DISKURSUS sejarah
sejumlah orang Mongondow menjelang akhir abad 19 ternyata berlanjut. Minggu
pagi (10 Februari 2013) saya diinformasikan bahwa lintas percakapan di grup facebook Pinotaba dan Dukung Provinsi Bolaang Mongondow Raya memunculkan konfirmasi-konfirmasi baru, khususnya sejarah tutur
yang dikisahkan turun-temurun.
Saya tidak akan membahas lebih jauh ihwal sejarah Mongondow
yang diwariskan lewat tutur. Dari info yang disampaikan, Ahmad Alheid sudah
menjabarkan hal ini pada majelis di grup facebook,
yang juga dikuatkan oleh beberapa penanggap lain. Yang akan saya tegaskan,
berkenaan dengan konteks waktu akhir abad 19-awal abad 20, sejarah tutur (di
Mongondow) itu dapat dikonfirmasi dengan sejarah tertulis, yang pencatatannya umumnya
dilakukan pegawai Hindia Belanda atau pendeta dan pastor zaman itu.
Sebagai salah satu sumber, sejarah yang diwariskan lewat
tutur mudah terjerumus pada aneka bias. Kepentingan si penutur, konteks
peristiwa, bahkan ingatan manusia. Ketidak-hati-hatian menjadikan sejarah tutur
sebagai sumber membuka peluang bercampurnya dongeng, mitos, gosip, ke dalam
fakta-fakta sejarah.
Namun, sebagaimana yang berulang kali saya tulis, akhir abad
19 dan awal abad 20 masihlah segar di ingatan banyak orang di Mongondow.
Apalagi hingga awal abad 21 masih banyak orang Mongondow dengan ingatan yang
terjaga kewarasannya, hidup dan cukup sehat serta mampu diajak menjelajahi
peristiwa masa lalu.
Ibu dari Ayah (atau Nenek) saya, Usia Monoarfa, yang
meninggal di usia 106 tahun pada 2004 lalu, hingga akhir hayat tetap memiliki
ingatan cemerlang. Otaknya tidak digerogoti lupa. Di usia yang melewati
hitungan satu abad, Almarhumah Nenek hanya punya masalah dengan sendi-sendinya
yang kian lemah. Itu yang membuat Almarhumah harus sholat dalam posisi duduk
atau tidur.
Lahir tahun berapakah Almarhumah? Lebih satu abad yang lalu:
1898! Apakah dia cukup terdidik? Kalau pendidikan modern diterjemahkan sebagai
‘’hanya menguasai huruf latin’’, saya dengan kerendahan hati mengakui
Almarhumah jauh dari persentuhan dengan pendidikan modern jenis itu. Sebab, beliau
lebih fasih berkomunikasi tulis menggunakan aksara Arab gundul (lazim
digeneralisasi sebagai pegon).
Penguasaan Arab gundul tentu tak didapat dari bawah pohon
belimbing sambil melamunkan langit, bulan, dan bintang-bintang. Minimal
Almarhumah Nenek dibimbing, entah itu pribadi atau kelompok, oleh satu atau
lebih pengajar yang sebelumnya telah terpapar dengan dunia lebih luas. Arab
gundul toh tidak jatuh begitu saja dari
angkasa di Mongondow.
Bila ada yang memperdebatkan isu itu, sangat banyak orang
Mogolaing yang dapat bersaksi bahwa yang saya tuliskan bukan dongeng, mitos,
atau duga-duga interpretatif. Sama halnya dengan apa yang saya tuliskan tentang
Kakek Buyut, yang kini dikonfirmasi oleh sejumlah orang, juga dialami oleh Kakek
Buyut mereka.
Wilayah Mongondow adalah area terluas di Sulawesi Utara
(Sulut), tapi dengan penduduk yang relatif saling terkait satu dengan yang
lain. Mengarang-ngarang dongeng, mitologi, atau duga-duga, mudah dibantah dan
ditertawakan oleh para orang tua. Masih banyak mereka, yang datang dari
generasi ke 2 atau ke-3 periode akhir abad 19, yang kini masih hidup.
