WAH, ada gonjang-ganjing
di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 4 Kotamobagu? Tajuk berita di Radar Totabuan (http://www.radartotabuan.com/read/dpkad-jadi-fasilitator-kisruh-sma-4-3548),
Senin (11 Februari 2013), DPKAD Jadi
Fasilitator Kisruh SMA 4, memang membingungkan. Seolah-olah ada perkara
yang menggoyang sekolah ini, lalu Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan
Aset Daerah (DPPKAD –bukan DPKAD) turun tangan jadi penengah.
Rupanya yang menulis berita (termasuk menyematkan judul) sedang
binombulou. Beritanya sendiri justru
berisi kejengkelan Kepala DPPKAD, Abdullah Mokoginta, terhadap Kepala SMA Negeri
4, Dra Nursiati Pobela, dan jajarannya yang ‘’disimpulkan’’ menolak rencana
Pemerintah Kota (Pemkot) menukar-guling lahan (dan sekolahnya) dengan tanah dan
bangunan yang kini digunakan Universitas Dumoga Kotamobagu (UDK).
Dari eksplorasi terhadap isu ini, saya menemukan,
duduk-soalnya kira-kira seperti ini: Pemkot Kotamobagu berencana membangun
Islamic Centre dan telah memilih lahan tepat berhadapan dengan Mesjid Raya
Baitul Makmur (MRBM), yang masih ditempati UDK. Karena itu, UDK akan direlokasi
ke lahan dan bangunan yang kini digunakan oleh SMA Negeri 4; dan untuk itu SMA Negeri 4 bakal dipindah ke
Bilalang.
Demi kepentingan relokasi, Pemkot lewat Kepala Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora), Drs Sa’ir Lantang, MAP, meminta SMA
Negeri 4 menyerahkan sertifikat tanah dan bangunan sekolah. Kepala Sekolah dan
jajarannya menolak, yang kemudian membuat Kepala DPPKAD turun tangan membantu
koleganya di Dikpora.
Dasar penolakan Kepala SMA Negeri 4, dari berbagai
pemberitaan yang saya temukan dan simpulkan, karena mereka tampaknya hanya
boleh menerima putusan Pemkot. Tanpa didahului sosialisasi atau komunikasi
memadai, apalagi rembuk mempertemukan yang masih jadi perbedaan dan mempertegas
apa yang dapat disepakati.
***
Bila benar informasi yang disarikan dari berbagai publikasi
itu, Kepala SMU Negeri 4 Kotamobagu harus diberi dukungan. Perlawanannya,
menurut pendapat saya, bukan terhadap hirarki birokrasi atau pembangkangan pada
atasan; tetapi pada kedunguan sejumlah elit birokrasi yang kini memimpin KK.
Di zaman kini, ketika demokrasi kian berurat-berakar di
tengah masyarakat, tidak semua hal harus diputuskan dengan suara terbanyak.
Bila orang banyak keliru, mereka pun boleh dilibas. Namun, demokrasi juga
memberi peluang mencapai kesepakatan dengan damai. Semua ketidak-sepamahan
dapat diselesaikan hanya dengan komunikasi, duduk bersama merembukkan
ihwal-soalnya, dan akhirnya mencapai kesepakatan yang dengan sukarela
dilaksanakan oleh para pihak.
Melihat titel di depan dan belakang nama Kepala DPPKAD dan
Kepala Dikpora, mereka berdua setidaknya pernah mendengar kata ‘’pemangku
kepentingan’’ (stakeholder). Mereka
pasti pernah pula mendengar ‘’hubungan dengan pemangku kepentingan’’ (stakeholder engagement). Kalau
jawabannya tidak atau samar-samar dan ngalor-ngidul, dua petinggi Pemkot KK ini
memang cuma cocok ditunjuk jadi tukang sapu.
Komite Sekolah, Kepala Sekolah dan guru-guru, para siswa serta
orangtua mereka, adalah pemangku kepentingan utama relokasi SMA Negeri 4.
Sudahkah Dikpora –dan DPPKAD-- berkomunikasi, mensosialisasikan rencana
relokasi (bahkan lebih besar lagi grand
design pendidikan di KK) pada mereka? Sudah pulahkah dua institusi ini
melakukan pengkajian matang yang jadi fundamen menyakinkan semua pemangku
kepentingan pendidikan di KK?
Setiap hubungan dengan para pemangku kepentingan, apalagi
untuk isu-isu substansial, menuntut passion,
ketrampilan komunikasi, dan rentang waktu tertantu. Meyakinkan seluruh pihak
yang berkepentingan terhadap relokasi SMA negeri 4, sekali pun dilakukan oleh
orang yang memiliki keahlian stakeholder
engagement, saya yakin tidak akan selesai dalam semalam-dua malam.
Mentang-mentang dengan kekuasaan, karena pangkat atau eselon
Kepala SMA Negeri 4 lebih rendah dari dua elit Pemkot itu –karenanya dia mesti
tunduk tanpa reserve--, cuma
dipraktekkan kelompok fauna berotak terbatas. Hanya kelompok monyet yang
ditakar dari banyak dan tingginya jambul di kepala; atau merah atau tidaknya
lingkaran di sekitar anus.
Dari lalu lintas informasi yang beredar di ranah publik, dua
pejabat Pemkot KK yang terlibat urusan relokasi SMA Negeri 4, sungguh hanya memperlihatkan
ke-mentang-mentang-an itu. Alasannya pun banci dan semata mengandalkan
kekuasaan.
***
Di luar isu pembangkangan Kepala SMA Negeri 4 Kotamobagu,
ada pertanyaan yang mengusik saya: Begitu mendesakkah rencana pembangunan
Islamic Centre hingga Pemkot KK harus menggunakan kekuasaan paksa terhadap
pihak-pihak yang belum sepakat?
Sebagai pemeluk Islam dan orang Mongondow dari KK, saya
turut berkepentingan terhadap adanya pusat ibadah, pendidikan, sosial, atau
kebudayaan Muslim. Tapi tidak bolehkah rencana-rencana itu terlebih dahulu dikaji,
dikomunikasi, dan disosialisasikan dengan terbuka dan hati-hati?
Apalagi Pemkot KK di bawah kepemimpinan Walikota Djelantik
Mokodompit dengan aneka rencana ‘’mega’’-nya sudah terbukti memicu banyak
masalah. Tengok saja problem-problem akibat relokasi Pasar Serasi yang tak
kunjung terselesaikan; atau pembangunan MRBM yang tersendat-sendat dan diruyak
korupsi.
Belum lagi bila dipertanyakan apakah rencana pembangunan Islamic
Centre itu telah masuk dalam rencana tata ruang kota? Kapan akan dibangun?
Dibiayai dengan apa (menyelesaikan pembangunan MRBM saja Pemkot kini sudah termehek-mehek)?
Terlalu banyak pengabaian di satu sisi dan kejutan rencana
pembangunan di sisi lain di KK. Saya kian takut, jangan-jangan Kotamobagu
memang sedang dibangun di atas rencana-rencana yang digantungkan pada suasana
hati para elit yang berkuasa saat mereka terjaga di pagi hari? Yang bisa sesukanya
melakukan segala sesuatu karena mumpung sedang berkuasa.***