FILM Head of State, yang mulai ditonton para
penggemar komedi pada 28 Maret 2003, bagai nujum bahwa satu saat negara
adidaya, Amerika Serikat Serikat (AS), bakal dipimpinPresiden berkulit hitam
(Afro-America). Lima tahun kemudian, tepatnya 4 November 2008, Barack Obama
terpilih sebagai Presiden AS ke 44 dengan kemenangan mutlak 365 electoral vote dibanding lawannya, John
McCain, yang hanya mengantongi 173.
Disutradarai dan dibintang-utamai oleh komedian Chris Rock
(sekaligus juga menulis skenarionya bersama Ali LeRoi), Head of State yang meraup keuntungan hampir 39 juta dolar AS,
berkisah tentang Mays Gilliam, seorang anggota Dewan Kota dari Washington DC.
Ditampilkan sebagai seorang pelayan masyarakat yang baik, Mays justru tak henti
didera sial: Dipecat dari jabatan hingga dicampakkan kekasih seksinya, Kim,
yang dimainkan dengan pas oleh mantan istri petinju Mike Tyson, Robin Givens.
Tiba-tiba jalan nasib Mays berubah ketika calon Presiden dan
Wakil Presiden (Wapres) yang sedang melakukan kampanye, tewas karena
kecelakaan. Partai yang sudah kehilangan peluang, memutuskan memilih kandidat
pengganti dari kalangan minoritas, sekadar sebagai ‘’tabungan politik’’ untuk
pemilihan berikutnya. Karena ini film komedi, tidak usah menduga. Yang dicomot
adalah Mays Gilliams yang sedang gundah gulana.
Petinggi partai menetapkan pilihan terhadap Mays karena dia
dianggap mampu merepresentasi masyarakat minoritas, Afro-America, Hispanik, dan
para imigran belakangan umumnya. Lagipula, buat apa mengorbankan elit partai
lain hanya karena terpaksa harus tetap punya kandidat Presiden dan Wapres di injury time?
Siapa menduga, olok-olok politik itu ternyata meraih simpati
publik pemilih. Kendati Wapres yang didaulat Mays adalah sepupunya, seorang
‘’preman penjamin tahanan’’ yang berkelakuan seenaknya (diperankan komedian
Bernie Mac), mereka berdua tetap melenggang ke kursi Presiden dan Wapres AS.
***
Beberapa pekan lalu saya bersigegas membongkar koleksi film,
mencari Head of State, ketika
mendengar Ahmad Ishak atawa Matt Jabrik (yang lebih saya kenal sebagai wartawan
dan tukang main gitar) bakal mencalonkan diri sebagai calon Walikota Kota
Kotamobagu (KK) 2013-2018. Saya menonton Chris Rock sembari membayangkan Matt
Jabrik dan sepanjang 95 menit larut dalam tawa.
Inagurasi Presiden Mays Gilliam diiringi lagu kebangsaan AS
yang dinyanyikan dengan gaya rap. Yang melintas di benak saya (ini bayangan
liar yang hampir 100 persen hanya lamunan), andai Matt Jabrik terpilih sebagai
Walikota KK, setelah pelantikan, masih dengan uniform putih-putih dengan aneka lambang heran sebesar tatakan
cangkir di dada, bukan tak mungkin dia langsung menyandang gitar dan memainkan Nothing Else Matters-nya Metalica.
Kalau itu terjadi di kehidupan nyata, diundang atau tidak,
dipagari barisan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sekali pun, saya akan
menerobos dan ikut bergoyang. Bagi para penggemar rock dan metal, melewatkan
Metallica tergolong pelanggaran sangat serius.
Bayangan Walikota Bergitar (kurang lebih asosiasinya sama
dengan ‘’Satria Bergitar’’ ala Rhoma Irama), terus lalu-lalang di kepala saya
ketika membaca di beberapa situs berita bahwa Ahmad Ishak turut mendaftar
sebagai calon Walikota di PDI Perjuangan KK. Bila pun yang dia lakukan sekadar
olok-olok orang kurang kerjaan, saya memutuskan mendukung sepenuh hati.
Politik di negeri ini, khususnya di Mongondow, lebih khusus
lagi KK, hampir pasti dimaknai sebagai urusan maha serius, bahkan cenderung
menyeramkan. Kecuali Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar,
hampir seluruh politikus di Mongondow yang saya kenal, berubah jadi sosok yang
lain ketika berada di posisi elit atau berhasil menduduki jabatan publik
signifikan. Bukan hanya bersulih jadi ‘’jaim’’ dan di mana-mana terus memasang serius,
tapi juga dengan cepat berubah jadi monster dalam pengertian sebenarnya.
Saya hampir tidak pernah melihat (sekali lagi, kecuali Sehan
Lanjar) ada Bupati, Wakil Bupati (Wabup), Walikota atau Wawali di Mongondow
yang tertawa lepas dan bersikap sebagai manusia yang kita semua kenal selama
bertahun-tahun. Mereka sudah menjadi orang lain. Bupati Bolaang Mongondow
Selatan (Bolsel), Herson Mayulu yang juga sepupu saya, lebih mirip ustadz
ketimbang politikus; Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong), Salihi Mokodongan, yang
akhir-akhir gemar memajang foto-foto yang meniru gaya Presiden Soekarno; atau
Bupati Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Hamdan Datunsolang, yang diam-diam
menghanyutkan.
Bagaimana dengan Walikota KK, Djelantik Mokodompit? Yang
saya perhatikan, satu-satunya yang saya kenal persis yang tak berubah dari dia
adalah kebiasaan dusta dan tak tahu diri. Apalagi yang bisa dikomentari dari
seorang Walikota yang tidak segan-segan meminta dirinya dipilih kembali di
sembarang tempat, tak peduli itu pesta pernikahan, kedukaan, atau bahkan
sekadar kumpul-kumpul yang semestinya cukup diisi dengan omong kosong sosial
biasa?
Ahmad Ishak, tak pelak, menjadi lonceng yang mengingatkan
warga Mongondow, khususnya KK, bahwa politik dan politikus bukanlah
satu-satunya urusan yang jadi gantungan hidup-mati orang banyak. Dia juga
mewakili semangat mengingatkan Parpol dan pengurusnya di KK, bahwa di luar
nama-nama yang kini bersiliweran, banyak orang dan tokoh mumpuni yang mampu
menjadi pemimpin publik. Kalau pun mereka tak tampil ke permukaan (ini
sekaligus tafsir tambahan saya), lebih karena secara sistematis kita semua
memang menjadikan politik seolah-olah hanya terpusat pada sejumlah orang yang
ditokohkan.
***
Kegenitan Ahmad Ishak mengkampanyekan di sebagai calon Walikota
KK 2013-2018 boleh ditanggapi serius, halal pula dianggap sebagai sekadar
sinetron komedi-politik. Toh di
tengah pikuk pemilihan Walikota dan Wawali KK yang kini bagai laku bebek di
pagi hari, dia justru mungkin sedang asyik menyeruput kopi dan memainkan gitar
sembari cengar-cengir.
Sekali pun demikian, sebagai penggemar komedi, saya percaya
Matt Jabrik tetap calon Walikota KK 2013-2018.***