MENGGEMARI
sejarah berbeda dengan memahami, apalagi khatam dan layak dirujuk. Sekadar
gemar sejarah, sok tahu, lalu sembarangan menjatuhkan vonis ‘’salah’’ atau
‘’keliru’’, cuma mencari perkara tak perlu.
Di Mongondow, kendati tradisi dan budayanya kian longar,
mencari gara-gara tetap punya konsekwensi. Kalau bukan ditempeleng karena
dianggap melakukan penghinaan, paling minim jadi obyek olok-olok
Saya harus mengingatkan Sumardi Arahbani bahwa di Mongondow
kerendahan hati menjadi salah satu ekspresi membijaksanai masalah. Dengan
rendah hati saya sudah meminta pencerahan berkaitan dengan sepotong amat kecil
sejarah orang Mongondow, semata karena dia secara terbuka melontarkan tuduhan
saya memanipulasi sejarah leluhur saya.
Saya tidak mendapatkan satu pun pencerahan dari forward tanggapan Sumardi Arahbani yang (telah
dengan baik hati) dikirimkan oleh seseorang yang punya konsern sama ke email
saya, Senin (4 Februari 2013). Saya menukilkan beberapa poin utamanya:
Pertama, terlalu berlebihan kalau disebut karya
Dunnebier hanya dikoleksi oleh kurang dari empat perpustakaan terkemuka di
dunia. Di Yogjakarta saja setidaknya ada tiga perpustakaan yang menyimpan
karya-karya Dunnebier. Belum termasuk koleksi pribadi I. Kuntara Wiryamartana,
SJ, seorang filolog, pakar sastra Jawa Kuno. Saya berjumpa pertama kali dengan
literatur tentang Bolaang Mongondow justru dari koleksi pribadi Romo Kuntara.
Di Jakarta, baik perpustakaan ataupun koleksi pribadi tentunya ada yang
menyimpan karya-karya Dunnebier, termasuk di Perpustakaan Nasional. Belum lagi
perpustakaan-perpustakaan di Eropa, Australia, ataupun Amerika.
Kedua, sepertinya Pak Katamsi tidak teliti untuk membentangkan siklus
sejarah. Zaman Verenigde Oostindische Compaqnie (VOC) dan Hindia Belanda, itu
sesuatu yang berbeda.
Ketiga, sesuatu yang mestinya direnungkan dan dinalar dengan logika
sejarah sederhana; ‘’Apakah pernah ada dalam sejarah dunia seseorang yang
ditawan oleh musuh ditahan di daerah
atau negara yang bukan kekuasaannya?"
Berdasarkan
pengakuan Katamsi; leluhurnya hidup sezaman dengan Raja Abraham Sugeha
(memerintah 1880-1893). Ingat, di zaman itu Aceh merupakan negara/kerajaan
berdaulat dan Perang Aceh (1873-1904]) berkecamuk hebat. Sesuatu yang muskhil
apabila leluhur Katamsi dibuang atau dipenjara di Aceh. Alih-alih dibuang ke
Aceh, dengan kemungkinan sejarah yang lain: bisa jadi adalah satu dari ribuan
kawula yang dijadikan Marsose oleh Belanda, sebagaimana praktik kolonial di
Nusantara zaman itu.
Keempat, tentang kuli kontrak, dalam ingatan
orang-orang Bolaang Mongondow bisa jadi identik dengan Jawa. Silahkan baca
buku, Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi:
Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran (1984).
Kelima, memasuki abad ke-19, kawula-kawula dari Sulawesi Utara, khususnya
Minahasa, mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan militer Hindia Belanda. Kaum
kolonial Belanda mulai tertarik kepada serdadu-serdadu Minahasa karena melihat
kecakapan saat Perang Tondano (1804-1807). Sejak Perang Tondano itulah Belanda
mulai merekrut orang-orang Minahasa untuk dijadikan tentara/serdadu.
Serdadu-serdadu Minahasa inilah yang dipakai Belanda dalam Perang
Jawa/Diponegoro (1825-1830) dan Perang Padri. Konon serdadu Minahasa inilah,
dibawah pimpinan Dotulong yang mampu mengimbangi perlawanan rakyat Jawa. Pada
masa ini, tentunya kawula kerajaan Bolaang Mongondow belum terlibat dalam
kegiatan militer Hindia Belanda.
