DI LIWAS Permai
Manado ada sebuah rumah di Blok A yang bertahun-tahun lalu menjadi tempat
persinggahan para aktivis asal Mongondow. Dulu ukuran rumah milik orangtua saya
ini jauh dari lapang. Kalau lebih dari enam kepala yang berkumpul, ditambah
saya dan adik-adik, malam pasti dilewatkan dengan tidur menggeletak
bersempit-sempit di dua kamar dan ruang tamu yang berukuran seadanya.
Selain saya, Deni Mokodompit pernah menjadi ‘’tetua’’ di
rumah yang diberi nama ‘’Blengko’’ itu. Keberadaan Deni, dengan
macam-macam kesibukan dan tanggungjawab karena jabatannya (termasuk Ketua Umum
Kerukunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow –KPMBIM) ditandai
dengan Vespa tua (yang dinamai ‘’Badudud’’ --lagi-lagi-- oleh adik-adik) dan banyaknya map
serta kertas berserakan.
Kecerewetan dan detail Deni pada soal administrasi di satu
sisi sangat menguntungkan organisasi di mana dia bergabung atau menjadi
pengurus. Di sisi lain, membuat saya suka naik darah, sebab terasa menyita
banyak waktu. Perfeksionis itu baik, tapi kalau keterlaluan, lama-lama dapat
diterjemahkan sebagai gejala gangguan jiwa.
Sekali pun demikian, Deni tak peduli. Didebat panjang-lebar,
dikritik hingga dia bersiap-siap melayangkan maigeri (sejak zaman kuliah Deni sudah menyandang ‘’dan’’ untuk
ketrampilan karate), tak mempan di batok keras kepalanya.
Tapi saya harus mengangkat dua jempol terhadap kegigihannya
dalam tata-menata administrasi. Dengan demikian, setiap kali ada masalah di
internal organisasi, perdebatan diselesaikan dengan mudah: Cukup melirik Deni
yang selalu siap dengan tumpukan map dan seluruh bukti tergelar di depan siapa
pun yang bersilang-selisih. Yang benar segera terkonfirmasi, demikian pula
dengan yang salah.
***
Mengenal Deni Mokodompit nyaris khatam luar-dalam membuat
saya terbahak membaca berita Radar
Totabuan, Selasa, 19 Februari 2013, Muliadi
Laporkan Deni (ke) Polisi, yang
di-forward seorang kawang.
Ringkasnya, berita ini menuliskan keberatan Muliadi Mokodompit terhadap
pernyataan Deni Mokodompit (keduanya sama-sama Mokodompit), yang dianggap
sebagai fitnah.
Pernyataan yang mana? Seingat saya, Deni Mokodompit secara
terbuka menuding Muliadi Mokodompit –dan kawan-kawan—melakukan penipuan
berkaitan dengan manuver terakhir mereka dalam isu pembentukan Provinsi Bolaang
Mongondow Raya (BMR). Pernyataan itu, salah satunya dikutip oleh situs Kontra Online, Rabu, 13 Februari 2013 (http://kontraonline.com/11313/wakil-bendahara-p3bmr-sebut-muliadi-cs-penipu/).
Saya mendukung tindakan Muliadi Mokodompit melaporkan
keberatannya ke aparat hukum. Biar hukum yang membuktikan apakah Deni
Mokodompit memaklumatkan fitnah, atau Muliadi Mokompit (dan ‘’Cs’’) yang memang
tukang tipu dan tukang tilep.
Yang saya herankan, mengapa Muliadi Mokodompit tidak turut
melaporkan saya ke polisi? Bukankah sejak Jumat (8 Februari 2013) saya sudah
mengejek-ngejek dia karena pernyataan bodohnya di Radar Totabuan, Kamis, 7 Februari 2013 (http://www.radartotabuan.com/read/pbmr-hak-inisiatif-dpr-2983).
Saya memang tidak secara eksplisit menuliskan Muliadi Mokodompit melakukan
penipuan, tetapi substansi tulisan saya di blog
ini (Awas! Ada Psikopat Pemekaran),
kurang lebih sama dengan apa yang disampaikan Deni Mokodompit di Kontra Online.
