TAHUKAH
Anda perbedaan mendasar antara ‘’tentara sewaan’’ (mercenary) dan
‘’tentara’’ (army)? Anda menuliskan ‘’… fakta sejarah yang sebenarnya adalah ia disewa oleh pemerintah
Hindia Belanda….’’ Pemerintah Hindia Belanda, dalam konteks Aceh,
tidak pernah menyewa tentara. Mereka merekrut tentara, yang menjadi bagian dari
Koniklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL). Yang menyewa tentara adalah Verenigde Oostindische Compaqnie (VOC),
yang hanya perusahaan dagang, bukan institusi negara.
Anda berpikir bahwa saya menulis hanya karena bisa
menggunakan komputer dan tahu merangkai kata? Bahwa kata-kata dan kalimat yang
dituliskan sekadar dimuncratkan begitu saja?
Sumardi
Arahbani gagal menangkap sindiran (dan ejekan saya) terhadap asal bunyinya soal
‘’dia disewa’’ Pemerintah Hindia Belanda. ‘’Disewa’’ dan ‘’menjadi
tentara’’ itu dua hal yang sama sekali berbeda. Dan dalam soal ini, Sumardi
Arahbani sangat tidak konsisten. Mana yang benar? Di mana fakta itu berada? Anda
sekadar mangap saja, supaya punya alasan mengolok-ngolok saya dan leluhur saya?
Ketiga,
Anda sebenarnya belajar sejarah di mana? Bawa ke sini kepala Anda biar saya isi
dengan pengetahuan yang lebih benar, paling tidak yang telah diuji berdasar
standar ilmiah kesejarahan.
Kalau Anda benar-benar belajar sejarah, pasti tahu
bahwa de facto dan de jure empat hari setelah pendaratan Tentara
Belanda di Aceh dan menempati bivak di Penanjoeng pada 20 Januari 1874, Sultan
(yang menjadi simbol resmi Pemerintahan Aceh) menyerah nyaris tanpa perlawanan.
Logika Sumardi Arahbani pasti bengkok ketika menuliskan bahwa di periode 1880-1893 Aceh masih kesultanan yang
berdaulat. Perang yang kemudian meletus setelah 1874 (dimana
Unit Marsose yang didirikan KNIL mendapatkan reputasi mengerikan) dianggap
sebagai pemberontakan oleh Belanda.
Tentang serdadu Belanda yang berperang di Aceh,
Sumardi Arahbani boleh membaca Zwarte Hollanders, Afrikaanse Soldaten in
Nederlands-Indie 1831-1945 karya Ineke van Kessel. Buku ini sudah
diterjemahkan dan diterbitkan oleh Komunitas Rumah Bambu pada Mei 2011 dengan
tajuk Serdadu Afrika di Hindia Belanda.
Penelitian Ineke van Kessel mengkonfirmasi bahwa
tentara rekrutan KNIL yang berperang di Sumatera setidaknya berasal dari Afrika
(Ghana), Jawa, Bugis, Madura, Sumenep, Manado dan Ambon. Tidak ada satu pun
yang menyebutkan ada serdadu KNIL dari Bolaang Mongondow.
Bagaimana dengan (khusus) Perang Aceh? Karena
pengarsipan kolonial yang relatif baik, para sejarawan punya peluang menelusuri
nama-nama serdadu yang bertempur sejak pertama kali Belanda menyatakan perang
pada Kesultanan Aceh pada 26 Maret 1873. Termasuk nama-nama para anggota
Marsose, lengkap dengan gaji mereka .
Saya cermati, membedakan Marsose dan KNIL saja
tampaknya Sumardi Arahbani mengalami kesulitan (dengan menulis Marsose/KNIL
–sepele tapi fatal). Tahukah Anda bahwa Marsose hanyalah unit khusus di dalam
KNIL, yang artinya cuma serdadu pilihan yang masuk dalam unit ini? Dan unit ini
pun baru dibentuk setelah Perang Aceh meletus.
