DI BANDARA Soekarno-Hatta,
Kamis menjelang malam (14 Februari 2013), pertanyaan-pertanyaan itu tiba di
telepon selular saya dalam bentuk pesan pendek (SMS) dan BlackBerry Messenger (BBM): ‘’Anda sudah tahu Djelantik Mokodompit (DjM)
dan Tatong Bara (TB) ikut fit and proper
test (FPT) dan psikotes di Kantor
DPP PDI perjuangan?’’
Itu kabar yang dikemas dengan pertanyaan sopan. Yang lebih nakal,
ada yang mengirimkan foto TB sedang berkonsentrasi menghadapi kertas (materi
FPT atau psikotes?) dengan latar DjM yang tampak tak kurang khusyuknya.
Saya tidak membalas satu pun SMS dan BBM itu. Satu hari
sebelumnya (Rabu, 13 Februari 2013), saya sudah mendapatkan informasi bahwa
pasangan Walikota dan Wakil Walikota (Wawali) KK yang dipastikan bakal jadi
kompetitor di Pilwako 2013 ini, mengikuti FPT dan psikotes yang dilaksanakan
DPP PDI Perjuangan. Sekali pun mencoba menahan diri, kabar ini sempat membuat
saya meletupkan serapah berisi jenis seluruh penghuni kebun binatang dan tempat
pembuangan sampah untuk kebodohan DjM dan TB.
***
Di KK, PDI Perjuangan bukanlah partai papan atas. Dengan
jumlah tiga kursi di DPR, dia dikategorikan sebagai partai menengah dengan
potensi menjadi salah satu ‘’pemain utama’’ di Pemilihan Umum (Pemilu) 2014
mendatang.
Dibanding Partai Golkar (PG) yang Dewan Pengurus Daerah
(DPD) KK-nya di Ketuai Djelantik Mokodompit atau Partai Amanat Nasional (PAN) yang
Diketuai Begie Gobel (dengan Tatong Bara sebagai Ketua Dewan Pengurus Wilayah
–DPW—Sulut), di Pilwako KK PDI Perjuangan harus berkoalisi dengan partai lain
untuk bisa mengusung calon Walikota-Wawali 2013-2018. Sementara PG dan PAN yang
masing-masing memiliki satu fraksi utuh, boleh melenggang dengan calonnya
sendiri. Kalau pun harus berkoalisi, pilihannya lebih sebagai taktik ketimbang
strategi jangka panjang.
Di tingkat Provinsi Sulut, sebaliknya PDI Perjuangan dan PG
masuk kategori pemain utama. Mereka punya fraksi utuh di DPR Sulut dan
masing-masing meloloskan dua kadernya ke DPR RI (Edwin Kawilarang dan Didi Moha
dari PG, serta Olly Dondokambey dan Vanda Sarundajang dari PDI Perjuangan). Di
bawahnya, kategori menengah, ada PAN dan Partai Demokrat (PD) masing-masing
dengan satu kader di DPR RI.
Bila dipetakan lebih jauh, di kompetisi pemilihan kepala
daerah (provinsi, kabupaten, dan Kota), PG dan PDI Perjuangan bersaing ketat
(sekaligus) saling berganti berkoalisi dengan PAN dan PD. Hasilnya adalah
politik yang cair dan mudah bergeser. Boleh dikata tak ada satu partai politik
(Parpol) pun yang menjadi driving factor
politik di provinsi ini. Benar bahwa Gubernur SH Sarundajang dan Walikota
Manado adalah kader (bahkan elit) PD; tetapi di tingkat kabupaten dan Kota
lainnya, baik Bupati maupun Walikota, justru diduduki kader PG, PDI Perjuangan,
dan PAN.
***
Tidak adanya partai yang menjadi ‘’penguasa politik’’ di
Sulut membuat saya ternganga-nganga dan menyerapahi keikut-sertaan DjM dan TB
di FTP dan psikotes yang dilaksanakan DPP PDI Perjuangan. Dari seluruh aspek
logika dan praktek politik, langkah DjM yang sudah dipastikan menjadi bakal calon
Walikota KK dari PG dan TB yang menjadi satu-satunya calon Walikota dari PAN,
adalah kebodohan ‘’tingkat dewa’’.
