Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, January 30, 2013

Mengelus-Ngelus Obsesi di Pilwako KK


PEMILIHAN Walikota dan Wakil Walikota Kota Kotamobagu (Pilwako KK) sudah menggemuruh. Dari kejauhan saya mengikuti keriuhan itu dengan kian tak berselera. Tak ada kejutan (apalagi harapan) dari calon-calon yang digadang partai politik (Parpol), demikian pula dengan praktek politik pencalonan yang ‘’jadul’’. Sungguh ketinggalan zaman.

Sejauh ini calon-calon Walikota yang sudah pasti mendapatkan tiket adalah patahana, Djelantik Mokodompit (Partai Golkar) dan Wakil Walikota (Wawali), Tatong Bara (Partai Amanat Nasional). Selain itu, ada Ishak Sugeha (yang berharap didukung Partai Demokrat), Jainuddin Damopolii (yang gagah berani berniat independen), Muhammad Salim Lanjar (‘’katanya’’ bakal didukung gabungan partai-partai), dan Rachmat Mokodongan (sebenarnya sangat ideal tapi belum ketahuan sikapnya).

Terselip di antara para pemain besar itu, ada Andi Ladu Manoppo yang mendadak menyebar selebaran kampanye di seantero KK dan Ahmad Ishak (wartawan, tukang main gitar, yang lebih populer dikenal sebagai Matt Jabrik) dengan slogan ‘’…. Matt Jabrik tetap calon Walikota KK 2013-2018). Titik-titik di depan kutipan itu menunjukkan, apapun yang kita tambahkan, Matt Jabrik tetap calon Walikota.

Silahkan mencantumkan ‘’Apapun minumannya….’’, ‘’Partai Golkar menetapkan Djelantik Mokodompit sebagai Calon Walikota…’’ atau ‘’PAN menetapkan Tatong Bara sebagai Calon Walikota….’’, hasilnya adalah: Matt Jabrik tetap calon Walikota KK 2013-2018. Slogan yang nakal, kreatif, sekaligus tidak tahu diri. Memangnya ada yang bakal memilih dia? Sekali pun begitu, I love you, Matt Jabrik!

Di luar itu, nama-nama lain yang beredar hanya menyasar posisi calon Wawali. Ada Hairil Paputungan, Ir Taufiq Mokoginta, Nasrun Koto, Benny Rhamdani, dan entah siapa lagi yang pekan-pekan ke depan ikut menceburkan diri.

Saya salut terhadap orang-orang berani itu, utamanya mereka yang selama ini nir-aktivitas politik.  Sama kagumnya terhadap politikus yang kendati berulang kali gagal, tetap keras kepala dan yakin bakal mendulang sukses. Benny Rhamdani, misalnya, mencalonkan diri sebagai calon wakil Kepala Daerah di wilayah Mongondow tampaknya sudah menjadi salah satu obsesi besarnya.

Alhasil, menyambut Pilwako KK 2013 kita bisa menggolongkan mereka yang sudah mengajukan namanya sebagai calon ke publik setidak dalam tiga kategori: Pertama, politikus yang memang menyiapkan diri (lepas dari alasan demi kejayaan pribadi atau hajat hidup orang banyak), secara terencana –lewat Parpol-- memanjat kursi jabatan publik dan politik tertinggi di KK seperti Djelantik Mokodompit, Tatong Bara, atau Ishak Sugeha. Kedua, para petualang yang menjadikan Pilwako sebagai modus. Entah untuk popularitas, menggaruk keuntungan, atau sekadar megelus-elus ego. Dan ketiga, orang-orang yang dengan dungunya tak kuat menahan syawat kekuasaan, yang tergoda jabatan politik dan aneka privilege yang menyertainya.

***

Selasa malam, 1 Januari 2013, di kediaman salah seorang sepupu saya bereriungan dengan sejumlah orang, termasuk para aktivis muda Bolmong. Setelah pembicaraan melantur kemana-mana, tiba-tiba topik berbelok ke ‘’todongan’’ yang mengandung marabahaya: Saya harus mencalonkan diri di Pilwako KK, entah sebagai calon Walikota atau Wawali.

