GUBERNUR Sulawesi
Utara (Sulut), SH Sarundajang, Selasa (18 Desember 2012), menetapkan upah
minimum provinsi (UMP) 2013 sebesar Rp 1.550.000. Angka ini, sebagaimana yang
saya baca di Kompas.Com (http://regional.kompas.com/read/2012/12/19/11461066/UMP.Sulut.2013.Tertinggi.di.Sulawesi),
adalah yang tertinggi di wilayah Sulawesi.
Ekonom-ekonom pintar di sekitar Gubernur Sarundajang tentu
telah dengan cermat memperhitungkan berbagai faktor dan aspek, yang kemudian
mengkonklusi angka UMP Sulut sebesar itu. Sebagaimana kaum awam lainnya, hanya
dengan memperbandingkan dengan provinsi lain di Sulawesi, saya menyimpulkan:
Ekonomi Sulut pasti tumbuh pesat. Juga, kalau bukan biaya hidup relatif lebih
tinggi, ini petanda masyarakat di daerah ini lebih makmur dibanding provinsi tetangga.
Pertumbuhan ekonomi Sulut sendiri, sejak periode pertama
kepemimpinan Gubernur Sarundajang terus diklaim melebihi rata-rata Indonesia.
Terakhir, Selasa (1 Januari 2013), JPNN.Com
merilis optimisme Gubernur dan ekonom dari Universitas Sam Ratulangi
(Unsrat) Manado, di 2013 pertumbuhan ekonomi daerah ini bahkan lebih optimis di
banding 2012 (http://www.jpnn.com/read/2013/01/01/152551/2013,-Ekonomi-Sulut-Diprediksi-Lebih-Atraktif-).
Saking mengkilapnya pertumbuhan ekonomi Sulut, Pemerintah
Pusat bahkan memberikan intensif dengan menaikkan alokasi Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN), sebesar Rp 8
triliun untuk 2013 ini. Besaran APBN yang ditulis Tribun Manado, Selasa (13 November 2012), http://manado.tribunnews.com/2012/11/13/sulut-mendapatkan-dana-apbn-2013-sebesar-rp-8-triliun,
mempertegas semua kabar melegakan itu.
Nah, di antara semua indikator optimisme ekonomi yang
dikemukakan, yang paling menarik adalah angka pengganguran. Data yang
disodorkan, periode Agustus 2012 angka pengangguran terbuka sekitar 7,79
persen, turun dibanding periode yang sama di 2011 sebesar 8,62 persen dari
total penduduk. Jumlah pengangguran terbuka ini bakal lebih rendah karena tahun
ini Sulut akan pula merekrut pegawai negeri sipil (PNS).
Logika awam saya sampai pada simpulan, Sulut adalah salah
satu daerah dengan prospek mencorong. Bagi yang ingin bekerja, tersedia peluang,
sepanjang punya keinginan, pendidikan, dan ketrampilan. Ke sektor swasta
kesempatan terbuka, jadi PNS juga tinggal menunggu kapan rekrutmennya resmi
diumumkan. Sudah begitu, kompensasi yang bakal dikantongi relatif lebih baik
dibanding daerah lain di Sulawesi; dan dijamin Surat Keputusan (SK) Gubernur.
***
Namun, saya tampaknya harus terbiasa terkaget-kaget dengan aneka
dinamika di Sulut, terlebih di Mongondow. Berita Radar Totabuan, Rabu (6 Februari 2013), Gaji Pegawai Honor Dipangkas (http://www.radartotabuan.com/read/gaji-pegawai-honor-dipangkas-2709)
dan Sabtu (9 Februari 2013), Honda
Mengeluh Gaji Dikurangi (http://www.radartotabuan.com/read/honda-mengeluh-gaji-dikurangi-3264), tetap membuat saya nyaris tersedak.
Ada tiga hal yang benar-benar
mencengangkan. Pertama, Kabupaten
Bolaang Mongondow Timur (Boltim) ternyata mempekerjakan setidaknya 1.000 tenaga
honorer daerah (Honda). Dua,
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) harus mengalokasikan tak kurang dari Rp 12 miliar
per di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hanya untuk honor Honda.
Dan tiga, demi penghematan, per Januari
2013 honor yang diterima Honda di Boltim sebesar Rp 1.000.000.- per orang akang
dipangkas menjadi Rp 600.000.-
Angka 1.000 untuk Honda bukanlah
jumlah sedikit. Berapa jumlah pegawai negeri sipil (PNS) di Boltim? Terus
terang saya tidak memiliki data akurat, tetapi saya menduga tidak menyentuh
angka 5.000 orang. Dengan asumsi sangat tinggi ini pun, 1.000 Honda tetap
bilangan fantastik: Boltim pantas disebut sebagai Kabupaten Honorer.
