Peringatan: Pegawai
negeri sipil (PNS), bakal calon Walikota-Wakil Walikota (Wawali) Kota
Kotamobagu (KK), pengurus dan aktivis Partai Politik (Parpol, dan para tukang
jilat, sebaiknya tidak membaca tulisan ini untuk menghindari tekanan darah
tinggi, tereng, dan sejenisnya.
BELAKANGAN saya
kerap mendengar kata ‘’loyalitas’’ dipercakapkan di kalangan pegawai negeri
sipil (PNS) di Mongondow, terutama di KK dan Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk.
Tidak ada yang aneh. Pasal 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010
Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, misalnya, sudah mengatur dengan jelas
aspek-aspek utama yang harus diindahkan oleh setiap birokrat di negeri ini.
Ayat-ayat di Pasal 3 PP No 53/2010, yang berjumlah 17, berisi
kandungan eksplisit kepada siapa PNS harus loyal. Pun, sumpah/janji PNS atau
sumpah/janji jabatan (ayat 1 dan 2), misalnya, saya yakin tidak mensyaratkan
seorang birokrat loyal pada satu-dua sosok pribadi. Termasuk loyal, katakanlah,
pada Bupati, Walikota, Gubernur, atau atasannya (siapa pun itu), harus
diletakkan pada konteks profesionalitas seorang birokrat.
Sebab itu, mengetahui
minggu-minggu terakhir ini ada sensus politik di seluruh Satuan Perangkat Kerja
Daerah (SKPD) KK, yang pertama terlontar dari mulut saya adalah serapah,
‘’Terkutuk!’’ Kalau pun caci-maki ini tertuju langsung pada Walikota, Djelantik
Mokodompit, sebagai pejabat birokrasi dan politik tertinggi di KK, saya tidak
ambil pusing. Sebagai Walikota, dia tahu persis apa yang terjadi dan patut
diduga perintah bejat itu datang langsung dari yang bersangkutan.
Saya yakin isu ini sudah dimamah-biak oleh mayoritas warga
KK. Bagi yang hanya samar-samar mengetahui, saya perjelas: Di tiap SKPD di KK
telah diedarkan daftar isian, dimana para birokratnya harus mencantumkan nama
dan pemihakan politiknya, yang ditandai dengan tiga warna: Kuning, Biru, dan
Abu-Abu.
Kuning artinya mendukung Djelantik Mokodompit (yang telah
pula ditetapkan oleh Partai Golkar) sebagai calon Walikota KK 2013-2018. Biru
untuk Tatong Bara (yang sudah pasti diusung Partai Amanat Nasional –PAN)
berkompetisi dengan Djelantik. Dan Abu-Abu untuk mereka yang belum menjatuhkan
pilihan.
Yang menjijikkan, proses sensus disertai pula dengan ancaman
bahwa pilihan ‘’biru’’ atau ‘’abu-abu’’ tidak menunjukkan loyalitas seorang
PNS. Dan PNS yang tidak loyal, tentu bakal disingkirkan dengan non job dan sejenisnya. Agar lebih meyakinkan,
PNS yang kumabal diperingatkan dengan
mengutip Trimatra Pengabdian yang kerap disebutkan di mana-mana oleh Walikota dan
jajarannya: Loyalitas, disiplin, dan profesionalisme.
***
Dari mana asal-usul Trimatra Pengabdian PNS yang jadi jargon
(khususnya) di KK dan Bolmong ini berasal? Setelah capek mencari-cari rujukan,
menelepon sejumlah orang, barulah saya mendapatkan gambaran. Bahwa, Trimatra yang
menakutkan ini ternyata mulai dipopulerkan di era Bupati Bolmong Marlina
Moha-Siahaan.
Konon, Trimatra ini jadi resep ampuh saat dia mencalonkan
diri sebagai Bupati Bolmong di periode jabatan kedua. PNS yang ketahuan memilih
calon pesaing, bakal digencet dengan Trimatra. Walikota Djelantik Mokodompit
membeo dan kemudian mengubah urutan Trimatra Pengabdian ala Marlina
Moha-Siahaan menjadi ‘’loyalitas, disiplin, dan profesinalisme’’; lalu kini menggunakan
sebagai senjata membuat jerih PNS di KK.