Sebagai politikus, mereka berdua sama sekali tidak paham apa
itu strategi dan taktik politik. Pun tidak punya respek terhadap partai dan konstituen
mereka.
Sebaliknya, untuk seluruh jajaran PDI Perjuangan, saya
mengucapkan selamat karena berhasil menunjukkan bahwa fraksi di DPR KK boleh minus, tapi dari sisi strategi dan
taktik politik, mereka sukses mengadali elit partai lain. Dua jempol untuk itu,
terlebih yang masuk perangkap adalah Ketua DPD KK PG yang juga masih menjabat
Walikota dan Ketua DPW PAN Sulut yang juga Wawali KK.
Di jagad mana pun, kekuatan sebuah partai diukur dari
capaian posisi politik dari kader-kadernya. Di KK, PG dan PAN adalah partai
kuat (sekali lagi) dengan masing-masing satu fraksi utuh. Walau, kuantitas
mungkin berbanding terbalik dengan kualitas. Kader boleh banyak, tetapi tak
beda dengan kantong nasi yang bisa bicara dan jalan-jalan, karena isi kepala
mereka kosong melompong.
Berdasar logika dan praktek umum politik, di KK posisi PG
dan PAN jauh lebih dominan dibanding PDI Perjuangan. Kalau dua partai ini
berkoalisi dengan PDI Perjuangan, maka call
politik normal adalah calon Walikota berasal dari PG atau PAN dan Wawali dari
PDI Perjuangan. Sebagai main factor,
baik PG maupun PAN berhak menentukan jenis kader seperti apa yang dapat
diterima dan disandingkan dengan calon mereka. Bentuknya, yang paling umum
adalah lewat FPT, psikotes, dan jajak pendapat (berkaitan dengan keterkenalan
dan keterpilihan sang calon).
Namun politik KK adalah politik abdormal. DjM dan TB justru
harus tunduk terhadap PDI Perjuangan dengan ikut FPT, psikotes, dan survei yang
akan dilaksanakan setelah dua yang pertama selesai dijalani. Mereka berdua diperlakukan
sama dengan para bakal calon yang berbondong mendaftarkan diri ke PDI
Perjuangan dan bersedia –tanpa reserve—mengikuti
aturan internal partai ini. Artinya, implisit dan eksplisit PDI Perjuangan
memaklumatkan pada orang banyak: Di KK partai ini lebih penting dibanding PG
dan PAN, karena calon Walikota mereka pun harus melewati syarat yang kami
tetapkan.
Pengurus dan kader PG serta PAN KK semestinya malu terhadap
kedunguan strategi dan taktik politik partai serta kebodohan dua elit politik
mereka. Terus-terang, dengan berat hati saya harus mengatakan DjM maupun TB cuma
politikus kelas kuaci. Dengan diletakkannya harga dan nilai partai terlalu
murah, yang paling logis bagi pengurus dan kader PG serta PAN KK adalah
beramai-ramai pindah ke PDI Perjuangan.
***
Saya tidak punya urusan, apalagi ingin mencari gara-gara
pada DjM, TB, PG, PAN atau PDI Perjuangan. Sebagai warga KK, saya hanya malu terhadap
kualitas elit politik yang kini duduk di jabatan publik tertinggi di KK seperti
yang ditunjukkan DjM dan TB.
Tidak heran pembangunan di KK morat-marit, tak jauh beda
dengan hubungan antara Walikota dan Wawali. Dan karena itu, warga KK tidak usah
berharap banyak terhadap Walikota-Wawali yang akan terpilih di Pilwako 2013
ini, terlebih kalau calon kuat Walikotanya adalah DjM dan TB. Siapa pun yang
akan terpilih, selama lima tahun ke depan hanya akan memimpin dengan kemiskinan
visi, pengetahuan, dan etika. Mereka terbukti tak tahu harga dan nilai harga
diri.