ADA dua tulisan
berkaitan dengan rencana pembentukan Provinsi Bolaang Mongondow Raya (BMR) yang
saya unggah, masing-masing Mongondow,
Provinsi, dan Mentalitas Aktivis (Selasa, 29 Januari 2013) serta ‘’Palo-Palo Cendol’’ Provinsi BMR
(Kamis, 31 Januari 2013). Substansi dari dua tulisan ini sama: Provinsi BMR
harus dibentuk lewat tata cara, mekanisme, dan adab yang benar dan pada
tempatnya.
Selang sehari setelah tulisan kedua, Jumat (1 Februari 2013)
saya membaca pernyataan Sekretaris Provinsi (Sekprov) Sulut yang juga orang
Mongondow, Rachmat Mokodongan, di Beritamanado.Com
(http://beritamanado.com/politik-pemerintahan/pendemo-kurang-mengerti-proses-pemekaran/159107/).
Bertajuk Pendemo ‘Kurang Mengerti’ Proses
Pemekaran, apa yang disampaikan Sekprov tak beda dengan apa yang menjadi
konsern saya.
Sekprov yang ke-Mongondow-annya tak perlu kita pertanyakan
lagi, bahkan secara ekplisit ‘’menyindir’’ para pendemo –yang aksi mereka juga
saya kritik—sekadar asal seruduk. Penjelasan bahwa Gubernur SH Sarundajang,
sebagai mantan Walikota Bitung (Kota Administratif pertama yang dimekarkan di
Sulut, bahkan Indonesia, menjadi Kota) paham betul urusan pemekaran wilayah,
halus tapi sangat menampar.
Jelasnya, ‘Kurang Mengerti’’ dalam konteks berita itu dapat
diterjemahkan sebagai ‘’bodoh’’, ‘’tidak tahu tapi sok tahu’’, ‘’sekadar sok
jago’’, petantang-petenteng’’, dan bahkan ‘’menuding dengan telunjuk di lobang
hidung sendiri’’.
Maka, untuk yang kesekian kali, saya mengulang: Problema
pembentukan Provinsi BMR belum sampai ke tangan Gubernur dan DPR Sulut.
Selebihnya, baca tautan Beritamanado.Com
yang saya cantumkan di atas.
***
Dua tulisan saya memang mengundang reaksi, yang sayangnya
dilakukan dengan cara-cara yang jauh dari cerdas dan bermartabat. Berkali-kali
saya menerima pesan pendek (SMS) tak bermutu (berisi provokasi dan cacian) yang
mengatas-namakan Komite Rakyat untuk Perjuangan Pemekaran Provinsi BMR
(KRUPPBMR). Pertama, kedua, dan ketiga, saya masih bertoleransi. Tapi tidak
bila cara-cara tak berpendidikan ini berlanjut jadi kebiasaan.
Organisasi apa sebenarnya KRUPPBMR ini? Siapa yang
mendirikan, yang mengurus, dan menjadi anggotanya? Kalau sekadar organisasi
tanpa bentuk (OTB), ya, wajar bila apa yang dilakukan juga tanpa bentuk, tanpa
pakai otak, dan malah menjadi duri yang mengganggu kepentingan orang banyak.
Berdemo, membakar ban, keranda, dan foto Gubernur Sulut dengan alasan yang
sampai hari ini tak punya jawaban logis, patut jadi alasan bagi warga di
seluruh BMR menuduh kelompok ini justru adalah antek-antek yang berniat jahat
menyabotase pembentukan Provinsi BMR.
Saya tidak punya urusan dengan KRUPPBMR. Urusan saya, sebagai
bagian dari warga Mongondow, adalah hal-hal normatif yang menjadi praktek dan
adab di Mongondow. Tidak pula saya terganggu bila atas nama KRUPPBMR ada entah
siapa yang mengirimkan tulisan yang berisi cacian terhadap saya di forum sosial
Pinotaba (saya bukan pengguna facebook
dan karenanya tidak menjadi anggota). Hanya dengan dibacakan beberapa
alinea, saya tahu persis siapa yang menulis tulisan itu. Coro yang sama, yang selama ini berulang-kali memantik perseturuan
pribadi dengan saya, yang kelasnya memang hanya sampai di situ.