Reputasi mulut Djelantik Mokodompit yang tak dapat dipegang
kebenarannya, tak perlu diperbantahkan lagi. Walau demikian, saya tetap takjub
terhadap ketidak-tahu maluannya. Padahal, di awal 2013, saat apel perdana dengan
jajarannya, Walikota mengingatkan agar PNS tak berpolitik praktis (http://manado.tribunnews.com/2013/01/03/antik-ingatkan-pns-tak-berpolitik-praktis).
Pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) pun pasti tahu apa
arti ‘’politik praktis’’ berkaitan dengan PNS. Pertanyaan saya: Walikota KK
benar-benar tidak tahu, pura-pura tidak tahu ada sensus politik di lingkungan
Pemkot KK, atau memang tidak paham apa itu politik praktis dan ke-PNS-an? Saya
lebih percaya yang ketigalah yang lebih mendekati kemungkinan. Bahkan, saya
berkeyakinan penuh dialah dalang dibalik sensus itu.
***
Telah menjadi semacam konsensus umum di KK bahwa pemilihan
Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) KK 2013 adalah kompetisi dua elit politik:
Djelantik Mokodompit dan Tatong Bara. Sebagai Walikota dan Ketua PG KK,
Djelantik diuntungkan karena dialah yang menggendalikan DPR (dimana mayoritas
anggotanya berasal dari PG) dan PNS yang setiap saat mengkerut diancam mutasi
dan non job.
Sebaliknya, Tatong Baru yang masih duduk di kursi Wawali KK,
adalah Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PAN Sulut. Di wilayah Bolmong, PAN
cukup punya gigi. Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan, adalah Ketua Dewan Pengurus
Daerah (DPD) PAN Bolmong dan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan
Lanjar, adalah Koordinator PAN untuk Sulut dan Gorontalo. Kekuatan Tatong Bara
kian mumpuni bila Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu, yang
walau berasal dari PDI Perjuangan tetapi sudah berkomitmen mendukung calon PAN
di Pilwako KK, juga disertakan dalam aliansi politis ini.
Dengan mempraktekkan politik normatif saja, peluang Tatong
Bara mengalahkan Djelantik Mokodompit, terbuka lebar. Tapi alangkah mengecewakan,
karena dua sosok elit ini ternyata 11-12 belaka.
Sensus politik PNS KK yang diakukan Djelantik Mokodompit,
kini dilawan dengan pengerahan PNS oleh Tatong Bara, dengan menggunakan jejaring
partainya. Yang sudah terkonfirmasi adalah PNS di lingkungan Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Bolmong. Malam ini (Jumat, 1 Februari 2013), PNS Bolmong di
atas eselon III, lebih khusus lagi yang bermukim atau memiliki pengaruh di KK, disokong
melakukan pertemuan khusus dengan agenda mendukung Tatong Bara.
***
Sudah waktunya kelakuan tak senonoh elit politik di
Mongondow ini dihentikan. Yang mengherankan saya, praktek-praktek busuk itu
seolah-olah tak diketahui Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Pengawas Pemilihan
Umum (Panwaslu) KK. Kemana saja dua institusi ini? Apa mereka sudah ikut-ikutan
makan sogok dan masuk angin?
Sensus politik yang dilakukan di jajaran Pemkot dan pengerahan
PNS untuk mendukung bakal calon di Pilwako KK, cukup menjadi alasan bagi KPU
dan Paswalu bersepakat menunda pelaksanaan event
ini. Atau, kalau satu-satunya kepentingan mereka adalah demi hak dan kemaslahatan
warga KK, maka harus ada sanksi yang tegas: Mencoret bakal calon atau calon
yang sudah terbukti melakukan praktek kotor dan melawan semua undang-undang
(UU) serta turunannya.
Lebih baik KPU meloloskan Ahmad Ishak atawa Matt Jabrik,
yang wartawan dan tukang main gitar, sebagai calon Walikota KK 2013-2018, daripada
maniak politik yang telah terbukti semena-mena menyalah-gunakan jabatan
publiknya.
Kalau pun belum ada yang melaporkan masalah ini (terutama
karena takut ditimpa sanksi loyalitas), tulisan ini boleh dijadikan bukti.***