SENTIMEN politik menjelang
pemilihan Walikota dan Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu (KK) 2013-2018
benar-benar berada di fase yang hampir tak lagi mampu dicerna akal sehat. Ancaman
loyalitas lewat sensus politik –yang mendata pemihakan politik pegawai negeri
sipil (PNS)— ternyata bukan hanya gosip dan bual-bual warung kopi.
Bahkan, perkembangan belakangan lebih gawat dari sekadar
urusan afiliasi warna (kuning, biru, atau abu-abu). Memberi salam, tegur sapa,
hubungan kekerabatan, atau pertemuan PNS dengan lawan politik Walikota
Djelantik Mokodompit pun, bisa berakibat fatal. Dicopot dari jabatan tanpa
penjelasan. Pokoknya, selamat jalan!
Pelantikan eselon III dan IV di jajaran Pemkot KK, Jumat
malam (1 Februari 2013) memunculkan fakta-fakta yang membuat saya mual. Salah
satunya adalah kisah tentang Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP)
KK, Erwin Pasambuna, SH.
Erwin, kata kabar yang tiba di telepon saya selewat tengah
malam, adalah pengganti pejabat sebelumnya, Herman Aray, yang baru menduduki
kursi Kasatpol PP beberapa bulan terakhir. Sebagai pejabat baru dia bersigegas
mengurusi tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi –setiap kali menulis kata ini saya
teringat pada Raski Mokodompit, sarjana hukum yang lucunya tak mampu menjawab
‘’apa itu tupoksi’’ saat ujian akhir), sembari bersosialisasi dengan para
atasan.
Saya menduga, entah tak paham tensi politik yang tengah
bergejolak (karena pemahamannya terhadap profesionalisme birokrasi) atau sebab
terlalu naif (kata bisik-bisik yang dikisahkan kembali ke saya), beberapa hari
lalu dia menghadap Wawali, Tatong Bara. Kasatpol PP menghadap Wawali, apalagi
karena dipanggil untuk urusan kedinasan, di pelosok dunia mana pun bukan
masalah, apalagi aib.
Tidak di KK dengan Walikota paranoid yang dikelilingi
mulut-mulut jahat. Entah apa yang tiba di kuping para elit birokrasi dan
politik KK, Djelantik Mokodompit dan para menyokongnya, yang jelas tanpa angin
dan hujan Erwin Pasambuna tiba-tiba dicopot.
Kalau dia dianggap tidak kapabel atau belum waktunya
menduduki jabatan tersebut, analisis apa yang dipakai hingga Erwin ditunjuk
sebagai pengganti Herman Aray? Alasan bahwa setelah dia menduduki jabatan dan
dievaluasi ternyata belum memenuhi syarat, pertanyaannya: Apakah penilaian
tersebut dilakukan dengan standar yang sama, fairness, dan berlaku tanpa pandang bulu?
Kalau hanya mendengar dari satu sisi, simpulan saya: Erwin
Pasambuna disemena-menai semata karena sentiment politik yang tak jelas dasar
dan pijakannya. Tapi baiklah, sisi lain pun mesti mendapatkan porsi. Dari
beberapa panggilang telepon, saya mendapatkan info bahwa sejak menjabat
Kasatpol PP, kinerja Erwin jeblok. Misalnya, dalam kasus bentrok massal
Kelurahan Mongondow-Poyowa Kecil beberapa waktu lalu, dia tak tahu menahu,
bahkan tak menunjukkan batang hidung di tempat kejadian. Pejabat macam ini,
bila benar demikian, memang harus kita beri lambaian penuh takzim: bye….
Tapi, bagaimana dengan salah seorang Kepala Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskemas) yang dalam rolling
semalam juga turut dicopot. Apa dosa yang bersangkutan hingga di-non job-kan (jabatan barunya kedengaran
keren, ‘’tenaga fungsional’’), padahal dia bukan hanya dokter tetapi juga
penyandang gelar S2 (MKes) yang kompetensi dan kapabilitinya masih sangat
dibutuhkan di KK. Tolong Walikota dan Badan Pertimbang Jabatan dan Kepangkatan
(Baperjakat) memberi penjelasan yang menggunakan otak, bukan sekadar
ngalor-ngidul dan omong kosong yang sejak Djelantik Makodompit berkuasa sudah
jadi budaya baru di KK.
