Sebaliknya, apa ide yang dituliskan Fahri Damopolii, baik
atas nama A. R. Thomas maupun dirinya sendiri –termasuk sebagai PNS KK? Kalau
caci-maki dan menyerang pribadi adalah sebuah ide, mentalitas dan kewarasannya
hanya mampu diurusi dokter-dokter di Rumah Sakit (RS) Ratumbuysang Manado
(kebetulan Direkturnya orang Mongondow bermarga Mokoagow, mungkin dia boleh
mendapat perlakuan agak khusus).
***
Ini kisah tentang orang-orang dengan kewarasan di bawah
standar normatif. Tersebutlah seorang pejabat tinggi Indonesia yang baru
melepas kursinya dan bergiat di bidang sosial. Minat dan konsern tokoh kita ini
antaranya adalah mereka yang dicap gila karena memang berkelakuan ‘’meheng’’.
Salah satu tempat di mana mereka yang tidak beruntung itu dirawat adalah Rumah
Sakit Jiwa (RSJ) Grogol, Jakarta.
Satu hari bertahun-tahun yang lampau mantan pejabat tinggi
itu memutuskan melakukan kunjungan ke RSJ Grogol. Sebagai tokoh nasional yang
dikenal welas asih, santun, dan lurus, kehadirannya adalah berkah. Tak kurang
Direktur sendiri yang menyambut dan menemani ‘’turne’’ keliling RSJ, melihat
fasilitas yang ada dan menemui orang-orang yang tengah menjalani perawatan.
Di hadapan sejumlah pasien, dengan santun Direktur
memperkenalkan sang mantan. Beberapa menit berlalu dalam diam, lalu tiba-tiba
salah seorang penghuni terlama RSJ Grogol maju dan menyalami tokoh kita ini
sembari berucap, ‘’Selamat datang…. Yang sabar, ya, Pak. Pertama kali masuk ke
sini saya juga mengaku sebagai Jenderal Sudirman dan yang itu (sambil menunjuk
seorang pasien) yakin dia adalah Pangeran Diponegoro….’’
Fahri Damopolii dengan halusinasinya mungkin sedang
menyakini dia salah satu tokoh penulis dunia; pangeran dari negeri antah
berantah; atau pendekar digjaya dari pedepokan tak terkalahkan. Saya tak heran
sebab orang-orang dengan masalah kejiwaan tak bisa lagi membedakan konteks,
siapa dia sebenarnya, dan di mana tempatnya berdiri.
***
Tapi orang tak waras mana yang mengakui dia ‘’tak genap’’?
Supaya tidak melanggar hak asasi manusia (HAM), kita sepakati saja Fahri
Damopolii sepenuhnya sehat jiwa raga. Dia hanya tukang bohong yang tertangkap
tangan, malu, lalu menyalahkan apa saja yang ada di hadapan.
Di dua tulisan di Radar
Totabuan dia gagap menghadapi simpulan saya bahwa A. R. Thomas hanyalah
alias. Penulis sesungguhnya adalah Fahri Damopolii, yang dengan pengecut dan
culas menyembunyikan diri dan motifnya di balik nama lain.
Boleh-boleh saja analisis stilistika diperdebatkan, tapi
bagaimana dengan penggunaan emailnya sebagaimana yang saya tuliskan di Sarkasme ‘’Kasian Deh, Lu….’’? Pembohong
yang buruk memang selalu payah. Saya berkeyakinan bila sahut-sahutan antara
saya dan dia di hadapkan pada penilaian pembaca, sebaiknya Fahri Damopolii tak
perlu melihat ka arah orang banyak yang jadi juri, kecuali bila dia benar-benar
tak mengerti arti malu dan tahu diri.
Orang banyak yang didaulat oleh Fahri Damopolii sendiri
sebagai penilai akhir juga tak bakal senang bila saya sodorkan BlackBerry Messenger (BBM) –termasuk
permintaan maafnya— dan rekaman percakapan kami. Tentu tak pernah dia duga, terhadap
orang-orang dengan niat yang sudah terduga jahat dan bathil, saya selalu
wasdapa agar tidak teperdaya.
Yang menyedihkan, bohong selalu menjadi akar perilaku
tercela lain. Ada adagium yang mengatakan: Pembohong biasanya juga seorang
pencuri. Dan pencuri selalu mati-matian berbohong. Dengan mentalitas rusak,
kebiasaan berbohong yang dilembagakan, tidak usah heran kalau 5-10 tahun
mendatang kita menyua Fahri Damopolii tak lain salah seorang koruptor handal di
lingkungan Pemkot KK.
