PEMILIHAN Walikota
dan Wakil Walikota Kota Kotamobagu (Pilwako KK) sudah menggemuruh. Dari
kejauhan saya mengikuti keriuhan itu dengan kian tak berselera. Tak ada kejutan
(apalagi harapan) dari calon-calon yang digadang partai politik (Parpol),
demikian pula dengan praktek politik pencalonan yang ‘’jadul’’. Sungguh
ketinggalan zaman.
Sejauh ini calon-calon Walikota yang sudah pasti mendapatkan
tiket adalah patahana, Djelantik Mokodompit (Partai Golkar) dan Wakil Walikota
(Wawali), Tatong Bara (Partai Amanat Nasional). Selain itu, ada Ishak Sugeha
(yang berharap didukung Partai Demokrat), Jainuddin Damopolii (yang gagah
berani berniat independen), Muhammad Salim Lanjar (‘’katanya’’ bakal didukung
gabungan partai-partai), dan Rachmat Mokodongan (sebenarnya sangat ideal tapi
belum ketahuan sikapnya).
Terselip di antara para pemain besar itu, ada Andi Ladu
Manoppo yang mendadak menyebar selebaran kampanye di seantero KK dan Ahmad
Ishak (wartawan, tukang main gitar, yang lebih populer dikenal sebagai Matt
Jabrik) dengan slogan ‘’…. Matt Jabrik tetap calon Walikota KK 2013-2018).
Titik-titik di depan kutipan itu menunjukkan, apapun yang kita tambahkan, Matt
Jabrik tetap calon Walikota.
Silahkan mencantumkan ‘’Apapun minumannya….’’, ‘’Partai
Golkar menetapkan Djelantik Mokodompit sebagai Calon Walikota…’’ atau ‘’PAN
menetapkan Tatong Bara sebagai Calon Walikota….’’, hasilnya adalah: Matt Jabrik
tetap calon Walikota KK 2013-2018. Slogan yang nakal, kreatif, sekaligus tidak
tahu diri. Memangnya ada yang bakal memilih dia? Sekali pun begitu, I love you, Matt Jabrik!
Di luar itu, nama-nama lain yang beredar hanya menyasar
posisi calon Wawali. Ada Hairil Paputungan, Ir Taufiq Mokoginta, Nasrun Koto,
Benny Rhamdani, dan entah siapa lagi yang pekan-pekan ke depan ikut menceburkan
diri.
Saya salut terhadap orang-orang berani itu, utamanya mereka
yang selama ini nir-aktivitas politik.
Sama kagumnya terhadap politikus yang kendati berulang kali gagal, tetap
keras kepala dan yakin bakal mendulang sukses. Benny Rhamdani, misalnya, mencalonkan
diri sebagai calon wakil Kepala Daerah di wilayah Mongondow tampaknya sudah
menjadi salah satu obsesi besarnya.
Alhasil, menyambut Pilwako KK 2013 kita bisa menggolongkan
mereka yang sudah mengajukan namanya sebagai calon ke publik setidak dalam tiga
kategori: Pertama, politikus yang
memang menyiapkan diri (lepas dari alasan demi kejayaan pribadi atau hajat
hidup orang banyak), secara terencana –lewat Parpol-- memanjat kursi jabatan
publik dan politik tertinggi di KK seperti Djelantik Mokodompit, Tatong Bara,
atau Ishak Sugeha. Kedua, para
petualang yang menjadikan Pilwako sebagai modus. Entah untuk popularitas,
menggaruk keuntungan, atau sekadar megelus-elus ego. Dan ketiga, orang-orang yang dengan dungunya tak kuat menahan syawat
kekuasaan, yang tergoda jabatan politik dan aneka privilege yang menyertainya.
***
Selasa malam, 1 Januari 2013, di kediaman salah seorang
sepupu saya bereriungan dengan sejumlah orang, termasuk para aktivis muda
Bolmong. Setelah pembicaraan melantur kemana-mana, tiba-tiba topik berbelok ke
‘’todongan’’ yang mengandung marabahaya: Saya harus mencalonkan diri di Pilwako
KK, entah sebagai calon Walikota atau Wawali.