Keempat, tentang kuli kontrak, apa urusannya
lalu ditarik menjadi sekadar persepsi orang Mongondow? Ini persepsi orang
Indonesia umumnya ketika bicara tentang sejarah kuli kontrak yang melibatkan
pribumi –bukankah kita tidak sedang membicarakan Cina? Lagipula saya paham
betul sejarah kuli kontrak. Sumardi Arahbani boleh membuka-buka lagi arsip
lama, pasti akan menemukan review saya di media terkemuka Indonesia berkaitan
dengan buku (sejarah) karya Jan Bremen yang sempat menjadi diskusi hangat
bertahun lalu, Menjinakkan
Sang Kuli: Politik Kolonial Pada Awal Abad Ke-20
(Grafiti, 1997).
Apakah Anda mau menyandingkan Jan Bremen yang
bertahun-tahun melakukan riset serius dengan buku yang ditulis berdasarkan
nostalgi pribadi? Yang hanya menyinggung kuli kontrak dalam satu kalimat?
Kelima,
capek betul saya membaca penjelasan tentang serdadu rekrutan KNIL yang ada di
poin lima hingga tujuh di atas, karena sama sekali tidak menjawab subsatansi
dari tuduhan terhadap Kakek Buyut saya. Apa literatur yang Anda gunakan,
Sumardi Arahbani? ‘’Konon’’ dan ‘’patut diduga’’ dengan metodologi sejarah yang
tidak diuji, sama dengan karang-karangan. Saya kuatir Anda hanya memetik apa
yang dituliskan dari percakapan di Pos Kamling.
Cek kembali data-data tentang perekrutan
serdadu-serdadu pribumi oleh KNIL pasca penyerahan kekuasaan dari VOC ke
Pemerintah Hindia Belanda. Sejak kapan
perekrutan itu dimulai dan dari mana saja mereka? Anda akan malu karena betapa
banyak kelirunya Anda, termasuk dalam soal kecakapan perang pribumi.
Kecakapan perang sebagai fakta sejarah itu yang
menjadi dasar mengapa serdadu bayaran indentik dengan Ambon di masa kolonial.
Literatur-literatur sahih menyebutkan karena serdadu asal Ambon sangat terkenal
keberaniannya (hanya dikalahkan oleh serdadu KNIL asal Ghana yang mulai
direkrut di periode 1831-1835 –dan selama bertugas di Hindia Belanda sering
dikacaukan dengan serdadu pribumi asal Ambon karena kesamaan warna kulit).
Sebagai bonus, karena Sumardi Arahbani
menyinggung-nyinggung Perang Diponegoro, saya menyarankan sebaiknya baca tiga
jilid Kuasa Ramalan: Pengeran Diponegoro
dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (The Power of Prophecy: Prince
Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855) karya Peter
Carey, terbit di Belanda pada 2007, yang edisi Indonesianya diterbitkan oleh Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG) pada November
2011.
Saya marah karena orang yang dikira punya
pengetahuan, layak dipuji, dan dimintai pencerahan, ternyata hanya
berargumentasi dengan ‘’konon’’ dan ‘’patut diduga’’. Sayang sekali saya harus
kehilangan respek terhadap Sumardi Arahbani. Dengan tulisan ini (yang rujukannya bisa ditelusuri ke literatur-literatur sejarah yang diakui keabsahannya) saya
sudah membuktikan krebilitas pengetahuannya cukup dilemparkan ke tong sampah.
Saya justru ingin menanyakan apa motif di balik
penghinaannya terhadap saya dan leluhur saya?
Kalau hanya berdasar ‘’konon’’ dan ‘’patut diduga’’, saya juga bisa
mengarang-ngarang konon Kakek Buyut Sumardi Arahbani adalah antek Belanda, yang
patut diduga menjadi salah satu yang diburu-buru untuk dipenggal oleh
orang-orang seperti Kakek Buyut saya.
Saya akan menutup komentar (terakhir –karena saya
tidak akan menanggapi lagi di masa datang) terhadap Sumardi Arahbani ini dengan
peringatan: Anda boleh mengolok-olok saya. Tetapi jangan Kakek Buyut saya, yang
anak-temurun dan rumpunnya tersebar di seluruh Mongondow. Apalagi olok-olok itu
berdasar karang-karangan dan tafsir sesuka-suka Anda.
Berikutnya, bila ada lagi penghinaan atas dasar ‘’konon’’
dan ‘’patut diduga’’, supaya Sumardi Arahbani faham, saya menggunakan bahasa
Manado: ‘’Kurang fulungku yang mo sampe pa ngana, karna ngana rupanya nyanda
mangarti kalu cuma kata-kata.’’ ***