Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, January 31, 2013

''Palo-Palo Cendol'' Provinsi BMR


DI SAAT-SAAT tertentu saya kerap mengingat-ngingat masa mahasiswa dengan penuh kangen. Rindu juga berdiri di depan ribuan orang, pidato berbusa-busa, mengagitasi emosi, mengutuk segala yang bisa diserapahi (terutama rezim yang berkuasa), lalu berakhir di kantor polisi atau markas tentara.

Di masa itu pula, agar tak tampak dungu –aktivis yang mirip beo biasanya jadi bahan ejekan—saya harus melahap banyak buku, sampai-sampai saya lebih hafal letak buku di Perpustakaan Utama Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) dibanding jadwal kuliah. Supaya yang dibaca tak hanyut dibawa mimpi, perlu ditabrakan dengan pemahaman dan realitas lain lewat diskusi, bahkan debat.

Hanya dengan kepala tak kosong, dasar yang kokoh dan masuk akal, ketika berhadapan dengan aparat berwenang karena dicokot habis memimpin demonstrasi, saya diperlakukan dengan respek. Segalak-galaknya polisi atau tentara yang menjemput, mereka menaruh hormat pada orang yang bisa menjelaskan dengan baik alasan di balik aksi yang digelar.

Lebih penting lagi, harga diri tetap tegak, sebab tak ada satu pun aparat yang kerap memasang wajah seram yang mencaci, melayangkan bogem, atau mencemooh sebagai ‘’tong kosong nyaring bunyinya’’. Banyak di antara mereka justru diam-diam membisikkan dukungan.

***

Rabu malam, 30 Januari 2013, di tengah-tengah keasikan menyerapahi politik Indonesia yang kian bejat setelah membaca penetapan anggota DPR RI yang diduga berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) –konon katanya adalah Presiden PKS sendiri—sebagai tersangka kasus suap, saya menerima pesan pendek (SMS) berisi caci maki dari nomor +6281242837380. Oh, rupanya ada yang keberatan dengan tulisan Mongondow, Provinsi, dan Mentalitas Aktivis yang saya unggah di blog ini pada Selasa, 29 Januari 2013.

Hebatnya lagi, pengirim SMS yang mengaku anggota Komite Rakyat untuk Pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya (KRUPPBMR) itu, bukan hanya tak terima dengan isi tulisan; tetapi juga mengancam akan mematahkan leher bila saya berada di Kotamobagu.

Saya menggantikan kegeraman terhadap praktek politik di negeri ini dengan tawa lebar. Lumayan menghibur penat setelah seharian memelototi komputer. Saya hafal dengan jenis pengirim SMS tanpa nama seperti ini: Biasanya pengecut dengan isi kepala seadanya, yang merasa demonstrasi adalah kulminasi sikap heroik. Seolah-olah dengan dengan sekali demontrasi di Bundaran Paris Superstore, membakar ban dan keranda dihiasi foto Gubernur Sulut, SH Sarundajang, dia dengan paripurna telah menyelamatkan seluruh jiwa raga orang Mongondow.

Yang mengherankan, berani betul pengirim SMS itu mencatut-catut KRUPPBMR. Memangnya ini organisasi apa dan punya daya apa? Kalau pun seluruh anggotanya (berapa banyak itu?) mau menyerbu kediaman saya, karena tidak terima dengan isi tulisan (bagian mana yang jadi keberatan pun saya tak tahu), lalu saya bakal diam saja?

***

Beberapa saat sebelum SMS acaman dan cacian itu berdatangan, saya sempat berbicara di telepon cukup lama dengan salah seorang kandidat master hukum asal Mongondow yang sedang studi S2 di Universitas Indonesia (UI). Isunya tak lain tulisan Mongondow, Provinsi, dan Mentalitas Aktivis, yang menurut dia tidak ditulis dengan pemahaman komprehensif.

Karena bicara dengan calon master hukum, saya kemudian menanyakan, ‘’Apakah sudah membaca dan memahami Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah?’’ Kalau belum, urusan lebih pendek lagi. Saya cukup menyarankan dia membaca UU Nomor 32/2004 dan PP Nomor 78/2007, pasti setelahnya langit di atas kepalanya akan terang-benderang.

Di UU dan PP itu jelas dinyatakan ada tiga syarat pemekaran daerah (kabupaten, kota, atau provinsi), yaitu administratif, teknis, dan fisik. Kalau disederhanakan, kurang lebih pendirian kabupaten, kota, atau provinsi baru harus mengindahkan empat aspek: wilayah, penduduk, sumber daya manusia (SDM), dan sumber daya ekonominya.

Apakah dari aspek paling normatif Panitia Pembentukan Provinsi BMR sudah memenuhi seluruh syarat administratif, teknis, dan fisik di tingkat wilayah Mongondow sesuai UU dan PP; sebelum naik ke leval provinsi induk untuk mendapat rekomendasi Gubernur dan DPR Sulut? Yang paling sepele, misalnya urusan wilayah, apa yang dikatakan oleh PP NO 78/2007?

Di Pasal 9 PP No 78/2007 disebutkan: (1) Cakupan wilayah pembentukan provinsi digambarkan dalam peta wilayah calon provinsi. (2) Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan daftar nama kabupaten/kota dan kecamatan yang menjadi cakupan calon provinsi serta garis batas wilayah calon provinsi dan nama wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga yang berbatasan langsung dengan calon provinsi. (3) Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat berdasarkan kaidah pemetaan yang difasilitasi oleh lembaga teknis dan dikoordinasikan oleh Menteri.

Sampailah saya pada substansi yang ingin dikemukakan: Apakah peta wilayah calon Provinsi BMR sudah memenuhi kaidah UU No 32/2004 dan PP No 78/2007? Saya yakin tidak. Sudah menjadi pengetahuan umum, hingga hari ini batas antara Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) dan Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), masih terkatung-katung karena kedua belah pihak belum mencapai kata sepakat.

Saya tidak akan berpihak pada Gubernur Sulut SH Sarundajang. Tapi kalau Gubernur menanda-tangani rekomendasi pembentukan Provinsi BMR tanpa peta wilayah yang jelas, sama artinya dengan bodoh dia sengaja melawan UU dan PP. Apa boleh buat, kalau itu terjadi, saya tidak segan –meminjam istilah Ahmad Ishak atawa Matt Jabrik yang calon Walikota Kota Kotamobagu 2013-2018— mengatakan Gubernur Sulut tak beda dengan palo-palo cendol.

Masalahnya adalah, bagaimana menjelaskan ihwal sederhana ini pada saudara-saudara yang berhimpun di KRUPPBMR, yang bahkan telah berencana bakal menggelar demonstrasi di Kantor Gubernur dan Gedung DPR Sulut? Bahwa demonstrasi ke Mekkah atau Madina pun percuma bila syarat-syarat pembentukan Provinsi BMR tidak dibereskan dari tingkat wilayah dan orang Mongondow sendiri?

Jangan sampai kita yang bodoh dan anarkis, lalu orang lain yang disalahkan. Sungguh tidak enak harus menanggung malu lebih dari satu kali. Sama tidak enaknya dengan dicap sebagai ‘’tong kosong’’ dan ‘’palo-palo cendol’’.***