SORE jatuh di Jakarta yang
mendung, Selasa (5 Februari 2013) ketika saya membaca berita yang diunggah Detik.Com,
Abraham Samad Terbukti Bukan Caleg PKS, Hidayat Minta Maaf. Yang meminta
maaf adalah Ketua Fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS), Hidayat Nur Wahid; yang
dimintai maaf adalah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, Abraham Sahmad;
dan jadi musabab adalah tuduhan Samad pernah menjadi calon anggota legislatif
(Caleg) PKS di Sulawesi Selatan (Sulsel).
Tuduhan
dari Hidayat Nur Wahid ke Abraham Samad terlontar menyusul lindu ditangkapnya
Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, atas dugaan suap-menyuap kuota daging impor
yang melibatkan PT Indoguna Utama. Spekulasi yang mengiringi tuduhan Ketua
Fraksi PKS, Abraham Samad berperan dalam konspirasi mendudukkan tokoh lain
dengan menyingkirkan Luthfi Hasan Ishaaq dari pimpinan puncak partai.
Lontaran
Hidayat Nur Wahid terbukti tak berlandas fakta dan karenanya dia meminta maaf. Detik.Com
mengutipkan: ‘’Saya harus sampaikan permintaan maaf atas informasi yang kurang
tepat itu dan demikian clear bahwa beliau memang bukan calon anggota DPR
dari PKS.’’
Membaca
permintaan maaf itu, saya nyaris mengekspresikan kekaguman dengan
bertepuk-tangan. Hidayat Nur Wahid tidak hanya sedang menunjukkan ketinggian
mentalitas, akal budi, dan adabnya; tapi juga mengingatkan kembali betapa mulia
kebesaran hati. Sudah fitrah dan sifat alamiah manusia melakukan kesalahan;
yang obat pertamanya cuma menunjukkan penyesalan degan permintaan maaf. Sepele,
sederhana.
***
Namun
yang dianggap sepele dan sederhana, kerap tak mudah dipraktekkan, terutama di
Indonesia (negeri Pancasila yang ber-Tuhan dan berkemanusiaan yang adil dan
beradab), lebih khusus lagi belakangan ini di Bolaang Mongodow (Bolmong). Meminta
maaf, sekali pun salah, kelihatan tak lagi masuk dalam daftar tata sosial dan
perilaku. Sudah terbukti salah, keliru, justru balik mengertak. Kalau pun
akhirnya terpaksa minta maaf, semata karena pokok soalnya sudah jadi urusan
pidana.
Ya,
seperti lagu yang dilantunkan Elton John: Sorry seems to be the hardest word
(maaf tampaknya menjadi kata yang amat sulit).
Teramat
sulit bahkan untuk Anuar Sukur, penulis yang juga seorang kerabat sekaligus
karib, yang menelepon Senin malam (4 Februari 2013) saat saya dalam perjalanan
memenuhi janji makan malam dengan seorang kawan. Anuar (yang kita harapkan di
masa datang menjadi pengganti almarhum Bernard Ginupit) tentu tahu persis
budaya luhur Mongondow dalam soal mengakui kesalahan dan minta maaf.
Masalahnya,
isu yang kami bahasa di telepon tidaknya menyangkut dia seorang, tetapi Komite
Rakyat untuk Pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya (KRUPPBMR), khususnya
lagi account facebook kelompok ini yang sudah berulang kali digunakan
mencaci maki saya pribadi. Anuar yang juga menjadi salah satu bagian dari
kelompok ini menyatakan bahwa dia juga keberatan terhadap penyalah-gunaan itu.
Saya
tahu secara tersirat (tidak tersurat) dia menyampaikan permintaan maaf, yang
semestinya bukan menjadi tanggungjawabnya. Saya mengenal baik Anuar,
kepribadian dan ketulusannya. Dan untuk itu saya menyampaikan hormat yang
tinggi. Lagipula, kalau dia punya keberatan, kritik, atau cacian, telepon dan
pintu rumah saya setiap saat terbuka untuknya.
Namun,
saya juga mengemukakan keprihatinan, bahwa saya cukup mengetahui sepak-terjang
tokoh-tokoh utama yang berhimpun di KRUPPBMR. Beberapa orang saya respeki
dengan sungguh-sungguh; sebagian lagi saya kampreti, terutama ‘’penumpang aji
mumpung’’ yang rekam jejaknya jauh dari layak dihormati.
