinggi untuk menyebut, suplai air bersih serta
produk-produk konsumsi hasil pertanian dan peternakan sebagai contoh. Terlebih
sejak lepas dari Kabupaten Bolmong dan berdiri sebagai daerah otonom baru,
secara alamiah KK harus menerima pilihan menjadi kota jasa.
Di atas peta seperti itu, menurut pendapat saya, Anugerah
Adipura yang untuk pertama kalinya diterima semestinya disambut sebagai tanda
awas. Menampilkan sebuah kota seperti KK mendadak jadi bersih selama dua tahun
terakhir bukan pekerjaan sulit, apalagi bila setiap hari (dan khususnya Jumat)
pegawai negeri sipil (PNS) habis-habisan dikerahkan bekerja bakti mengurusi
sampah dan ikutannya.
Seberapa lama ‘’bersih’’ itu bertahan lama? Dengan definisi
bersih yang seperti apa dan di bagian kota mana saja? Seluruh kota atau hanya
di etalasenya, yang tak lebih dari ‘’menyapu debu dan sampah ke bawah karpet’’?
Apakah pula bersih itu sejalan dengan tertatanya kota, pada tempatnya, serta
sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota (RTRWK)?
Sepanjang pengetahuan saya kebersihan satu kota tak lepas
dari manajemen lingkungan yang terencana, diaplikasi dengan baik, dievaluasi,
dan terus-menerus disempurnakan. Pembaca, lebih khusus warga KK, apakah Anda
pernah mendengar konsep pengelolaan sampah (dan lingkungan secara umum) dari
Pemkot atau otoritas yang bertanggungjawab?
Konsep yang dimaksud termasuk hal-hal teknis seperti
pengumpulan sampah, penampungan dan pengelolaan, penegakan disiplin dan sanksi
terhadap aturan-aturan terkait (dalam Peraturan Daerah –Perda—Kebersihan Kota),
hingga kampanye yang mendorong warga KK menerapkan budaya bersih dan peduli
lingkungan. Mudah-mudahan saya keliru, tetapi sejauh ini yang ada adalah
retorika yang dipaksakan, yang (apa boleh buat) menunjukkan program kebersihan
kota hanyalah target politis jangka pendek.
Tidaklah keliru meletakkan kebersihan kota sebagai sebuah
target jangka pendek. Tapi cara ini sekadar aspirin di saat kepala pening tanpa
menelisik lebih jauh penyebabnya karena panas matahari, gejala flu, atau kanker
otak. Berpuas diri setelah mencapai tujuan jangka pendek hanyalah awal dari
pengabaian terhadap tujuan jangka panjang yang fundamental, semisal 3R (reduce, reuse, recycle), land and water management, atau isu-isu global lingkungan yang membutuhkan konsep dan manajemen
lebih rumit.
***
Maka Piala Adipura 2011-2012 adalah prestasi yang sebaiknya
disambut tanpa gegap-gempita. Pemkot dan jajarannya memang harus mampu membuat
kota yang mereka kelolah bersih, karena itulah mereka digaji oleh uang negara
yang berasal dari pajak, termasuk yang dikontribusikan oleh masyarakat KK.
Gaya Walikota Djelantik Mokodompit yang memboyong sejumlah
pejabat (termasuk yang dinas atau lembaganya tak relevan) dan supporter lainnya ke Jakarta saat
menerima anugerah itu, lebih mirip sirkus ketimbang ekspresi syukur. Apalagi KK
bukan satu-satunya, tetapi hanya salah satu satu dari puluhan kota dan
kabupaten di Indonesia yang menerima penghargaan ini.
Memperlakukan Piala Adipura sangat istimewa, termasuk
mengarak keliling kota –seperti yang umum dilakukan oleh daerah lain di Sulut--,
saya kira mengada-ada dan berlebihan. Alangkah lebih baiknya biaya rombongan
Walikota ke Jakarta menonton seremoni beberapa menit dan arak-arakkan, misalnya
dialokasikan sebagai insentif untuk petugas kebersihan kota. Mereka yang berada
di garda depan ini, yang sehari-hari berlumur sampah dan bau busuknya, biasanya
terlupa atau sengaja dilupakan ketika hasil kerja mereka berbuah prestasi.
Lagipula mengapa Adipura harus diarak sementara siswa
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), atau Sekolah Menengah Umum
(SMU dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di KK yang meraih nilai spektakuler di
Ujian Akhir (UA) dan Ujian Nasional (UN) sama sekali tak dilirik oleh Pemkot,
khususnya Walikota dan para elit politik serta birokrasi. Apakah karna nilai
politis Adipura lebih seksi untuk kepentingan jangka pendek, ketimbang
mengapresiasi generasi masa depan KK yang adalah urusan jangka panjang yang tak
ada untungnya dilakukan hari ini?***