Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, June 1, 2012

Bibit Korup Intelektual ‘’Kudul’’ (2)

APAKAH pula saya menyebut dua tokoh publik di mana Fahri Damopolii meletakkan seluruh lidah dan harga dirinya itu sebagai tindakan menyeret-nyeret pihak lain? Ide-ide mayoritas tulisan saya tentang Mongondow sejak 2007 adalah kontrol terhadap perilaku pejabat publik, para politisi dan birokrat yang diberi tanggungjawab mengurusi orang banyak. Masak hal sepenting ini tak bisa ditangkap lulusan Perguruan Tinggi (PT) dengan kepintaran seperti Fahri Damopolii?

Sebaliknya, apa ide yang dituliskan Fahri Damopolii, baik atas nama A. R. Thomas maupun dirinya sendiri –termasuk sebagai PNS KK? Kalau caci-maki dan menyerang pribadi adalah sebuah ide, mentalitas dan kewarasannya hanya mampu diurusi dokter-dokter di Rumah Sakit (RS) Ratumbuysang Manado (kebetulan Direkturnya orang Mongondow bermarga Mokoagow, mungkin dia boleh mendapat perlakuan agak khusus).

***

Ini kisah tentang orang-orang dengan kewarasan di bawah standar normatif. Tersebutlah seorang pejabat tinggi Indonesia yang baru melepas kursinya dan bergiat di bidang sosial. Minat dan konsern tokoh kita ini antaranya adalah mereka yang dicap gila karena memang berkelakuan ‘’meheng’’. Salah satu tempat di mana mereka yang tidak beruntung itu dirawat adalah Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grogol, Jakarta.

Satu hari bertahun-tahun yang lampau mantan pejabat tinggi itu memutuskan melakukan kunjungan ke RSJ Grogol. Sebagai tokoh nasional yang dikenal welas asih, santun, dan lurus, kehadirannya adalah berkah. Tak kurang Direktur sendiri yang menyambut dan menemani ‘’turne’’ keliling RSJ, melihat fasilitas yang ada dan menemui orang-orang yang tengah menjalani perawatan.

Di hadapan sejumlah pasien, dengan santun Direktur memperkenalkan sang mantan. Beberapa menit berlalu dalam diam, lalu tiba-tiba salah seorang penghuni terlama RSJ Grogol maju dan menyalami tokoh kita ini sembari berucap, ‘’Selamat datang…. Yang sabar, ya, Pak. Pertama kali masuk ke sini saya juga mengaku sebagai Jenderal Sudirman dan yang itu (sambil menunjuk seorang pasien) yakin dia adalah Pangeran Diponegoro….’’

Fahri Damopolii dengan halusinasinya mungkin sedang menyakini dia salah satu tokoh penulis dunia; pangeran dari negeri antah berantah; atau pendekar digjaya dari pedepokan tak terkalahkan. Saya tak heran sebab orang-orang dengan masalah kejiwaan tak bisa lagi membedakan konteks, siapa dia sebenarnya, dan di mana tempatnya berdiri.

***

Tapi orang tak waras mana yang mengakui dia ‘’tak genap’’? Supaya tidak melanggar hak asasi manusia (HAM), kita sepakati saja Fahri Damopolii sepenuhnya sehat jiwa raga. Dia hanya tukang bohong yang tertangkap tangan, malu, lalu menyalahkan apa saja yang ada di hadapan.

Di dua tulisan di Radar Totabuan dia gagap menghadapi simpulan saya bahwa A. R. Thomas hanyalah alias. Penulis sesungguhnya adalah Fahri Damopolii, yang dengan pengecut dan culas menyembunyikan diri dan motifnya di balik nama lain.

Boleh-boleh saja analisis stilistika diperdebatkan, tapi bagaimana dengan penggunaan emailnya sebagaimana yang saya tuliskan di Sarkasme ‘’Kasian Deh, Lu….’’? Pembohong yang buruk memang selalu payah. Saya berkeyakinan bila sahut-sahutan antara saya dan dia di hadapkan pada penilaian pembaca, sebaiknya Fahri Damopolii tak perlu melihat ka arah orang banyak yang jadi juri, kecuali bila dia benar-benar tak mengerti arti malu dan tahu diri.

Orang banyak yang didaulat oleh Fahri Damopolii sendiri sebagai penilai akhir juga tak bakal senang bila saya sodorkan BlackBerry Messenger (BBM) –termasuk permintaan maafnya— dan rekaman percakapan kami. Tentu tak pernah dia duga, terhadap orang-orang dengan niat yang sudah terduga jahat dan bathil, saya selalu wasdapa agar tidak teperdaya.

