DI SAAT-SAAT
tertentu saya kerap mengingat-ngingat masa mahasiswa dengan penuh kangen. Rindu
juga berdiri di depan ribuan orang, pidato berbusa-busa, mengagitasi emosi,
mengutuk segala yang bisa diserapahi (terutama rezim yang berkuasa), lalu
berakhir di kantor polisi atau markas tentara.
Di masa itu pula, agar tak tampak dungu –aktivis yang mirip
beo biasanya jadi bahan ejekan—saya harus melahap banyak buku, sampai-sampai
saya lebih hafal letak buku di Perpustakaan Utama Universitas Sam Ratulangi
(Unsrat) dibanding jadwal kuliah. Supaya yang dibaca tak hanyut dibawa mimpi,
perlu ditabrakan dengan pemahaman dan realitas lain lewat diskusi, bahkan
debat.
Hanya dengan kepala tak kosong, dasar yang kokoh dan masuk
akal, ketika berhadapan dengan aparat berwenang karena dicokot habis memimpin
demonstrasi, saya diperlakukan dengan respek. Segalak-galaknya polisi atau
tentara yang menjemput, mereka menaruh hormat pada orang yang bisa menjelaskan
dengan baik alasan di balik aksi yang digelar.
Lebih penting lagi, harga diri tetap tegak, sebab tak ada
satu pun aparat yang kerap memasang wajah seram yang mencaci, melayangkan
bogem, atau mencemooh sebagai ‘’tong kosong nyaring bunyinya’’. Banyak di
antara mereka justru diam-diam membisikkan dukungan.
***
Rabu malam, 30 Januari 2013, di tengah-tengah keasikan
menyerapahi politik Indonesia yang kian bejat setelah membaca penetapan
anggota DPR RI yang diduga berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) –konon
katanya adalah Presiden PKS sendiri—sebagai tersangka kasus suap, saya menerima
pesan pendek (SMS) berisi caci maki dari nomor +6281242837380. Oh, rupanya ada
yang keberatan dengan tulisan Mongondow,
Provinsi, dan Mentalitas Aktivis yang saya unggah di blog ini pada Selasa, 29 Januari 2013.
Hebatnya lagi, pengirim SMS yang mengaku anggota Komite
Rakyat untuk Pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya (KRUPPBMR) itu, bukan hanya
tak terima dengan isi tulisan; tetapi juga mengancam akan mematahkan leher bila
saya berada di Kotamobagu.
Saya menggantikan kegeraman terhadap praktek politik di
negeri ini dengan tawa lebar. Lumayan menghibur penat setelah seharian
memelototi komputer. Saya hafal dengan jenis pengirim SMS tanpa nama seperti
ini: Biasanya pengecut dengan isi kepala seadanya, yang merasa demonstrasi
adalah kulminasi sikap heroik. Seolah-olah dengan dengan sekali demontrasi di
Bundaran Paris Superstore, membakar ban dan keranda dihiasi foto Gubernur
Sulut, SH Sarundajang, dia dengan paripurna telah menyelamatkan seluruh jiwa
raga orang Mongondow.
Yang mengherankan, berani betul pengirim SMS itu
mencatut-catut KRUPPBMR. Memangnya ini organisasi apa dan punya daya apa? Kalau
pun seluruh anggotanya (berapa banyak itu?) mau menyerbu kediaman saya, karena
tidak terima dengan isi tulisan (bagian mana yang jadi keberatan pun saya tak
tahu), lalu saya bakal diam saja?
***
Beberapa saat sebelum SMS acaman dan cacian itu berdatangan,
saya sempat berbicara di telepon cukup lama dengan salah seorang kandidat
master hukum asal Mongondow yang sedang studi S2 di Universitas Indonesia (UI).
Isunya tak lain tulisan Mongondow,
Provinsi, dan Mentalitas Aktivis, yang menurut dia tidak ditulis dengan
pemahaman komprehensif.
Karena bicara dengan calon master hukum, saya kemudian
menanyakan, ‘’Apakah sudah membaca dan memahami Undang-Undang (UU) Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78
Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan
Daerah?’’ Kalau belum, urusan lebih pendek lagi. Saya cukup menyarankan dia
membaca UU Nomor 32/2004 dan PP Nomor 78/2007, pasti setelahnya langit di atas
kepalanya akan terang-benderang.
Di UU dan PP itu jelas dinyatakan ada tiga syarat pemekaran
daerah (kabupaten, kota, atau provinsi), yaitu administratif, teknis, dan
fisik. Kalau disederhanakan, kurang lebih pendirian kabupaten, kota, atau
provinsi baru harus mengindahkan empat aspek: wilayah, penduduk, sumber daya
manusia (SDM), dan sumber daya ekonominya.
Apakah dari aspek paling normatif Panitia Pembentukan Provinsi
BMR sudah memenuhi seluruh syarat administratif, teknis, dan fisik di tingkat
wilayah Mongondow sesuai UU dan PP; sebelum naik ke leval provinsi induk untuk
mendapat rekomendasi Gubernur dan DPR Sulut? Yang paling sepele, misalnya urusan
wilayah, apa yang dikatakan oleh PP NO 78/2007?
Di Pasal 9 PP No 78/2007 disebutkan: (1) Cakupan wilayah pembentukan provinsi digambarkan
dalam peta wilayah calon provinsi. (2) Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan daftar
nama kabupaten/kota dan kecamatan yang menjadi cakupan calon provinsi serta
garis batas wilayah calon provinsi dan nama wilayah kabupaten/kota di provinsi
lain, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga yang berbatasan langsung
dengan calon provinsi. (3) Peta
wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat berdasarkan kaidah pemetaan yang
difasilitasi oleh lembaga teknis dan dikoordinasikan oleh Menteri.
Sampailah saya pada
substansi yang ingin dikemukakan: Apakah peta wilayah calon Provinsi BMR sudah
memenuhi kaidah UU No 32/2004 dan PP No 78/2007? Saya yakin tidak. Sudah
menjadi pengetahuan umum, hingga hari ini batas antara Kabupaten Bolaang
Mongondow Timur (Boltim) dan Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), masih
terkatung-katung karena kedua belah pihak belum mencapai kata sepakat.
Saya tidak akan
berpihak pada Gubernur Sulut SH Sarundajang. Tapi kalau Gubernur
menanda-tangani rekomendasi pembentukan Provinsi BMR tanpa peta wilayah yang
jelas, sama artinya dengan bodoh dia sengaja melawan UU dan PP. Apa boleh buat,
kalau itu terjadi, saya tidak segan –meminjam istilah Ahmad Ishak atawa Matt Jabrik yang calon Walikota Kota Kotamobagu 2013-2018— mengatakan
Gubernur Sulut tak beda dengan palo-palo
cendol.
Masalahnya adalah,
bagaimana menjelaskan ihwal sederhana ini pada saudara-saudara yang berhimpun
di KRUPPBMR, yang bahkan telah berencana bakal menggelar demonstrasi di Kantor
Gubernur dan Gedung DPR Sulut? Bahwa demonstrasi ke Mekkah atau Madina pun
percuma bila syarat-syarat pembentukan Provinsi BMR tidak dibereskan dari
tingkat wilayah dan orang Mongondow sendiri?
Jangan sampai kita
yang bodoh dan anarkis, lalu orang lain yang disalahkan. Sungguh tidak enak
harus menanggung malu lebih dari satu kali. Sama tidak enaknya dengan dicap
sebagai ‘’tong kosong’’ dan ‘’palo-palo cendol’’.***