Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, June 7, 2012

Adipura dan Retorika Kota Bersih

LIMA kota dan kabupaten di Sulawesi Utara (Sulut) meraih Piala Adipura 2011-2012. Salah satunya adalah Kota Kotamobagu (KK) yang menerima penghargaan ini untuk pertama kalinya. Dengan kata lain, dibanding 2011 (yang hanya menerima piagam) semestinya tahun ini KK lebih bersih dan tertata.

Warga Mongondow patut membanggakan prestasi itu. Kota yang bersih dan tertata adalah impian masyarakat yang sadar terhadap kenyamanan wilayah yang dihuni. Apalagi resik serta terencananya keseimbangan pembangunan dan daya dukung lingkungan sebuah kota telah lama menjadi salah satu indikator tingkat peradaban yang telah dicapai penghuninya.

Selamat untuk KK di bawah pemerintahan Walikota Djelantik Mokodompit-Wakil Walikota (Wawali) Tatong Bara. Atau barangkali cukup selamat buat Walikota dan jajarannya karena dalam isu Adipura Wawali hampir tak terdengar suara dan kiprahnya. Ini pula yang barangkali membuat sejumlah komentar di media sosial (terutama facebook) menuding anugerah itu kental aroma politik dan kepentingan jangka pendek Walikota yang dipastikan mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua, 2013 mendatang. Atau seperti dugaan yang ditulis http://beritamanado.com/, Rabu (6 Juni 2012), Piala Adipura itu diperoleh sebagai hasil ‘’jual-beli’’ dengan tim penilai.

Saya tak hendak membahas lebih jauh kaitan penghargaan itu dengan dinamika politik (praktis) dan kepentingan pemilihan walikota (Pilwako) 2013. Walau harus diakui dan tak dapat dielakkan perkembangan politik terkini di KK sangat mempengaruhi cara warganya mengapresiasi capaian dan prestasi Pemerintah Kota (Pemkot).

Demikian pula, dugaan ‘’jual-beli’’ Adipura tak lepas persepsi masyarakat terhadap galibnya praktek curang di kalangan pemerintah dan birokrasi. Sudah terlampau banyak contoh, misalnya bagaimana provinsi, kabupaten, atau kota yang pengelolaan keuangannya mendapat predikat wajar tanpa pengeculian (WTP), tapi tak lama kemudian gubernur, bupati, atau walikotanya diseret ke balik jeruji bui karena terbukti korup.

***

Bagaimana sebuah kota yang ideal? Jawaban terhadap pertanyaan ini sungguh kompleks. Namun secara sederhana dapat diajukan sejumlah aspek utama yang meliputi: Pertama, perencanaan yang terintegrasi, yang mengakomodasi seluruh kebutuhan ruang warganya (hunian, komersil, hingga ruang publik dalam bentuk taman atau arena bermain umum).

Kedua, infrastruktur yang memadai (jalan, transportasi umum, pendidikan, layanan kesehatan, tempat ibadah, air bersih, hingga saluran air dan buangan). Aspek kedua ini tak lepas dari aspek pertama, karena sebuah kota tidak statis sehingga kebutuhan terhadap infrastruktur harus diperhitungkan jauh ke depan.

Ketiga, keterhubungan dan harmonisasi dengan wilayah di sekitarnya. Apa pun alasannya sebuah wilayah tidak dapat berdiri sendiri, sepenuhnya seperti enclave yang memenuhi kebutuhannya secara mandiri dan terus tumbuh. KK dengan luas wilayah relatif kecil dan terletak di tengah lembah Bolaang Mongondow (Mongondow), tak dapat ditolak memiliki ketergantungan tinggi terhadap daerah tingkat II lain.

Ketergantungan itu di jangka panjang dapat dipastikan bahkan hingga pada aspek-aspek paling dasar bagi kebutuhan warga KK. Tidak memerlukan analisis dengan kerumitan tinggi untuk menyebut, suplai air bersih serta produk-produk konsumsi hasil pertanian dan peternakan sebagai contoh. Terlebih sejak lepas dari Kabupaten Bolmong dan berdiri sebagai daerah otonom baru, secara alamiah KK harus menerima pilihan menjadi kota jasa.