Ada
yang mengaku-ngaku tokoh, aktif terlibat tidak hanya di KRUPPBMR, tapi
sebenarnya pencoleng berlagak intelektual. Tidak percaya, cek saja ke beberapa
organisasi masyarakat Mongondow di mana dia pernah aktif. Kasusnya sama:
Manipulasi dan menilep uang organisasi, menjual-jual atas nama, dan sejenisnya.
Cari tahu pulalah bagaimana aksi yang direncanakan oleh KRUPPBMR sudah
dijadikan komoditas demi keuntungan pribadi, yang dilakukan oleh beberapa orang
di dalam kelompok itu.
Fakta
perkembangan terakhir isu pembentukan Provinsi BMR seharusnya membuat kita
malu, karena masalahnya fundamentalnya ada di Mongondow. Ketidak-lengkapan
administrasi dan sebagainya. Alasan bahwa aksi demontrasi membakar ban,
keranda, dan foto Gubernur Sulut membuat isu provinsi kembali mendapat
perhatian, terlampau mengada-ada. Sama dengan klaim bahwa kedatangan Gun
Lapadengan mewakili Pemerintah Provinsi, adalah bukti adanya perhatian itu.
O,
rupanya ini kelompok orang kurang perhatian? Atau justru gila perhatian?
Sayangnya minta perhatian itu dilakukan dengan cara-cara coro.
Dan
cara-cara rendah itu tidak perlu diherankan. Caci maki terhadap saya dengan
menggunakan account KRUPPBMR, karena saya mengkritik aksi mereka, lebih
dari sikap anti kritik yang juga menjadi gejala kronis di kalangan muda di
Mongondow. Perilaku ini menunjukkan betapa pengetahuan, adab, dan mentalitas
sejumlah orang yang mengaku aktivis memang busuk. Tapi memangnya saya peduli?
Tidak masalah buat saya. Kalau itu masalah buat sejumlah cecungguk di KRUPPBMR,
saya tidak ambil pusing.
Sama
halnya saya juga tidak ambil pusing terhadap halusinasi orang yang mengaku
memahami sejarah Mongondow dan kemudian dengan gagah-berani menduding saya.
Setelah ditunjukkan cacat-cela argumentasinya, eh, bukannya mengakui dan bilang
‘’sorry’’, malah melompat ke urusan yang amat tidak penting. Kalau baru baca
satu buku sejarah dan menjadikan satu-satunya referensi, ya, tahu dirilah.
Tidak susah minta maaf dan kita melanjutkan hidup dengan damai sejahtera.
Lagipula,
siapa yang menyuruh membaca tulisan saya? Kalau Anda berhak demonstrasi, main
silat, gantung diri, atau menulis karang-karangan sesukanya, saya pun berhak
men-tolol-tolol-kan siapa pun yang memang berperilaku hanya setinggi pohon poke-poke.
Mongondow na’a de’-eman bi’ tonga’ budel i laki bo ba’i monimu.
***
Mantan
salah seorang asisten saya, seorang perempuan yang konsern pada gerakan-gerakan
sosial, meminta pensiun dini dan kini bergiat mengurusi orang-orang kecil,
gigih mengkampayekan kesadaran menggunakan tiga kata: Permisi, maaf, dan terima
kasih. Alasannya, tiga kata ini kian langka digunakan, dan itu mengindikasikan
adab masyarakat ada di level kronis.
Dia
mungkin benar. Dalam persentuhan saya dengan komunitas atau masyarakat yang
kita difinisikan ‘’maju’’, kata ‘’excuse me’’, ‘’sorry’’ (atau ‘’pardon’’), dan
‘’thank you’’ mudah ditemukan di mana-mana. Sekadar melewati orang yang sedang
berdiri, minimal ada dua dari tiga kata ini yang terucap.
Di
kesempatan ini saya coba mempraktekkan penggunaan tiga kata itu: ‘’Permisi,
wahai para cecunguk bebal di Mongondow (yang bukan cecungguk dan tidak bebal
tentu menjadi pengecualian), saya mau meminta maaf akan terus mengolok-olok
kalian, karena memang demikianlah yang pantas dilakukan. Terima kasih.’’***