Musabab yang santer jadi pembicaraan, pencopotan sang Kepala
Puskesmas itu semata-mata karena mertua dan suaminya ‘’konon’’ adalah pendukung
dan supporter Tatong Bara di Pilwako
nanti.
Penjelasan yang sama diperlukan untuk penunjukkan posisi
pejabat yang sifatnya sangat teknis dan khusus, ke tangan orang yang latar
pendidikannya bertolak belakang. Contohnya, mengangkat seorang sarjana ekonomi
(SE) menjadi Kepala Seksi Leger Jalan di Bidang Bina Marga, Dinas Pekerjaan
Umum (PU) Daerah, tak dielakkan menimbulkan tafsir adanya niat busuk
terstruktur. Demi mencuri anggaran besar yang tahun ini dialokasi untuk Seksi
Leger Jalan atau supaya jalan-jalan di KK tetap amburadul dan setiap tahun
tetap membutuhkan anggaran besar (yang ujungnya juga dikorupsi).
Memahami teknis jalan raya, untuk pejabat yang membawahi
urusan ini, bukanlah perkara main-main. Sarjana teknik sipil yang ada di
jajaran birokrasi KK bisa memberi penjelasan bagaimana sulitnya mata kuliah dan
praktikum jalan, yang bahkan urusan jenis kerikil dan pasir pun bisa mengantar
seseorang meraih gelar sarjana, master, atau doktor.
Akankah ada jawaban terhadap segala syak di atas? Adakah
pula segerombolan aktivis yang bakal menggelar demo mempertanyakan
keajaiban-keajaiban yang berlangsung di depan mata (sebagaimana demo diwarnai
pembakaran ban, keranda, dan foto Gubernur Sulut beberapa waktu lalu) dan
terkait langsung dengan hajat-hidup mereka serta warga KK umumnya?
Tak perlu berpikir menjawab dua pertanyaan terakhir, sebab
sudah pasti: Tak ada. Siapa pula yang peduli. Paling-paling hanya ada tuduhan
klasik yang kian kerap saya dengar, bahwa saya memang suka mencari gara-gara.
Lagipula, bukan rahasia lagi, kebanyakan aktivis di KK biasanya beraksi sesuai
pesanan dan untuk isu yang ‘’normatif dan aman-aman saja’’.
***
Di luar isu siapa, mengapa, dan bagaimana proses rolling di Pemkot KK, saya punya pertanyaan
lain berkenaan dengan fenomena melantik pejabat di malam hari yang belakangan
jadi tren di Mongondow. Melantik pejabat di atas pukul 20.30 Wita, lewat undangan
yang disebarkan sore harinya, terkesan seperti upacara para bandit, pencoleng,
maling, dan rampok yang biasanya dilakukan diam-diam dalam gelap malam. Atau,
bahkan tak beda dengan acara para bambao’
, puntiana, dan mangkubi yang memang hanya afdol dilaksanakan di malam hari.
Setan mana yang terang-terangan lalu-lalang di siang hari,
kecuali pocong jadi-jadian yang pasti bakal digebuki orang sekampung.
Ya, Walikota dan jajaran boleh sesuka hati menetapkan kapan
dia melantik atau mencopot pejabat di bawah kewenangannya. Itu hak prerogatif
yang bersangkutan. Tapi, tidak adakah waktu yang lebih tepat di siang hari? Sedemikian
genting dan kasipnyakah kepentingan sesegera mungkin mengganti dan mendudukkan
orang di Pemkot KK hingga tak bisa lagi menunggu besok tiba? Begitu
sibuknya-kah Walikota hingga harus dilaksanakan malam hari, di akhir pekan
pula?
Saya bercuriga betul, bahwa sebagaimana slogan Djelantik
Mokodompit terkini meraih simpati warga untuk masa jabatan keduanya, ‘’Karya
Nyata, Bukan Pencitraan’’, melantik para pejabat di malam hari adalah isyarat (nyata) bahwa
Pemkot KK memang sudah diperlakukan sebagai organisasi para bandit, pencoleng,
maling, rampok, bambao’ , puntiana, atau mangkubi.***