BASA-BASI –sekali
lagi-- bukanlah salah satu kebisaan
saya. Ketidak-bisaan yang kerap merugikan karena mudah mengundang
ketidak-sukaan. Tapi saya bisa memahami. Menyampaikan sesuatu terang-terangan,
terutama kritik, di negeri yang terbiasa dengan ‘’seolah-olah’’ santun, akan
dianggap sebagai perilaku ‘’kalakuang''.
Mendengar Abdullah Mokoginta dan Nayodo Kurniawan dipilih
sebagai Ketua dan Sekretaris Presidium Panitia Pemekaran Provinsi Bolaang
Mongondow Raya (P3BMR), tanpa basa-basi pula saya bersetuju. Duet ini cocok dan
pas. Abdullah Mokoginta adalah birokrat kredibel, mantan Wakil Gubernur Sulawesi
Utara (Wagub Sulut) 1986-1991, yang sangat dihormati –termasuk oleh mantan anak
bimbingnya, Gubernur (saat ini), SH Sarundajang; sedang Nayodo Kurniawan, yang
masih menduduki kursi Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Kotamobgau (KPU KK),
sudah membuktikan diri sebagai anak muda yang pantas diacungi jempol.
Mereka juga mendapat dukungan dari lima Kepala Daerah (walau
ada yang setengah hati) dan DPR Kabupaten/Kota di BMR, serta tim yang sangat
bagus, yang datang dari berbagai latar pendidikan, profesi, aktivitas, dan pengalaman.
Pendek kata, saya percaya proses pemekaran Provinsi BMR bakal beda dibanding
daerah otonomi baru (DOB) lain. Pembentukan provinsi BMR akan dijalani dengan
ketata-laksanaan ketat, elegan, dan penuh harga diri.
***
Tak ada angin, apalagi hujan, tiba-tiba meletup demonstrasi
yang digerakkan sejumlah orang, yang diklaim sebagai ‘’tekanan’’ karena pemekaran
Provinsi BMR tak jua diproses oleh Gubernur dan DPR Sulut. Aksi yang diwarnai
pembakaran ban, keranda, dan foto Gubernur SH Sarundajang ini, terang-terangan
pula melibatkan beberapa anggota P3BMR.
Lebih mencegangkan, aksi itu dengan besar kepala digunakan
oleh satu-dua orang sebagai pembenar tindakan pribadi yang (saya tahu persis)
juga semata demi kepentingan yang bersangkutan. Mentalitas tukang tipu dan
garong memang sukar diubah. Kalau pun ada yang mengherankan saya, betapa
beraninya oknum-oknum itu mempraktekkan modusnya untuk isu sebesar pemekaran
provinsi; di komunitas yang saling terkait dan tahu-sama-tahu satu dengan yang lain
seperti Mongondow.
Publikasi Harian Manado
Post, Sabtu, 9 Februari 2013 (http://www.manadopost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=119975),
Draft PBMR Difinalisasi, yang juga di
unggah Cybersulutnews.Com (http://www.cybersulutnews.com/index.php?mid=bolmongnews&document_srl=68620)
dengan tajuk Presidium Siap Bantu Pemprov
Lengkapi Berkas PBMR, membuktikan memang ada oknum-oknum di sekitar kita di
Mongondow yang mengail di air keruh. Dari fakta-fakta yang satu per satu
terungkap, saya bahkan tak sungkan menyatakan, satu-dua oknum yang gigih
mempersuasi dan menggerakkan sekelompok anak muda (yang seharusnya dibimbing
agar berpikir terbuka dan logis), menyimpan niat jahat mensabotase proses
pembentukan Provinsi BMR.
Apa yang ditulis Manado
Post, yang mengutip Ketua dan Bendahara P3BMR, Abdullah Mokoginta dan Abdul
Kadir Mangkat, cukup menggambarkan bahwa problem (sudah pula berkali-kali saya
tulis di blog ini) pemekaran Provinsi
BMR, ada di internal Mongondow. Gubernur dan DPR Sulut belum bisa
menindak-lanjuti karena masih banyak syarat dasar (yang sifatnya administratif)
yang belum lengkap.