***
Memancing-mancing saya dengan caci-maki fisik dan pribadi
agar turut kalap adalah pekerjaan sia-sia. Itu sebabnya saya kembali saja pada
subtansi isu.
Pertama, saya
berhak mengkritik tokoh-tokoh dan jabatan publik bertanggungjawab terhadap
hajat-hidup orang banyak, sebagaimana orang Mongondow lainnya, di mana saja
mereka berada. Bahwa kritik itu kerap menyakitkan, karena perilaku mereka yang faktanya
memang bengkok lebih memedihkan lagi.
Kedua, ranah
publik tidak boleh dicampur-aduk dengan wilayah private. Ketidak-mampuan membedakan dua area ini menunjukkan bahwa
siapa pun yang melakukan kritik sesungguhnya sekadar menutupi agenda jahatnya. Terlebih
dengan menyembunyikan identitas, manipulatif, culas, tak terhormat, dan
pengecut.
Ketiga, kontrol
terhadap tokoh-tokoh dan jabatan publik tidak boleh dengan memilih-milih
sasaran. Kritik atas nama kepentingan umum terhadap Bupati Bolmong, Salihi
Mokodongan, harusnya berlaku sama terhadap tokoh atau pejabat publik lainnya di
Mongondow. Tak peduli apakah itu Walikota KK, Djelantik Mokodompit, atau
Bupati, pejabat publik, politikus, atau birokrat lain di seluruh Mongondow.
Keempat,
independensi, mentalitas, dan kredibilitas (utamanya di kalangan generasi
terkini Mongondow) adalah masalah yang patut jadi konsern serius. Berkaca dari
perilaku yang ditunjukkan Fahri Damopolii, saya menguatirkan generasi yang
seharusnya menjadi masa depan Bolaang Mongondow sebagai sebuah wilayah dan
entitas utuh, khususnya mereka yang terdidik dan kini bergiat di sektor-sektor
publik (politik dan pemerintahan), kian jauh dioptimisi menjadi kabar baik dan
kebahagiaan.
Dan kelima,
sejalan dengan poin keempat, orang-orang Mongondow yang peduli dengan daerahnya
dan mengekspresikan lewat kontrol publik (kritik, koreksi, atau sekadar
masukan), harus siap menghadapi perlawanan para oportunis yang bersedia
melakukan apapun demi keuntungan pribadi, keluarga, dan kelompoknya. Bahkan
sekali pun keuntungan itu dibayar dengan menggadaikan jiwanya.
***
Tapi bagaimana sikap saya terhadap caci-maki fisik dan
pribadi dari Fahri Damopolii? Juga kilahan, pemelintiran, dan kebohongan yang
dia semburkan dengan penuh amarah di dua tulisan yang dipublikasi Radar Totabuan?
Tanpa ragu sekali lagi saya menyatakan (ini juga jawaban ketika Ayah
saya menegur agar tak lagi menanggapi pelanggaran ‘’batas api’’ yang
keterlaluan itu): Saya tak pernah menganggap seorang Fahri Damopolii penting.
Caci-maki fisik dan pribadi yang dia hujamkan tak akan mengganggu kredibilitas
saya. Saya merespons perilaku barbarnya lebih agar orang-orang muda di
Mongondow belajar bahwa pendidikan, setinggi apa pun, mudah berubah dari
pencerahan menjadi pembenar perilaku manipulatif, culas, tak terhormat, dan
pengecut, ketika seseorang terjebak pada ambisi di luar daya jangkaunya.
Semakin saya membaca tulisan-tulisannya, iba ini kian
menggunung. Terlebih ada satu pertanyaan yang belum mampu saya jawab: Apa
sesungguhnya yang membuat Fahri Damopolii begitu marah, dendam, dan kalap? Sekadar
kalah kelas, kalah ganteng, kalah congkak, pasti ekspresinya tidak sebodoh dan
serendah itu.
Kalau pun boleh menduga, satu-satunya yang terlintas di
kepala, ‘’Iblis di mana Fahri Damopolii menggadaikan jiwa pasti memerihkan
sadisnya, hingga dia tak lagi peduli pada harga diri, malu, dan akal sehat. Dan
kasihan betul si iblis sebab korbannya ternyata berkualitas cuma sebegitu.’’***