MENAKJUBKAN betul
mengetahui kian banyak orang Mongondow (atau yang bersentuhan dengan Mongondow)
yang berpengetahuan tinggi. Malam ini (Minggu, 3 januari 2013) saya mendapatkan
forward tulisan Sumardi Arahbani yang
diunggah di grup Pinotaba: Dari Perang Aceh hingga Katamsi Ginano:
Catatan Atas Polemik Provinsi Totabuan.
Dari penelusuran yang saya lakukan, Sumardi Arahbani pernah
mengakui mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Bolaang Mongondow Selatan
(Bolsel), sebagaimana yang dipublikasi Radar
Manado, Rabu (23 November 2011). Selebihnya, hanya ada tautan-tautan ke facebook, yang sayang sekali tak dapat
saya kunjungi. Hingga tulisan ini dibuat, saya tidak punya account facebook.
Sekali pun begitu, ada sepotong informasi, bahwa Sumardi
Arahbani pernah menempuh pendidikan environmental
science di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Potongan lain yang
sangat sedikit memberi gambaran adalah minatnya terhadap penelitian environmental science dan environmental history.
Latar belakangnya yang belajar ilmu lingkungan tidak membuat
saya menyepelekan pengetahuan sejarah Sumardi Arahbani. Toh saya pernah mencicipi teknik sipil, kemudian ilmu politik,
tetapi belakangan lebih dianggap (sebagai anggapan, tentu suka-suka yang menganggap)
memahami dengan baik corporate social
responsibility (CSR) yang justru di bawah disiplin ilmu ekonomi.
Maka mari kita masuk pada urusan sejarah, terlebih tulisan
Sumardi Arahbani yang diunggah di Pinotaba, kemudian dijadikan dasar olok-olok
terhadap saya dan leluhur saya. Mungkin Sumardi Arahbani bisa memberi pencerahan,
di bagian mana tafsir sejarah yang sifatnya personal, bukan penelitian ilmiah,
yang dia kritisi mengandung kelemahan yang jadi cacat besar? Saya tidak
keberatan belajar, menjadi murid yang
baik, bila disodori rujukan yang lebih sahih.
Apa yang saya tuliskan bukan firman atau kutipan kitab suci.
Boleh dianulir bila memang ada cacat, yang dibuktikan dengan metode ilmiah yang
diterapkan dan diuji dengan ketat.
***
Dengan kerendahan hati saya berani mengatakan, secara
pribadi saya cukup mengenal Goenawan Mohamad. Akan halnya Romo Sindhunata, saya
familiar dengan apa yang dia tuliskan. Saya berterima kasih pada Sumardi yang
telah dengan kelapangan dada menyandingkan saya dengan dua maha guru esai di
Indonesia ini.
Saya sadar, kelas saya jauh dari Romo Sindhu, apalagi Mas
Goen (Goenawan Mohamad) yang bacaannya ruar biasa komplit. Dan aspek paling
mendasar perbedaan antara saya dan dua tokoh itu adalah: Mereka menulis, saya
mengomel.
Saya menyukai tulisan-tulisan mereka. Bahkan di beberapa
kesempatan, berdiskusi tentang kandungan tulisannya langsung dengan Mas Goen.
Yang hebat dari para empu seperti Mas Goen, dia boleh mengkritik, mencela, atau
meremehkan; tetapi juga menerima sikap yang sama apabila lawan diskusinya punya
argumen dan bukti-bukti kuat.
Di ranah sejarah kontemporer berserak nama-nama yang
karyanya saya suka, bahkan gila-gilai. Gavin Menzies yang menulis ulang sejarah
eksplorasi dunia, termasuk penemuan Benua Amerika lewat 1421 (2002) dan 1434
(2008); Simon Sebag-Montefiore yang menghentak kita dengan Jerusalem:
The Biography
(2011), Young Stalin (2008), Stalin: The Court of the Red Tsar
(2005); atau John Man yang membuai lewat Genghis
Khan: Life, Death and Resurrection (2005), Attila: The Barbarian King Who
Challenged Rome (2005), Kublai Khan
(2006), Samurai: The Last Warrior
(2011), dan yang terbaru Ninja: 1,000
Years Of The Shadow Warriors (2012).
