PEMILIHAN
Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu (KK) memasuki tahap
pengambilan formulir bakal calon di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Anehnya, tahapan
yang ibarat bunyi pistol start di
perlombaan lari ini, justru terkesan ‘dingin-dingin saja’’.
Dibanding daerah lain di wilayah Mongondow, dinamika politik
KK memang tak biasa. Di saat semestinya tak ada gejolak, atmosfir politik
bergejolak karena perseteruan Walikota Djelantik Mokodompit (DjM) dan Wakil
Walikota (Wawali) Tatong Bara (TB) mendadak mendidih tersebab perkara sepele. Semisal
peristiwa amat tidak penting seperti sambutan di pesta pernikahan atau
kehadiran di kedukaan.
Tidak mengherankan bila Pilwako hanya dipersepsikan sebagai
arena pertarungan dua pejabat publik sekaligus tokoh elit politik itu.
Kenyataannya, calon-calon yang lain memang tenggelam, digilas terpusatnya
perhatian publik terhadap DjM dan TB.
Muhamad Salim Lanjar (MSL) yang sudah lama ‘’mengkampanyekan
diri’’, belakang sepi dari perhatian, setidaknya yang tercermin dari
pemberitaan media (khususnya cetak dan digital) mainstream. Apakah dia sama sekali belum mendapatkan komitmen dari
partai politik (Parpol) yang akan mengusung; atau sudah mengantongi mandat tapi
masih menyimpan sebagai surprise saat
pengembalian formulir yang menandai resminya status seseorang menjadi bakal
calon Walikota atau Wawali KK.
Namun bila strategi itu yang diterapkan, menurut saya
bukanlah pendekatan yang cerdas dan berkualitas. Kecuali MSL punya keyakinan
yang didasari riset hati-hati dan cermat bahwa pemilihnya sudah tak
tergoyahkan, sekali pun para pesaing menggunakan metode dan praktek politik super canggih dalam mempersuasi pemilih.
Menurut saya, lebih tepat bila MSL memang belum punya Parpol
pengusung dan tengah pusing dengan berbagai aspek yang sebelumnya
dipergampangkan. Melihat situasi terkini, saya hampir berkeyakinan pencalonan
MSL hanya akan berakhir sebagai wacana yang meramaikan pesta Pilwako.
Calon Walikota lain, Jainudin Damopolii (JD) juga tidak
menunjukkan gerakan signifikan menempatkan diri sebagai calon yang layak
dilirik warga KK. Sepengetahuan saya, tekadnya menjadi bakal calon Walikota sejak
mula dilakukan di jalur independen. Tampaknya berindependen jauh dari prospek
menggembirakan, karena JD kemudian mendaftar ke PDI Perjuangan ‘’hanya’’ di posisi
bakal calon Wawali. Lagi-lagi, sebagai taktik –apalagi strategi—politik,
langkah ini justru menjadi sebuah
kesalahan fatal.
JD bukan hanya menurunkan leverage-nya, tidak konsisten, dan tidak-percaya diri, tetapi juga
menunjukkan bahwa satu-satunya yang dia kejar adalah jabatan. Politikus cerdas,
matang, dan kalkulatif tidak akan mengambil langkah gegabah. Perubahan drastis
JD dari calon Walikota independen ke mendaftar sebagai bakal calon Wawali dari
PDI Perjuangan dapat dikonklusi dengan satu kata: oportunis. Tidak enaknya,
kata ini lebih berkonotasi negatif dibanding positif.
Politikus lain yang pantas diperhitungkan dan sudah pula
menyatakan bakal mencalonkan diri sebagai Walikota KK 2013-2018 adalah Ishak
Sugeha (IS). Tapi sebagaimana MSL dan JD, IS juga tidak menunjukkan upaya yang
dapat dijadikan indikator keseriusannya. Namun yang menguntungkan, setidaknya
dengan tetap konsisten pada sikapnya, mengingat IS adalah Ketua Dewan Pimpinan
Cabang Partai Demokrat (DPC PD) KK, potensi dia menjadi tokoh kunci di posisi
Wawali sangat terbuka. Baik sebagai calon Wawali untuk DjM maupun TB, atau
calon lain yang tiba-tiba muncul didukung oleh Parpol di luar Partai Golkar
(PG) atau Partai Amanat Nasional (PAN).
Di luar itu, Ahmad Ishak atau yang mempopulerkan diri
sebagai Matt Jabrik (wartawan yang juga tukang main gitar dengan slogan ‘’…
Matt Jabrik tetap Calon Walikota KK 2013-2018), saya perhitungkan semata-mata
sebagai dinamisator dinamika politik KK. Apalagi kita sukar menafsirkan Matt
Jabrik serius atau sedang kesurupan, sebab di satu sisi dia mengkampanyekan
diri sebagai calon Walikota, tetapi di saat yang sama juga mendaftar di PDI
Perjuangan untuk posisi bakal calon Wawali.