Saya yakin Muliadi Mokodompit lupa berpikir saat memutuskan
(katanya) melaporkan dugaan fitnah Deni Mokodompit ke polisi. Modalnya cuma
perasaan (Senin malam, 18 Februari 2013, perkara ‘’merasa’’ ini sempat jadi
diskusi lucu di salah satu BlackBerry
Messenger --BBM-- Group yang beranggota aktivis di Mongondow). Bermodal
perasaan, menghadapi Deni yang gila detil dan bukti (mudah-mudahan dia tak
berubah banyak setelah lebih 10 tahun periode Blengko), sama dengan
membenturkan kepala ke batu padas.
Dengan niat baik, saya menyarankan Muliadi Mokodompit
bersiap-siap mengunyah jemari, siku, dan dengkulnya sendiri. Deni yang saya
kenal pasti membuka mulut dengan memegang bukti-bukti kuat. Sebagai Wakil
Bendahara Panitia Pembentukan Provinsi Bolaang Mongondow Raya (P3BMR) dia tentu
tak alpa pula berkonsultasi dengan Ketua dan jajaran panitia yang lain.
Ketaatan Deni dalam ketata-laksanaan organisasi memang menjemukan (dan kerap
mengundang amarah), tapi sekaligus membawa maslahat di saat-saat genting.
Alih-alih menyeret Deni ke balik bui Polresta Kotamobagu,
Muliadi Mokodompit justru mempercepat manimpang
dan ba angka dari Kota Kotamobagu (KK) untuk dirinya sendiri. Tanpa
melebih-lebihkan, Deni yang saya kenal sejak lama sudah lupa kata ‘’mundur’’
dalam perbendaharaan bahasanya. Apalagi kalau dia di posisi yang benar dari
segala aspek.
***
Kilahan yang menjadi dasar keberatan Muliadi Mokodompit
terhadap Deni Mokodompit, setidaknya yang diungkap di Radar Totabuan, menurut hemat saya juga sangat lemah. Saya tidak
akan mempersoalkan dana-dana yang harusnya disetor terlebih dahulu ke Bendahara
P3BMR, yang diduga digunakan oleh Muliadi Mokodompit (dan kawan-kawan). Tapi,
berkaitan dengan klaimnya mendaftarkan pemekaran Provinsi BMR ke DPR RI, harus
disebut apa kalau bukan tindak penipuan?
Membawa-bawa nama Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam
(Kahmi) harus dimaknai sebagai apa? Hanya perlu penjelasan yang memadai, saya
yakin Kahmi Sulawesi Utara (Sulut) dan Kahmi Pusat akan bereaksi.
Titik paling lemah di antara semua kilahannya adalah
berkaitan dengan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) –kecuali Muliadi Mokodompit
punya difinisi lain. Setiap SPJ tentu didahului dengan Surat Perintah (SP).
Apakah sewaktu melakukan perjalanan ke Jakarta (‘’katanya’’ ke DPR RI) dengan
menggunakan dana yang harusnya disetorkan ke P3BMR, Muliadi Mokodompit (dan
kawan-kawan) mengantongi SP?
Kalau perjalanan dan penggunaan dana P3BMR itu dilakukan
dengan SP, mengapa jajaran Presidium P3BMR tidak mengetahui –bahkan menolak—
apa yang mereka lakukan? Tipu-menipu dengan kepintaran menyembunyikan sebagian
fakta, mengolah logika, dan bermain kalimat, cuma mempan terhadap anak Taman
Kanak-Kanak (TK). Muliadi Mokodompit tidak tahu diri dan tidak tahu malu bila
berasumsi sejumlah orang yang konsern dengan pembentukan Provinsi BMR, tidak
akan mengejar bukti setiap omongan yang dia ucapkan.
Saya kian yakin bahwa sejumlah oknum memang memanfaatkan isu
Provinsi BMR demi keuntungan pribadi. Patut diduga, juga dengan niat
men-sabotase prosesnya. Oknum seperti ini hanya pantas diperlakukan dengan cara
khas Mongondow: Butuk-kon in intau
tolipu’.***