Ada banyak nama
yang bisa disebutkan, termasuk Jared Diamon, Profesor Geografi yang justru
menulis buku yang bertitik-berat sejarah peradaban manusia, Guns, Germs & Steel (1997), yang mengganjari
dia Hadiah Pulitzer pada 1998.
Bagaimana
dengan sejarawan yang menulis tentang Indonesia? Saya mengoleksi cukup banyak
buku sejarah Indonesia, mulai dari The
History of Java-nya Thomas Stamford Raffles (edisi Indonesianya terbit pada
2008), Sejarah Indonesia Modern Sejak
1200 dari MC Ricklefs (edisi revisi terbit pada 2005) yang setebal bantal, serta
ratusan literatur sejaran lain yang saat ini ditumpuk di 15 kotak dokumen di
ruang kerja saya.
Dan itu tak
cukup karena saya masih memburu karya-karya W Dunnebier, seorang pendeta
Belanda yang pernah bermukim di Passi. Saking langkanya, karya-karya Dunnebier
yang bahkan menulis sebagian bukunya dalam bahasa Mongondow, hanya dikoleksi oleh
kurang dari empat perpustakaan terkemuka di dunia.
Benar bila saya
tidak secara khusus mempelajari sejarah. Saya mengikuti kuliah metodologi
penelitian dan penulisan sejarah, kuliah-kuliah lain berkaitan dengan sejarah,
sembari asik membaca buku yang tak berhubungan dengan apa yang sedang
dipaparkan para dosen. Jadi, sangat mungkin saya membuat kekeliruan atau
terpeleset dalam soal sejarah kehidupan Kakek Buyut saya.
***
Masalahnya,
sejarah Indonesia kontemporer tidaklah tua-tua amat. Hingga 30 tahun lalu masih
banyak orang tua di Mongondow (usia saya sudah melewati paruh 40-an) yang
menjadi saksi hidup peristiwa yang terjadi di awal abad 20. Sedemikian pula,
kendati compang-camping, setelah era Orde Baru, kita masih bisa menelusuri
banyak peristiwa kontemporer yang luput dari sejarah mainstream karena rezim yang berkuasa terlampau berorientasi pada
Jawa dan manusianya.
Lebih buruk
lagi, negeri ini miskin sejarawan yang menyeriusi riset dan menuliskan tanpa
terpengaruh tarikan kepentingan (utamanya) politik rezim kuasa. Boleh dibilang,
sejarah pinggiran yang kita cecap sekarang adalah sisa-sisa pengetahuan yang
diwariskan dengan compang-camping secara turum-temurun.
Tapi juga
sejarah memiliki tipikalnya sendiri. Sebagai penggemar riset sejarah (sekali
pun itu sejarah lingkungan), Sumardi Arahbani tentu tidak membantah di era kolonial
serdadu bayaran identik dengan Ambon dan wilayah sekitarnya. Demikian pula
dengan kuli kontrak, yang identik dengan orang Jawa.
Pertanyaan
saya: Tidakkah melawan sejarah sebuah kerajaan yang diketahui tidak pernah
dijajah, tidak mengenal tradisi serdadu bayaran, lalu mengirim tentaranya
berperang di bawah panji Verenigde
Oostindische Compaqnie (VOC)? Sebagai serdadu bayaran pula?
Mungkin saya
melewatkan banyak literatur sejarah Aceh, terutama berkaitan dengan perang tak
kunjung henti di wilayah ini di era kolonial. Dan bab yang terlewatkan itu
gawat nilainya, karena berisi kisah tentang serdadu bayaran yang berasal dari
Bolmong, yang salah satunya adalah Kakek Buyut.
Mohon Sumardi
Arahbani memberi saya pencerahan. Saya akan sangat berterima kasih untuk itu.***