Yang menyedihkan, bohong selalu menjadi akar perilaku tercela lain. Ada adagium yang mengatakan: Pembohong biasanya juga seorang pencuri. Dan pencuri selalu mati-matian berbohong. Dengan mentalitas rusak, kebiasaan berbohong yang dilembagakan, tidak usah heran kalau 5-10 tahun mendatang kita menyua Fahri Damopolii tak lain salah seorang koruptor handal di lingkungan Pemkot KK.

***

Memancing-mancing saya dengan caci-maki fisik dan pribadi agar turut kalap adalah pekerjaan sia-sia. Itu sebabnya saya kembali saja pada subtansi isu.

Pertama, saya berhak mengkritik tokoh-tokoh dan jabatan publik bertanggungjawab terhadap hajat-hidup orang banyak, sebagaimana orang Mongondow lainnya, di mana saja mereka berada. Bahwa kritik itu kerap menyakitkan, karena perilaku mereka yang faktanya memang bengkok lebih memedihkan lagi.

Kedua, ranah publik tidak boleh dicampur-aduk dengan wilayah private. Ketidak-mampuan membedakan dua area ini menunjukkan bahwa siapa pun yang melakukan kritik sesungguhnya sekadar menutupi agenda jahatnya. Terlebih dengan menyembunyikan identitas, manipulatif, culas, tak terhormat, dan pengecut.

Ketiga, kontrol terhadap tokoh-tokoh dan jabatan publik tidak boleh dengan memilih-milih sasaran. Kritik atas nama kepentingan umum terhadap Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan, harusnya berlaku sama terhadap tokoh atau pejabat publik lainnya di Mongondow. Tak peduli apakah itu Walikota KK, Djelantik Mokodompit, atau Bupati, pejabat publik, politikus, atau birokrat lain di seluruh Mongondow.

Keempat, independensi, mentalitas, dan kredibilitas (utamanya di kalangan generasi terkini Mongondow) adalah masalah yang patut jadi konsern serius. Berkaca dari perilaku yang ditunjukkan Fahri Damopolii, saya menguatirkan generasi yang seharusnya menjadi masa depan Bolaang Mongondow sebagai sebuah wilayah dan entitas utuh, khususnya mereka yang terdidik dan kini bergiat di sektor-sektor publik (politik dan pemerintahan), kian jauh dioptimisi menjadi kabar baik dan kebahagiaan.

Dan kelima, sejalan dengan poin keempat, orang-orang Mongondow yang peduli dengan daerahnya dan mengekspresikan lewat kontrol publik (kritik, koreksi, atau sekadar masukan), harus siap menghadapi perlawanan para oportunis yang bersedia melakukan apapun demi keuntungan pribadi, keluarga, dan kelompoknya. Bahkan sekali pun keuntungan itu dibayar dengan menggadaikan jiwanya.

***

Tapi bagaimana sikap saya terhadap caci-maki fisik dan pribadi dari Fahri Damopolii? Juga kilahan, pemelintiran, dan kebohongan yang dia semburkan dengan penuh amarah di dua tulisan yang dipublikasi Radar Totabuan?

Tanpa ragu sekali lagi saya menyatakan (ini juga jawaban ketika Ayah saya menegur agar tak lagi menanggapi pelanggaran ‘’batas api’’ yang keterlaluan itu): Saya tak pernah menganggap seorang Fahri Damopolii penting. Caci-maki fisik dan pribadi yang dia hujamkan tak akan mengganggu kredibilitas saya. Saya merespons perilaku barbarnya lebih agar orang-orang muda di Mongondow belajar bahwa pendidikan, setinggi apa pun, mudah berubah dari pencerahan menjadi pembenar perilaku manipulatif, culas, tak terhormat, dan pengecut, ketika seseorang terjebak pada ambisi di luar daya jangkaunya.

Semakin saya membaca tulisan-tulisannya, iba ini kian menggunung. Terlebih ada satu pertanyaan yang belum mampu saya jawab: Apa sesungguhnya yang membuat Fahri Damopolii begitu marah, dendam, dan kalap? Sekadar kalah kelas, kalah ganteng, kalah congkak, pasti ekspresinya tidak sebodoh dan serendah itu.

Kalau pun boleh menduga, satu-satunya yang terlintas di kepala, ‘’Iblis di mana Fahri Damopolii menggadaikan jiwa pasti memerihkan sadisnya, hingga dia tak lagi peduli pada harga diri, malu, dan akal sehat. Dan kasihan betul si iblis sebab korbannya ternyata berkualitas cuma sebegitu.’’***