Senada dengan Ketua dan Bendahara P3BMR, Koordinator Divisi Sosialisasi dan
Penggalangan Masa, Chandra Modeong, serta Sekretaris, Nayodo Kurniawan, yang
dikutip Cybersulutnews.com,
mencontohkan masalah administrasi apa saja yang masih harus dilengkapi. Lebih
jauh lagi Nayodo menegaskan bahwa P3BMR masih tetap mempercayai Pemprov Sulut dalam
penyelesaian administrasi pembentukan provinsi hingga ke Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri) yang selanjutnya diusulkan ke DPR RI.
P3BMR ditunjuk dan
disepakati oleh seluruh warga Mongondow di wilayah BMR untuk membawa aspirasi
terbentuknya provinsi. Kalau bukan mereka yang didengar, lalu siapa? Tentu
karena ini bukan organisasi para nabi, tetap memerlukan sumbang-saran,
dorongan, bahkan bantuan dari semua pihak dan elemen di dalam dan di luar Mongondow.
Dengan berpandu
pada akal sehat, saya mendukung setiap upaya kontribusi terhadap pembentukan
Provinsi BMR, termasuk dari luar P3BMR. Tapi tidak dapatkah itu dilakukan,
misalnya, dengan membentuk Sekretariat Bersama, Komite Rakyat, bahkan
‘’organisasi cigulu-cigulu’’? Organisasi yang
menghimpun para sukarelawan dengan tujuan turut menyokong lewat kerja nyata:
Membantu mengumpulkan data, mengolah, mengumpulkan dana seperti yang dilakukan
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Bolmong (luar biasa, mereka adalah penyumbang
pertama), bila perlu menjadi jembatan antara P3BMR dengan aparat dan warga
Mongondow di pelosok? Kian banyak kepala dan tenaga yang urung-rembuk,
cita-cita ini makin cepat terwujud.
***
Tulisan ini
dijuduli nama mantan Wagub, Abdullah Mokoginta, bukan tanpa maksud. Generasi
Mongondow belakangan mungkin hanya mengenal sosok yang akrab disapa Om Dula’
oleh lingkungan dekatnya sebagai bekas pejabat tinggi. Apa boleh buat, tuna
sejarah dan tuna rekam jejak memang jadi masalah tersendiri buat generasi yang
lebih akrab dengan facebook, pesan
pendek (SMS), dan BlackBerry Message
(BBM).
Padahal, khususnya
di kalangan birokrat Sulut, Om Dula’ tidak hanya mantan pejabat yang dikenal
kelurusan sikapnya; tetapi juga jago tetek-bengek administrasi. SH Sarundajang
yang karir birokrasinya meroket hingga Inspektur Jenderal (Irjen) Departemen
Dalam Negeri (Depdagri), secara terbuka mengungkapkan Om Dula’ adalah orang
pertama yang mengajari dia cara membuat surat dinas yang benar.
Pengakuan terbuka
Sarundajang itu diungkapkan saat perayaan hari ulang tahun (HUT) Om Dula’ yang
ke-75, Mei 2010 lalu, yang juga saya temukakan di arsip pemberitaan Manado Post (http://www.manadopost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=64050).
Warga Mongondow tak
salah memilih Om Dula’ memimpin P3BMR. Usianya mungkin sudah menjelang 80
tahun, tapi saya berkeyakinan itu tak berpengaruh banyak terhadap pengetahuan
dan pengalamannya berkenaan dengan administrasi pemerintahan (apa urusannya
usia untuk pikiran yang tertata? Presiden Amerika ke-40, Ronald Reagan,
terpilih di saat sudah berusia 69 tahun). Dia tahu persis bagaimana membawa tim
P3BMR menyiapkan semua per-syaratan (yang secara administratit harus dipenuhi) pembentuk
Provinsi BMR sesuai panduan PP 78/2007.
Bagi saya,
pengetahuan, pengalaman, komitmen, dan kesediaan Om Dula’ didaulat menjadi
Ketua P3BMR semestinya membuat kita –generasi yang jauh lebih muda—menjadikan
dia cermin. Di wajahnya yang kerap lurus-lurus membungkus apa yang ada di
pikiran dan hati, kita memetik pelajaran: Segala sesuatu ada tata caranya, yang
mesti dilakukan sebaik-baik dan sebenar-benarnya, sekali pun itu memerlukan
waktu. Pikiran pendek, emosi, dan grasa-grusu,
lebih banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaat.***