SUASANA yang
mulanya serius, Kamis malam (7 Februari 2013), tiba-tiba dipenuhi ledakan tawa.
Salah seorang kawan di tengah majelis yang sedang bereriungan, setelah membaca berita di layar komputer saya, bahkan
terpiuh hingga terjerembab dari kursi.
Obyek tertawaan kami adalah berita yang baru saja diunggah Radar Totabuan, PBMR Hak Inisiatif DPR (http://www.radartotabuan.com/read/pbmr-hak-inisiatif-dpr-2983),
yang mengutip Muliadi Mokodompit, MSi dan Chandra Modeong. Betul-betul
menggelikan. Salah seorang kawan, analis politik yang pendapatnya wara-wari di
berbagai media dan forum (kredibel), bahkan mengejek dengan bilang, ‘’Itu
omongan tukang jual obat yang nggak
mikir. Siapa sih orang yang
ngomongnya pake dengkul itu?’’
Saya ikut tertawa-tawa, tapi sesungguhnya jengah. Bagaimana
pun saya tetap orang Mongondow. Prinsipnya: Orang Mongondow mengkritik
masyarakat dan tanah asalnya, adalah sebuah kewajiban. Dalam bahasa agama, itu fardu ain sekaligus fardu kifayah. Sesama orang Mongondow bertengkar demi mencapai
pemahaman bersama, juga sah-sah saja. Tapi kebodohan dan sok jago yang keluar
melampaui Mongondow, apalagi menyeret-nyeret ‘’atas nama’’ pihak lain (itupun
cuma klaim), memang memalukan.
Bagi saya pribadi, berita di situs Radar Totabuan itu mesti disikapi hati-hati. Provinsi Bolaang
Mongondow Raya (BMR) adalah isu sensitif di Mongondow saat ini. Siapa tahu Radar Totabuan salah kutip; atau ada
yang memang keseleo dan berlebihan. Dengan niat baik, saya kemudian mengontak
beberapa orang, terutama yang namanya dicantumkan dalam berita ‘’akan beraksi
damai saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hadir di Sulut dalam rangka Hari
Pers Nasional (HPN) yang kini tengah
berlangsung di Manado.’’
Kontak saya direspons, termasuk oleh Chandra Modeong, yang
dengan tegas mengatakan dia tidak akan melontarkan pernyataan atau melakukan
tindakan bodoh. Saya katakan pada Chandra, saya percaya bahwa sebagai mantan
aktivis organisasi mahasiswa besar di Sulut, dan sekarang ketua salah satu
partai, di setiap isu (terlebih sosial dan politik) dia paham mana urusan
strategi dan yang mana sekadar taktik.
Dan saya mengapresiasi Chandra Medoeng, yang tidak selalu sependapat
dengan saya (lagipula kami bukan bebek, jadi berbeda pendapat adalah rahmat
yang disyukuri), tetap bisa bertukar pikiran dengan perspektif yang terbuka.
***
Tapi apa sebenarnya yang menggelikan dari isi berita itu?
Pernyataan ala ‘’ketoprak’’ Muliadi Mokodompit, MSi-lah yang jadi musababnya.
Dikutip sebagai Kordinator
Tim 1 Pengkaji Provinsi BMR, dia menyatakan: Karena DPR Provinsi
(Deprov) Sulut enggan merespons, maka Tim Kajian akan membawa draf
usulan pembentukan PBMR ke pusat, yakni menggunakan hak inisiatif DPR RI,
dengan jaringan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (KAHMI). Dia
juga menegaskan, “Intinya, target PBMR dan masyarakat BMR adalah Mei 2013 PBMR
terwujud.’’
Muliadi Mokodompit bukan nama (juga sosok) asing buat saya.
Jauh sebelum saya bersua dengan yang bersangkutan, siapa dia dan rekam-jejaknya
sudah saya ketahui persis. Itu sebabnya, ketika tahu dia turut cawe-cawe dalam isu Provinsi BMR, pada
beberapa kawan di Kotamobagu saya hanya meringis dan berkomentar, ‘’Tunggu jo apa yang mo jadi.’’