Keenam, memasuki paruh kedua abad ke-19, kekuatan militer Hindia Belanda
[KNIL] tidak lagi hanya bersandar pada orang-orang Ambon dan Minahasa. Mulailah
direkrut kawula-kawula kerajaan di hampir seluruh kerajaan di Nusantara untuk
dijadikan tentara Hindia-Belanda. Memang belum pernah secara jelas disebutkan
adanya kawula-kawula swapradja Bolaang Mongondow dalam formasi KNIL. Untuk
Sulawesi Utara, yang disebut adalah kawula-kawula dari Gorontalo, Sangihe dan
Minahasa. Namun meskipun kawula Bolaang Mongondow tidak disebut, pastinya layak
diduga ada beberapa yang terlibat dalam tentara Marsose/KNIL. Seandainya
pengakuan Pak Katamsi benar bahwa leluhurnya yang hidup sejaman Raja Abraham
Sugeha pernah dikirim ke Aceh; dengan logika sejarah dapat disimpulan ia
bergabung dalam tentara Marsose/KNIL.
Ketujuh, mungkin buku "Gedenkschrift
Koninklijk Nederlands-Indisch Leger 1830-1950", karya P Van Meel bisa
dijadikan tambahan koleksi Pak Katamsi. Dalam buku itu saya bisa memastikan
tidak ada nama leluhur Pak Katamsi yang diduga dikirim ke Aceh; karena
nama-nama yang disebut dalam buku itu adalah mereka para Marsose yang memiliki
kedudukan tinggi dalam tentara KNIL, sebagian di antaranya adalah serdadu asal
Minahasa. Namun sekali lagi, berdasarkan kesaksian yang dituturkan secara turun
temurun sebagaimana Katamsi tuturkan, dan dikaitkan dengan pola sejarah umun
Hindia Belanda, semestinya logika sejarah di atas patut dipertimbangkan: Bukan
dibuang karena melawan Belanda; namun masuk dalam formasi tentara KNIL. Sebuah
karier yang menggiurkan bagi sebagain kawula pribuma waktu itu.
***
Tanpa berpanjang-panjang, saya akan mengomentari satu per satu
apa yang disampaikan Sumardi Arahbani, untuk menunjukkan bahwa pengetahuan
sejarahnya belumlah setinggi kepercayaan dirinya.
Pertama, saya
tidak menuliskan ‘’karya-karya Dunnebier’’ hanya buku. Saya berkeyakinan apa yang
dikoleksi oleh I Kuntara Wiryamartana, SJ adalah Injil berbahasa Mongondow
karya W Dunnebier. Saya tidak heran bila seorang Pastor Katolik memiliki buku
(terlebih Injil berbahasa daerah) yang ditulis oleh Pendeta Protestan.
Sedangkan koleksi Perpustakaan Nasional (bahkan Arsip
Nasional), bertahun-tahun lampau sudah saya sambangi (bersama Reiner Ointoe dan
Firasat Mokodompit). Hasilnya, jauh dari apa yang seolah-olah diketahui Sumardi
Arahbani. Bahkan Perpustakaan Utrech University dan Leiden University yang
konon sangat lengkap mengoleksi aneka buku dan catatan berkaitan dengan
Indonesia masa lalu, juga tidak menyimpang karya-karya lengkap Dunnebier.
Kalau Anda mau berbantah, saya perlu mengingatkan, telah
delapan tahun terakhir saya intensif memburu literatur Mongondow, termasuk ke
Belanda, karena penasaran terhadap miskinnya catatan-catatan sejarah tentang
daerah ini.
Ringkasnya, tidak ada satu pun perpustakaan yang lengkap
memiliki meyimpan karya W Dunnebier (kalau Sumardi Arahbani mampu menunjukkan siapa
atau perpustakaan mana yang punya koleksi lengkap itu, saya dengan suka cita
akan menyambangi). Terlebih, catatan-catatan yang dia buat (jurnal dan
sejenisnya), yang tidak pernah dipublikasi terbuka. Jadi, kalau sekadar baca
satu-dua buku sejarah (bahkan cuma melihat koleksi orang lain dan menduga-duga
koleksi di tempat lain) lalu jadi jumawa, utamnya dalam konteks sejarah Mongondow,
terus terang saya tak bisa memaafkan Anda, Sumardi Arahbani
Kedua, Anda
menyebutkan dalam posting terdahulu (Dari Perang Aceh hingga
Katamsi Ginano: Catatan Atas Polemik Provinsi Totabuan), bahwa: ‘’Kalau memang benar bahwa Kakek Pak
Katamsi pernah "ditempatkan" di Aceh; fakta sejarah yang sebenarnya
adalah ia disewa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menumpas perlawanan
Rakyat Aceh. Jadi, bukan dibuang karena melawan Belanda.’’***