Belum lagi bila kita lebih mendetil
dengan pertanyaan: Apa tingkat pendidikan rata-rata para Honda ini? Di dinas
dan badan apa mereka disebar? Dan apa yang mereka kerjakan?
Sebagai kabupaten berusia belia,
Boltim harus memanfaatkan APBD-nya dengan hati-hati, salah satunya lewat
birokrasi yang ramping, yang diwujudkan dalam bentuk efektivitas dan efisiensi
jumlah dinas, badan, serta sumber daya manusia (SDM) yang mendukung
operasionalnya.
Sungguh sia-sia bila seorang lulusan
perguruan tinggi (PT) yang mengantongi S1, misalnya, berstatus honorer; dan
karenanya hanya boleh memikul tanggungjawab yang bersifat ‘’teknis’’ dan
‘’tukang’’. Lebih buruk lagi, mengingat jumlah dinas dan badan yang masih
terbatas, sementara ada 1.000 Honda yang siap dikerahkan untuk membuktikan
pikiran, ketrampilan, dan keseriusan menjadi birokrat, bisa-bisa pekerjaan
utama yang terjadi di hadapan mereka adalah ‘’menunggu pekerjaan’’.
Di jangka panjang, Honda ini
berpotensi pula jadi beban warisan. Andai setiap tahun Pemkab Boltim boleh
menerima 300-an calon PNS, hingga tahun ke berapa 1.000 Honda akhirnya resmi
menyandang status PNS?
Bagaimana dengan alokasi sekitar Rp
12 miliar di APBD untuk honor para Honda? Tribunnews.Com,
Jumat (8 Februari 2013), mempublikasi berita bertajuk APBD Boltim Sudah Bisa Digunakan (http://manado.tribunnews.com/2013/02/08/apbd-2013-boltim-sudah-bisa-digunakan), yang menjabarkan bahwa APBD Boltim 2013 mencatat pendapatan sebesar Rp 329.477.082.477.-
dengan belanja daerah mencapai Rp 371.243875667.- Ini artinya ada defisit
tak kurang dari Rp 41.766.793.220.- Honor Honda kelihatannya masuk dalam
kategori ‘’defisit’’ yang harus ditekan agar bolong di kantong Pemkab Boltim
tak makin menganga.
Saya setuju dengan
penghematan demi mengurangi defisit APBD. Tapi apa artinya Rp 2 miliar
dibanding Rp 41,7 miliar di 2013? Terus-terang, alasan penghematan dengan
memotong honor Honda dari Rp 1.000.000.- menjadi Rp 600.000.- per orang per
bulan, menurut hemat saya adalah kebijakan yang tidak manusiawi.
Tanpa pemotongan
pun, honor yang diterima Honda di Boltim (dan mungkin umumnya Honda di
Mongondow), disandingkan dengan UMP Sulut 2012 sudah jomplang, apalagi dengan
UMP 2013. Boltim masih bagian dari Sulut yang mau tak mau mesti mematuhi UMP
yang di-SK-kan Gubernur. Alangkah memalukan aparat birokrasi yang bertugas
melayani masyarakat, pengawal berbagai putusan dan kebijakan pemerintah, justru
jadi korban pertama dari apa yang harusnya mereka tegakkan.
Di luar
pertimbangan politik dan kepemerintahan, saya yakin Bupati Boltim, Sehan
Lanjar, masih punya hati. Dia harus segera merumuskan jalan keluar yang adil,
tanpa pilih bulu, manusiwi, serta jadi solusi jangka panjang bagi para pencari
lapangan kerja di kabupatennya.
Di belahan dunia
mana pun, rumus penyediaan lapangan kerja itu sederhana: Ada investasi dan
keterlibatan sektor swasta, yang didukung kemudahan dan kepastian hukum. Pemkab
bahkan boleh bekerjasama dengan swasta, misalnya membentuk Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) yang kemudian mengalihkan para Honda menjadi staf dan
karyawannya. Bidang garapannya, sebagai contoh, yang ada di depan mata adalah
menjadi bagian dari supply chain beberapa
perusahaan tambang yang kini beroperasi di Boltim.
Hanya dengan
membuang pendekatan tradisional dan nir-kreativitas, Pemkab Boltim mampu
mengurangi beban APBD dan sempitnya kesempatan kerja (yang kemudian membuat
para pencari kerja menjadikan birokrasi sebagai satu-satunya tujuan). Di luar
itu, nestapa yang kini dipikul para Honda bakal akumulatif dan menular jadi derita
Pemkab dan seluruh warga.***