ASISTEN I
Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Tahlis Galang, Senin (18 Februari
2013), dilantik sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah (Sekda)
menggantikan Gunawan Lombu yang memasuki masa pensiun. Pilihan Bupati Herson
Mayulu mengajukan nama Tahlis, menurut hemat saya adalah terobosan berani yang
harus diacungi jempol.
Tahlis Galang adalah generasi Mongondow yang jauh di bawah
saya. Dari sisi usia, dia masih belia. Tidak demikian dengan karir birokrasinya
yang melesat cepat. Bagi mereka yang mengenal dekat, dia dinilai pantas
mendapat promosi. Tahlis, ungkap sejumlah orang yang saya temui, bukan hanya
cerdas, santun, sederhana, tetapi juga tergolong ‘’lurus’’ dalam perilaku.
Dia adalah generasi birokrat profesional Mongondow yang bila
mampu menjaga diri, bakal menjadi contoh baik di masa depan. Setidaknya, Tahlis
dan sejumlah kecil birokrat yang berkecerdasan dan berperilaku sama, adalah
kabar baik bahwa kita tetap bisa memelihara optimisme terhadap birokrasi dan
sistemnya di daerah ini.
Saya pribadi mulai menaruh perhatian ada Tahlis galang
ketika dia masih mengabdi di Bolmong (Induk), di masa perintahan Bupati Marlina
Moha-Siahaan. Selain Tahlis, nama lain yang mengundang cermatan saya adalah
Suharjo Makalalag, yang ketika itu kembali dari pertengahan studi PhD-nya untuk
mengabdi sebagai birokrat. Dua nama ini disebut-sebut sebagai birokrat cerdas
yang berpikiran berbeda dan bakal jadi rising
sun.
Sungguh sayang karena belakangan Suharjo Makalalag yang
meneruskan pengabdiannya di Bolmong (Induk) di bawah Bupati-Wakil Bupati
(Wabup) Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, ‘’terpeleset’’ kasus Tunjangan Penghasilan
Aparat Pemerintah Desa (TPAPD). Kita sama tahu, kini Suharjo harus meringkuk di
balik terali besi demi menebus keterlibatannya itu.
Akan halnya Tahlis yang pindah bersama dimekarkannya Bolsel
dari Bolmong (Induk), melanjutkan karir tanpa sekali pun terdengar melakukan
tindak tercela. Setidaknya itu yang saya ketahui.
Tapi diam-diam reputasi Tahlis mendapat atensi luas. Dia
sempat digadang-gadang sebagai salah satu pilihan utama mendampingi Salihi
Mokodongan sebagai bakal calon Wabup di Pilkada Bolmong, awal 2011 lalu. Ketika
akhirnya Salihi Mokodongan disandingkan dengan Yani Tuuk, nama Tahlis tidak
serta merta menghilang. Dia disodorkan sebagai salah satu alternatif utama
menyokong kepemimpinan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk di posisi Sekda.
Kita tahu akhir dari kisah di atas. Bupati-Wabup Bolmong
punya pertimbangan sendiri memilih Sekda dan Tahlis Galang tetap duduk di kursi
Asisten I Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolsel.
***
Pertemuan (pertama) saya dengan Tahlis Galang
berlangsung di Kantor Pemkab Bolsel, satu hari saat saya diundang berbagi
pengetahuan dan praktek komunikasi dengan jajaran birokrat daerah ini. Tatkala
diperkenalkan, saya membathin, ‘’O, ini Tahlis Galang yang sering disebut-sebut
oleh beberapa adik dan sepupu.’’
Kesantunan dan kesederhaan yang dia perlihatkan hari itu
(saya merasa jenggah karena seorang Asisten tak sungkan membuka pintu mobil),
mengkonfirmasi sejumlah cerita yang ditutur di malam-malam saya, adik-adik, dan
para sepupu berbual-bual di garasi rumah di Malalayang atau teras kediaman
Ayah-Ibu di Jalan Amal, Mogolaing. Salah satu di antara cerita itu, bahwa
selain bersikutat dengan tugas-tugas birokrasi, Tahlis Galang memelihara kolam
yang diisi belut.