Di atas peta seperti itu, menurut pendapat saya, Anugerah Adipura yang untuk pertama kalinya diterima semestinya disambut sebagai tanda awas. Menampilkan sebuah kota seperti KK mendadak jadi bersih selama dua tahun terakhir bukan pekerjaan sulit, apalagi bila setiap hari (dan khususnya Jumat) pegawai negeri sipil (PNS) habis-habisan dikerahkan bekerja bakti mengurusi sampah dan ikutannya.

Seberapa lama ‘’bersih’’ itu bertahan lama? Dengan definisi bersih yang seperti apa dan di bagian kota mana saja? Seluruh kota atau hanya di etalasenya, yang tak lebih dari ‘’menyapu debu dan sampah ke bawah karpet’’? Apakah pula bersih itu sejalan dengan tertatanya kota, pada tempatnya, serta sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota (RTRWK)?

Sepanjang pengetahuan saya kebersihan satu kota tak lepas dari manajemen lingkungan yang terencana, diaplikasi dengan baik, dievaluasi, dan terus-menerus disempurnakan. Pembaca, lebih khusus warga KK, apakah Anda pernah mendengar konsep pengelolaan sampah (dan lingkungan secara umum) dari Pemkot atau otoritas yang bertanggungjawab?

Konsep yang dimaksud termasuk hal-hal teknis seperti pengumpulan sampah, penampungan dan pengelolaan, penegakan disiplin dan sanksi terhadap aturan-aturan terkait (dalam Peraturan Daerah –Perda—Kebersihan Kota), hingga kampanye yang mendorong warga KK menerapkan budaya bersih dan peduli lingkungan. Mudah-mudahan saya keliru, tetapi sejauh ini yang ada adalah retorika yang dipaksakan, yang (apa boleh buat) menunjukkan program kebersihan kota hanyalah target politis jangka pendek.

Tidaklah keliru meletakkan kebersihan kota sebagai sebuah target jangka pendek. Tapi cara ini sekadar aspirin di saat kepala pening tanpa menelisik lebih jauh penyebabnya karena panas matahari, gejala flu, atau kanker otak. Berpuas diri setelah mencapai tujuan jangka pendek hanyalah awal dari pengabaian terhadap tujuan jangka panjang yang fundamental, semisal 3R (reduce, reuse, recycle), land and water management, atau isu-isu global lingkungan yang membutuhkan konsep dan manajemen lebih rumit.

***

Maka Piala Adipura 2011-2012 adalah prestasi yang sebaiknya disambut tanpa gegap-gempita. Pemkot dan jajarannya memang harus mampu membuat kota yang mereka kelolah bersih, karena itulah mereka digaji oleh uang negara yang berasal dari pajak, termasuk yang dikontribusikan oleh masyarakat KK.

Gaya Walikota Djelantik Mokodompit yang memboyong sejumlah pejabat (termasuk yang dinas atau lembaganya tak relevan) dan supporter lainnya ke Jakarta saat menerima anugerah itu, lebih mirip sirkus ketimbang ekspresi syukur. Apalagi KK bukan satu-satunya, tetapi hanya salah satu satu dari puluhan kota dan kabupaten di Indonesia yang menerima penghargaan ini.

Memperlakukan Piala Adipura sangat istimewa, termasuk mengarak keliling kota –seperti yang umum dilakukan oleh daerah lain di Sulut--, saya kira mengada-ada dan berlebihan. Alangkah lebih baiknya biaya rombongan Walikota ke Jakarta menonton seremoni beberapa menit dan arak-arakkan, misalnya dialokasikan sebagai insentif untuk petugas kebersihan kota. Mereka yang berada di garda depan ini, yang sehari-hari berlumur sampah dan bau busuknya, biasanya terlupa atau sengaja dilupakan ketika hasil kerja mereka berbuah prestasi.

Lagipula mengapa Adipura harus diarak sementara siswa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), atau Sekolah Menengah Umum (SMU dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di KK yang meraih nilai spektakuler di Ujian Akhir (UA) dan Ujian Nasional (UN) sama sekali tak dilirik oleh Pemkot, khususnya Walikota dan para elit politik serta birokrasi. Apakah karna nilai politis Adipura lebih seksi untuk kepentingan jangka pendek, ketimbang mengapresiasi generasi masa depan KK yang adalah urusan jangka panjang yang tak ada untungnya dilakukan hari ini?***