Logika bengkok, nama yang dipetik dari langit, dan caci maki
yang ditulis, semestinya dipertanggungjawabkan oleh KRUPPBMR. Sebab kalau ada
yang menulis akan menendang pantat saya, mari laksanakan. Ini pantat ada di
tempatnya dan tetap dibawa ke mana-mana saya pergi. Sebaliknya, KRUPPBMR, mana
pantat pengirim SMS dan penulis caci-maki atas nama organisasi ini terhadap
saya, supaya jelas pemilik dan jenis pantat yang harus saya tendang.
Sejatinya sejak mendengar nama KRUPPBMR saya spontan
menyatakan mendukung gerakan mereka. Tapi dengan perilaku yang ditunjukkan sejumlah
cecunguk yang turut berhimpun di organisasi ini, saya mati selera. Mengurus
disiplin dan isi kepala anggotanya saja tidak becus, bagaimana pula mengharapkan
kontribusi nyata terhadap pembentukan Provinsi BMR.
Berkontribusi terhadap Mongondow, khususnya pembentukan BMR,
bukanlah jenis aksi koboi-koboian karena ada toa dan sejumlah kepala siap berdiri di bawah terik matahari,
mendengarkan ocehan orator yang ngalor-ngidul tak karuan. Bila pun ada
pertanyaan, ‘’Lalu apa kontribusi Anda?’’ Kalau saya menyatakan tidak ada dan
tidak perlu, memangnya ada ancaman hukuman di tengkuk saya? Memangnya apa hak
OTB menagih kontribusi orang per orang terhadap pembentukan provinsi?
Justru orang banyaklah yang berhak keberatan bila atas nama
pembentukan provinsi lalu hajat-hidup mereka diganggu. Para demonstran yang
pekan lalu beraksi cukup beruntung karena para pengguna plat merah yang
dihadang punya toleransi tinggi. Semestinya, aksi tanpa otak dan anarkis
seperti itu layak dibalas dengan cara yang sama.
Lagipula, apa yang saya publikasikan di blog ini ditujukan untuk konsumsi orang-orang yang berpikir.
Mereka-mereka yang daya cerna otaknya tak cukup memadai, sudah disarankan
jangan sekali-kali membaca isinya. Cuma membuat pusing dan akhirnya menimbulkan
masalah baru: Ya, tereng-lah,
kalap-lah, yang ujungnya kian menunjukkan buruknya kualitas pendidikan dan langit
pengetahuan yang bersangkutan.
***
Hari-hari setelah demo di bundaran Paris Superstore,
pemberitaan-pemberitaan yang berkaitan dengan aksi ini umumnya (cukup santun)
berisi kritik dan penyesalan. Yang dikutip pun bukan sekadar sumber abal-abal,
tetapi mereka-mereka yang diakui sebagai tokoh oleh warga Mongondow, bahkan
Sulut.
Tidak cukupkah fakta-fakta itu menjadi pelajaran bagi
sejumlah orang, yang demikian tumpulnya sehingga berlaku seolah-olah pohon
pisang. Kalau tidak ditebang, dibakar dan digali hingga ke akar-akarnya, dengan
cepat tumbuh dan merimbun lagi.
Aktivis –pekerjaan jenis apa sebenarnya ‘’makluk aktivis’’
ini?—yang kapasitasnya hanya setara pohon pisang, cuma berakhir di penggorengan
atau tergantung-gantung hingga busuk. Nah, para pohon pisang yang sudah bekerja
keras mengirimkan SMS dan menulis caci maki untuk saya, balajarlah dulu dengan
tekun. Setahu saya, mempertontonkan kebodohan belumlah pernah jadi trend favorit di belahan jagad mana pun.***