Hasil berkolam belut itu menjadi penompang ekonomi Tahlis,
yang membuat dia tidak tersentuh gosip penyelewengan wewenang (utamanya keuangan),
padahal kekuasaan birokrasi yang ada di tangannya memberi peluang besar. Ketika
saya menanyakan ihwal perbelutan itu, Tahlis bahkan spontan menawarkan
mencicipi belut dari kolamnya. Apalagi
dia ternyata sudah diberitahu bahwa saya tergolong penggila belut.
Kesederhanaan Tahlis kian lengkap ketika saya menegok
kediamannya di Kota Kotamobagu (KK) yang sungguh bersahaja, bahkan dibandingkan
dengan birokrat seangkatan dia dengan jabatan birokrasi yang lebih rendah. Kendati
begitu, di hadapan sejumlah aktivis Mongondow, usai berpesta bebek rica-rica di
rumah salah seorang sepupu, Sarif Mokodongan, saya pernah melontarkan komentar,
‘’Mudah-mudahan Tahlis tetap waras, jangan sampai akhirnya tak beda dengan
kebanyakan birokrat yang mulanya kita puji karena kerena profesionalisme,
kesederhaan, dan kelurusannya. Yang berubah menjadi berbulu ayam di saat
mencapai tangga elit kekuasaan.’’
***
Lulus dengan nilai tergolong cemerlang dari Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Jatinangor, Sumedang, 1997, Tahlis Galang
bukanlah satu-satunya alumni sekolah ini dari wilayah Mongondow. Salah seorang
kawan seangkatannya yang saya tahu persis adalah Max Iswadi Mokodompit yang
kini bekerja di Pemkab Bolaang Mongondow Timur (Boltim).
Pengecekan yang saya lakukan sangat mengejutkan, di
Mongondow bertebaran alumni STPDN di atas maupun di bawah angkatan Tahlis
Galang, yang susah-payah meniti karir dan tampak terabaikan pendayagunaan
pengetahuan, kapasitas, dan kapabilitasnya. Apakah karena dari sisi kualitas
mereka biasa saja? Atau tersebab birokrasi di Mongondow umumnya disusun bukan
berdasarkan pertimbangkan profesionalisme birokrasi, melainkan lebih banyak
pada aspek politis dan selera Bupati, Wabup, Walikota, atau Wakil Walikota
(Wawali)?
Ibarat langsat, apakah Tahlis Galang adalah satu biji
anaomali dari setandan buah? Dia matang terlebih dahulu dibanding yang lain?
Padahal dari hukum buah langsat, biji yang berada di tandan yang sama harusnya
matang bersamaan pula.
Di tengah keluh-kesah minimnya sumber daya birokrasi
profesional di Mongondow, pelantikan Tahlis Galang sebagai Plt Sekda Bolsel
harusnya menyadarkan para Bupati-Wabub dan Walikota-Wawali bahwa ada resources yang terabaikan. Kalau Tahlis Galang mampu menduduki jabatan
Asisten I kemudian Plt Sekda, semestinya alumni STPDN yang lain –seangkatan, di
atas atau di bawah angkatannya—seperti Max Iswadi Mokodompit, juga punya
kapasitas dan kapabilitas yang kurang lebih sama.
Masalahnya, apakah Bupati-Wabup atau Walikota-Wawali di
Mongondow menyadari situasi ini? Bupati Bolsel, Herson Mayulu, membuktikan dia
berani melakukan terbosan. Bagaimana dengan yang lain? Jangan sampai para
alumni STPDN yang pendidikannya dibiaya sangat besar oleh negara menjadi
generasi birokrasi yang tersia-sia di Mongondow, hanya karena elit birokrasi
dan politik abai mendayagunakan mereka.
Dan sebagai ‘’contoh soal’’, saya mendoakan agar Tahlis
Galang tetap pada sosok dan performance
yang sudah dia tunjukkan selama ini. Ada harapan banyak orang di pundak Anda,
Bung. Jangan disia-siakan. Semoga Tuhan Yang Maha Besar selalu membimbing
langkah dan tindakan Anda.***