Ketika mengkritik aksi bakar ban, keranda, dan foto Gubernur
Sulut, saya menyampaikan keyakinan bakal ada kampanye antipati dan caci-maki
yang ditujukan ke saya, terutama di media sosial, yang lebih massif dari sebelumnya. Tidak masalah,
sepanjang itu bukan pemelintiran dan manipulasi (sayangnya inilah yang
terjadi). Saya tahu siapa saja dalangnya.
Saya hanya menyayangkan banyak orang sekolahan yang bebal di
Mongondow. Di dunia maya segala sesuatu bisa ditelusuri, internet protocol (IP) address
dan sebagainya, yang menuntun kita ke orang per orang. Mereka terlampau
menganggap remeh saya, peralatan yang dipunyai, dan (terutama) teman-teman yang
bisa membantu melacak bahkan setiap kutu di balik jagad kelindan internet.
Keprihatinan yang lain, karena sejumlah anak muda Mongondow
yang sudah mengenyam pendidikan tinggi, ternyata mudah diprovokasi hingga
terjerumus menista logika lurusnya.
Kembali pada pernyataan Muliadi Mokodompit (saya harap
MSi-nya adalah master of science,
bukan ‘’master segala ilmu’’), sama dengan menganggap semua orang Mongondow
‘’orang utang’’ yang terisolasi dari dunia luas. Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan
Penggabungan Daerah, sudah dengan detil mengatur syarat-syarat dan tata cara
pembentukan provinsi, kabupaten, atau kota baru.
Musim semi pembentukan daerah otonomi baru (DOB) sebelum
2007 atau beberapa saat setelah PP No 78 itu keluar, memang agak lebih longgar.
Tidak saat ini, terlebih dengan adanya moratorium. Yang sudah lama diproses dan
lengkap secara teknis dan administratif seperti Provinsi Pulau Sumbawa, hingga
kini masih belum diputuskan oleh DPR RI. Mau contoh yang lebih gamblag,
pemekaran Papua yang bahkan dijamin oleh undang-undang (UU) khusus, baru
terwujud dua: Papua dan Papua Barat.
Benar
bahwa pada Oktober 2012 DPR RI sudah menyetujui satu provinsi baru (Kalimantan
Utara –Kaltara) yang proses pengajuannya sudah bertahun-tahun lampau; serta
beberapa kabupaten --Pangandaran (Jawa Barat), Pesisir Barat (Lampung), serta
Manokwari Selatan dan Pegunungan Arfak (Papua Barat)— yang semuanya dinyatakan
memenuhi syarat sesuai PP No 78/2007. Itu pun DOB ini sudah disaring ketat dari
19 yang diusulkan Komisi II DPR RI (http://nasional.kompas.com/read/2012/10/22/20574778/Provinsi.Kalimantan.Utara.Disetujui).
Ada di mana posisi Provinsi BMR saat ini? Melengkapi persyaratan
PP No 78/2007. Membawa ke DPR RI tanpa kelengkapan sesuai aturan baku itu, cuma
halusinasi psikopat. Terlebih dengan menyeret-nyeret nama Korps Alumni Himpunan
Mahasiswa Indonesia (KAHMI). Siapa Muliadi Mokodompit? Saya tidak pernah
melihat dia ada di lingkaran elit KAHMI di Jakarta. Memangnya KAHMI itu isinya
sekumpulan burung pipit, lalu dengan bodoh menabrak aturan-aturan normatif di
negeri ini?
Saya betul-betul ingin tahu apa reaksi KAHMI Sulut dan KAHMI
Pusat membaca pernyataan yang menyeret-nyeret dan merendahkan organisasi ini?
Terutama reaksi Ketua Presdium KAHMI Pusat, Mahfud MD, yang juga Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK).
***
Mencari pengaruh, bergiat, atau apapun namanya, adalah hak
setiap warga negara. Tidak ada yang bisa melarang Muliadi Mokodompit berakrobat
dalam urusan pembentukan Provinsi BMR. Hanya saja, saya ingin mempertanyakan
motif pribadi dan aksi-aksi yang turut dia gerakkan belakangan ini?