Matt Jabrik, dengan segala kreativitas dan ulahnya, memang gilden!
Nama-nama lain yang sekarang bersiliweran, sebaiknya kita
abaikan saja. Kecuali bila Rachmat Mokodongan yang kini masih menjabat sebagai
Sekretaris Provinsi (Sekprov) Sulut tiba-tiba menyatakan mencalonkan diri
sebagai Walikota KK. Bila itu yang terjadi, saya berkeyakinan peta persaingan
politik Pilwako akan berubah total.
***
Idealnya berapa pasang calon Walikota-Wawali yang bertarung
di Pilwako KK? Menurut hemat saya, tiga pasang adalah jumlah yang bakal membuat
dinamika politik marak dan memberikan alternatif yang menantang untuk para
konstituen.
Komposisinya adalah, calon Walikota dari PG (DjM), PAN (TB),
dan satu lagi calon yang mampu menjadi terobosan optimis kepemimpinan politik
dan birokrasi dari gabungan Parpol –di luar yang akhirnya memilih berkoalisi
dengan PG atau PAN. Untuk calon ketiga ini, saya tidak melihat ada nama-nama yang
kini beredar yang cukup layak jual dipertandingkan dengan DjM dan TB.
Ada sejumlah sosok yang selama ini tidak turut dalam
keriuhan ‘’mencalonkan diri’’, yang sebenarnya lebih bernilai dibanding DjM
atau TB, dan terlebih para calon penggembira yang sudah menjual nama mereka
dengan syawat kekuasaan telanjang. Masalahnya, Parpol kita sudah terkenal (dan
memang demikian adanya) malas mengeksplorasi, dan kian enggan bila sosok
tersebut tidak punya prospek dijadikan ‘’sapi perah’’.
Tipisnya kemungkin Parpol-Parpol di luar PG dan PAN
menemukan kompetitor seimbang melawan dominasi isu DjM dan TB, membuat kita
harus fokus pada dua tokoh ini.
Ada beberapa skenario. PG stand alone mencalonkan Walikota-Wawali dengan kemungkin pasangan
DjM-Nasrun Koto, DjM-Rustam Simbala –politikus PDI Perjuangan (dengan
konsekwensi bila PDI Perjuangan tidak berkoalisi dengan PD, maka Rustam akan
dipecat dari partainya) atau DjM-Hairil Paputungan (HP). Kemungkinan lain, PG
berkoalisi dengan PDI Perjuangan dan mencalonkan DjM-Nasrun Koto atau DjM
Rustam Simbala.
Dari sisi PAN, alternatifnya tak jauh beda. Bila stand alone, kemungkinan calon yang akan
diajukan adalah TB-JD atau TB-Begie Gobel. Peluang TB mengandeng HP sangat
kecil, karena sejak awal publik KK sudah mengetahui HP memang mengfokuskan approach-nya hanya sebagai calon Wawali
DjM. Sedangkan bila berkoalisi dengan PDI Perjuangan, kemungkinannya adalah
TB-Nasrun Koto atau TB-JD. Saya tidak memperhitungkan Benny Rhamdani (yang tak
kurang gigih menjajakan diri dan sudah mendaftar ke PDI Perjuangan), karena akan
ada penolakan keras dari elit-elit PAN Sulut dan Pusat.
Kemungkinan-kemungkinan skenario itu semuanya tidak
menimbulkan optimisme publik KK. Yang harus dicatat, baik oleh DjM maupun TB:
Bagi DjM, calon Wawali yang dia pilih adalah sosok yang mampu mengangkat
kredibilitas dan keterpilihannya. Jujur saja, tanpa dikatakan, saat ini tingkat
keterpilihan DjM sudah berada di level
‘’merah’’. Sebaliknya, TB harus memilih calon Wawali yang tidak menggerus
tingkat keterpilihannya, yang kini berada di posisi ‘’hijau’’ karena konstituen
Pilwako KK umumnya sudah muak dengan kepemimpinan dan manajemen kota yang
dipraktekkan DjM.
Di titik inilah posisi politik dan sosial IS diuntungkan.
Sebagai politikus dia dikenal kritis, cukup kredibel, dan diterima luas. Dia
juga datang dari Parpol terkemuka. Bagi DjM, memilih IS berarti menyelamatkan
keterpilihannya dari posisi terjun bebas; sebaliknya untuk TB, memilih IS sama
dengan menambah pundi-pundi modal sosial dan politik.