Sebaliknya, Almarhumah Nenek dari sisi Ibu justru
berpendidikan modern. Fasih dalam beberapa bahasa, terutama Belanda. Pendidikan
itu berbekas dari buku-buku dan literatur yang dimilikinya. W Dunnebier,
pendeta Belanda yang lama bermukim di Mongondow (Passi) dan paling banyak
dirujuk berkaitan dengan masa lalu daerah ini, pertama kali saya kenal dari
buku-buku yang dimiliki Almarhumah Nenek dari sisi Ibu.
***
Maka terlalu menganggap remeh bila ada orang luar yang hanya
melihat (bahkan meneliti) Mongondow di atas permukaan, lalu petantang-petenteng
bersikap seolah-olah di akhir abad 19 dan awal abad 20 Mongondow hanya belukar
dengan orang-orang biadab yang saling mengayau kepala satu dan lain. Yang
dengan angkuhnya memperlakukan generasi Mongondow kini tak lebih dari sekumpulan
otak udang dan pengarang picisan.
Daerah ini adalah sebuah Kerajaan (dengan ‘’K’’ besar) tua,
yang jelas memiliki peradaban. Peradaban itu yang sedihnya hilang disaput aneka
peristiwa. Rekonstruksi dan kontruksinya boleh dari berbagai sumber, termasuk
penutur kredibel yang di-cross check
dengan sumber tertulis yang membahas era yang sama, di tempat yang sama.
Darimana pun sumber tertulis itu.
Tatkala ada tuduhan bahwa mengarang-ngarang sejarah
keluarga, khususnya Kakek Buyut, saya sudah mencontohkan bagaimana sejarawan
kredibel mampu merekontruksi orang atau peristiwa di masa lalu. Saya
mengemukakan tiga nama yang diakui melakukan terobosan fenomenal (bahkan
membuat sejarah harus ditulis ulang): Gavin Menzies, Simon Sebaq-Montefiore,
dan John Man.
Gavin Menzies berhasil membuktikan bahwa Colombus bukanlah
penemu Benua Amerika. Benua ini sudah lebih dahulu dijelajahi pelaut-pelaut
Cina. Bahkan Columbus berhasil menemukan ‘’dunia baru’’ itu dengan panduan peta
milik pelaut-pelaut Cina. Simon Sebaq-Montefiore berhasil merekonstruksi salah
satu tokoh momok sejarah, Stalin, dengan kelengkapan sumber yang sukar
ditandingi sejarahwan mana pun. Akan halnya John Man, dia tidak hanya meriset
sejarah dari balik meja dan literatur, atau metodologi konservatif lain yang
umum dipraktekkan; tetapi menyambangi situs dan apa pun yang terkait dengan
obyek yang sedang ingin dia singkap, dengan keingin-tahuan melampaui obsesi.
Dengan pikiran terbuka saya menerima segala kemungkinan dari
temuan sejarah berkaitan dengan Mongondow, khususnya apa yang terjadi di akhir
abad 19 dan awal abad 20 dan siapa saja aktor-aktor utama serta pemeran
pembantu yang terlibat di peristiwa-peristiwa pentingnya. Generasi kini memang
mesti menyingkap banyak abad yang hilang di Mongondow, memilah mana yang
dongeng, mitos, atau sekadar bumbu-bumbu percakapan sosial yang jauh dari
fakta.
Sejalan dengan itu, saya berharap kontribusi dari mana pun
disajikan berdasar data kredibel, jauh dari bolong-bolong dan celah yang pada
akhirnya cuma menciptakan kemarahan karena argumen dan pembuktian yang lemah.
Ingat: Generasi Mongondow kini juga sekolah; tidak cuma berkhayal di bawah
pohon kelapa, main domino, atau membaui lem Eha Bond.***