Waduh, saya bukan makluk tanpa keinginan dan ambisi. Tapi mencalonkan diri di Pilwako KK bukan cuma butuh ambisi –yang mudah tergelincir jadi tidak tahu diri. Sebagai orang yang dilahirkan di KK, sebagaimana warga masyarakat yang lain, saya juga mengimpikan kota ini dipimpin orang yang tepat. Yang memahami aspek-aspek substansial kebutuhan KK dan masyarakatnya; bekerja keras demi mewujudkan kemaslahatan bersama; dan sedapat mungkin tetap bersahaja dan layak jadi panutan.

Apakah saya cukup memenuhi syarat minimal dari tuntutan satu jabatan publik dan politik seperti Walikota atau Wawali? Entahlah, tapi setidaknya puluhan kepala yang hadir malam itu berkeyakinan saya kapabel. Singkat cerita, diputuskanlah akan diproduksi baliho untuk mengkampanyekan pancalonan saya. Orang-orang yang berkumpul hanya mensyaratkan ada foto yang bagus sebagai pajangan pemanis.

Eh, setelah foto diserahkan, beberapa hari kemudian saya mendapat informasi bahwa kualitas pixel-nya terlalu rendah untuk dijadikan baliho ukuran jumbo. Untuk itu perlu foto baru, yang sampai hari ini belum pernah saya serahkan. Menurut saya, dengan teknologi komputer saat ini, foto sebesar di atas 3 mega bite lebih dari memadai.

Namun foto yang tidak memenuhi syarat itu (diambil dengan kamera digital profesional terbaru) menjadi isyarat yang saya arifi sebagai: Ikhtiar mencalonkan diri sebagai apapun (Walikota atau Wawali) mesti ditimbang kembali dengan saksama. Dengan kata lain, saya sebaiknya hanya menjadi bagian dari keriuhan Pilwako KK sebagai supporter, tukang tepuk tangan, dan syukur-syukur boleh mengejek serta mencaci para pemain utamanya.

***

Saya tidak tahan tak mengejek Parpol yang membuka pendaftaran calon Walikota dan Wawali dan sejumlah calon yang dengan bodohnya mendaftar. Partai adalah wahana menyiapkan para politikus. Di dalam partai yang sehat dan tahu fungsi yang dijalankan, ada tingkatan yang dilalui setiap orang sebelum dia layak terhadap satu posisi atau jabatan politik.

Membuka pendaftaran calon Walikota atau Wawali menunjukkan bahwa Parpol di KK (bahkan Indonesia umumnya) bukanlah institusi politik yang sesungguhnya. Parpol menjadi tak beda dengan warung kelontong tempat di mana orang –siapa pun itu—boleh datang dan membeli keperluan pribadinya. Prek dengan pengkaderan. Prek pula dengan segala ideologi, slogan-slogan, dan janji terhadap mereka yang menjadi anggota atau kader.

Parpol yang membuka pendaftaraan calon Walikota atau Wawali bukan hanya tidak punya kader (artinya mereka juga gagal menjalankan fungsi Parpol), tetapi juga menjadi sekadar tukang jual kesempatan politik.

Sebaliknya orang-orang yang berombongan mendaftar sebagai calon Walikota atau Wawali, padahal dia bukan kader (mungkin simpatisan pun tidak), sungguh ambisius yang tak tahu diri.

Politik yang sehat di KK (Parpol yang benar, bila tak punya kader, bukan membuka pendaftaran tapi menawarkan kesempatan bagi mereka yang dianggap kapabel dan ideal) tampaknya masih jauh api dari panggang. Padahal, di tingkat yang lebih tinggi praktek politik kita menunjukkan petanda membaik: Calon pejabat teras publik dan politik yang tidak berasal dari Parpol (atau bukan anggota Parpol bersangkutan) bukan lagi mendaftar, tetapi dipilih dan didekati, seperti yang terakhir dicontohkan oleh Gerindra dengan memilih Ahok (saat itu tercatat sebagai anggota DPR RI dari PG) sebagai calon Wakil Gubernur (Wagub) Jakarta; Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan meminta Deddy Mizwar menjadi calon Wagub Jawa Barat (Jabar); atau PDI Perjuangan dengan mendaulat Teten Masduki juga sebagai calon Wagub Jabar.

Melihat praktek pencalonan Walikota dan Wawali di Pilwako KK, kita layak menyimpulkan apa yang sedang terjadi cuma jadi salah satu petanda betapa akal sehat, akal budi, dan kecerdasan politik kebanyakan ini masih ada di abad pertengahan.***