Waduh, saya bukan makluk tanpa keinginan dan ambisi. Tapi
mencalonkan diri di Pilwako KK bukan cuma butuh ambisi –yang mudah tergelincir
jadi tidak tahu diri. Sebagai orang yang dilahirkan di KK, sebagaimana warga masyarakat
yang lain, saya juga mengimpikan kota ini dipimpin orang yang tepat. Yang
memahami aspek-aspek substansial kebutuhan KK dan masyarakatnya; bekerja keras
demi mewujudkan kemaslahatan bersama; dan sedapat mungkin tetap bersahaja dan
layak jadi panutan.
Apakah saya cukup memenuhi syarat minimal dari tuntutan satu
jabatan publik dan politik seperti Walikota atau Wawali? Entahlah, tapi
setidaknya puluhan kepala yang hadir malam itu berkeyakinan saya kapabel.
Singkat cerita, diputuskanlah akan diproduksi baliho untuk mengkampanyekan
pancalonan saya. Orang-orang yang berkumpul hanya mensyaratkan ada foto yang
bagus sebagai pajangan pemanis.
Eh, setelah foto diserahkan, beberapa hari kemudian saya
mendapat informasi bahwa kualitas pixel-nya
terlalu rendah untuk dijadikan baliho ukuran jumbo. Untuk itu perlu foto baru, yang sampai hari ini belum pernah
saya serahkan. Menurut saya, dengan teknologi komputer saat ini, foto sebesar
di atas 3 mega bite lebih dari
memadai.
Namun foto yang tidak memenuhi syarat itu (diambil dengan
kamera digital profesional terbaru) menjadi isyarat yang saya arifi sebagai:
Ikhtiar mencalonkan diri sebagai apapun (Walikota atau Wawali) mesti ditimbang kembali
dengan saksama. Dengan kata lain, saya sebaiknya hanya menjadi bagian dari
keriuhan Pilwako KK sebagai supporter,
tukang tepuk tangan, dan syukur-syukur boleh mengejek serta mencaci para pemain
utamanya.
***
Saya tidak tahan tak mengejek Parpol yang membuka
pendaftaran calon Walikota dan Wawali dan sejumlah calon yang dengan bodohnya
mendaftar. Partai adalah wahana menyiapkan para politikus. Di dalam partai yang
sehat dan tahu fungsi yang dijalankan, ada tingkatan yang dilalui setiap orang
sebelum dia layak terhadap satu posisi atau jabatan politik.
Membuka pendaftaran calon Walikota atau Wawali menunjukkan
bahwa Parpol di KK (bahkan Indonesia umumnya) bukanlah institusi politik yang
sesungguhnya. Parpol menjadi tak beda dengan warung kelontong tempat di mana
orang –siapa pun itu—boleh datang dan membeli keperluan pribadinya. Prek dengan pengkaderan. Prek pula dengan segala ideologi,
slogan-slogan, dan janji terhadap mereka yang menjadi anggota atau kader.
Parpol yang membuka pendaftaraan calon Walikota atau Wawali
bukan hanya tidak punya kader (artinya mereka juga gagal menjalankan fungsi
Parpol), tetapi juga menjadi sekadar tukang jual kesempatan politik.
Sebaliknya orang-orang yang berombongan mendaftar sebagai
calon Walikota atau Wawali, padahal dia bukan kader (mungkin simpatisan pun
tidak), sungguh ambisius yang tak tahu diri.
Politik yang sehat di KK (Parpol yang benar, bila tak punya
kader, bukan membuka pendaftaran tapi menawarkan kesempatan bagi mereka yang
dianggap kapabel dan ideal) tampaknya masih jauh api dari panggang. Padahal, di
tingkat yang lebih tinggi praktek politik kita menunjukkan petanda membaik:
Calon pejabat teras publik dan politik yang tidak berasal dari Parpol (atau
bukan anggota Parpol bersangkutan) bukan lagi mendaftar, tetapi dipilih dan didekati,
seperti yang terakhir dicontohkan oleh Gerindra dengan memilih Ahok (saat itu
tercatat sebagai anggota DPR RI dari PG) sebagai calon Wakil Gubernur (Wagub) Jakarta;
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan meminta Deddy Mizwar menjadi calon Wagub
Jawa Barat (Jabar); atau PDI Perjuangan dengan mendaulat Teten Masduki juga
sebagai calon Wagub Jabar.
Melihat praktek pencalonan Walikota dan Wawali di Pilwako
KK, kita layak menyimpulkan apa yang sedang terjadi cuma jadi salah satu
petanda betapa akal sehat, akal budi, dan kecerdasan politik kebanyakan ini
masih ada di abad pertengahan.***