SURAT elektronik yang
sedang saya tulis, Selasa siang (29 Januari 2013), terpaksa diabaikan karena
telepon dari adik bungsu. Biasanya bila dia mengontak, kendati bukan hal
penting –sekadar berkeluh kesah tentang kenakalan anak-anaknya yang kian mirip
perusuh cilik--, sesibuk apapun saya pasti meladeni. Sudah bungsu, dia hanya pula
satu-satunya perempuan di antara kami kakak-beradik.
Tidak mengada-ada bila dia adalah ‘’biji mata’’ Ayah, Ibu,
dan kakak-kakaknya.
Tersentak saya karena begitu telepon menempel di telinga, omelan
pun bersemburan. ‘’Napa ada demonstrasi
deng orasi, kong dorang tahang samua ini oto plat merah. Masak urusan bagini ba
ganggu orang laeng pe karja!’’
Bagai semburan peluru senapan mesin, ba feto itu berlanjut, ‘’Kita
nyanda ada urusan dengan ini provinsi Bolaang Mongondow Raya mo jadi besok, taong
depan aau tempo apa. Kita pe urusan orang pe nyawa. Kalu kita terlambat
gara-gara ini demo kong orang pe nyawa ilang, apa ini orang-orang mo parduli?’’
Puji Tuhan, untunglah di depan si Bungsu (yang juga salah
seorang Kepala Puskesmas di Kota Kotamobagu) ada Jemmy Lantong, yang bukan
hanya teman akrab sejak masa kecil, melainkan (ini gurauan yang selalu saling
kami lontarkan) calon besan di masa depan. Anak tertua Jemmy perempuan, sedang
anak sulung saya laki-laki.
Telepon berpindah ke tangan Jemmy Lantong, yang langsung
saya mintai tolong agar membebaskan mobil si Bungsu (sebelum dia melanjutkan
racauannya, membuat panas kuping dan hati). Atas bantuan Jemmy dan pengertian
dari para pendemo, sakit kepala di siang hari tidak jadi menyerang batok. Saya
boleh kembali memelototi komputer, menyelesaikan surat elektronik yang beberapa
jenak terabaikan.
***
Lalu saya membaca di Kontra
Online (http://kontraonline.com/11133/kepulan-asap-hitam-warnai-aksi-demo-yang-dilakukan-oleh-kruppbmr/),
aksi yang digelar Komite Rayat untuk Pembentukan Provinsi Bolaang Mongondow Raya
(KRUPPBMR) di Bundaran Paris Superstore itu ternyata tak hanya di warnai
blokade terhadap kendaraan milik pemerintah, tetapi juga pembakaran ban bekas
dan keranda. Mendadak jidat terasa berat dan kuping berdenging: Apa hubungannya
membakar ban dan keranda dengan pembentukan provinsi? Bahkan, apa manfaatnya menggelar demo di Kota Kotamobagu, menahan kendaraan dari segala arah, demi
berkoar-koar tentang Provinsi BMR?
Mari kita perjelas: Siapa orang Mongondow, di seluruh daratan
yang masuk wilayah Bolaang Mongondow, yang menolak dibentuknya Provinsi BMR?
Kalau ada yang berani mengacungkan jari, saya (yang tidak punya peran apa-apa)
mengajukan diri di daftar nomor satu untuk menendang pantat yang bersangkutan. Biarlah
dia, otak, dan pantat bodohnya kita terbangkan ke laut.
Namun, saya juga mendaftar di urutan pertama untuk melakukan
hal yang sama terhadap orang-orang yang menjadikan isu Provinsi BMR sebagai
pelampiasan energi tak perlu. Sekadar makang
puji, sok jago biar dielu-elukan sebagai aktivis gagah berani. Lebih konyol
lagi, agar bisa bertindak anarkis dengan berlindung di balik kilahan demi
Provinsi BMR.
Di tengah semua orang yang bersetuju, apalagi pasal yang
harus diyakinkan? Mari kita generalisasi bahwa seluruh orang Mongondow setuju
membentuk Provinsi BMR (kalau tidak, ya, yang bersangkutan boleh angkat koper
dari Mongondow). Dengan demikian, yang mendesak diurus adalah kesiapan,
terutama syarat-syarat normatif, administratif, legal, dan politis dari
pembentukan provinsi itu.
Sudahkah orang-orang yang menggelar demonstrasi itu mengecek
ditahap mana aneka persyaratan itu majal? Bukankah ada segerombolan pintar,
bijak, dan ditokohkan telah didaulat berhimpun dalam sebuah panitia yang
mengurus hajat besar ini? Hebatnya, sejauh yang saya ikuti, mereka mendapat
dukungan penuh bukan hanya dari rakyat Mongondow, tetapi juga pemerintah dan
DPR empat kabupaten dan satu kota di BMR.
Kalau ternyata seluruh syarat itu ada yang mandeg di tangan
panitia, maka merekalah yang harus didemo. Artinya, orang-orang itu belum cukup
pintar, tak bijak betul, apalagi pantas menjadi tokoh, dan karenanya layak
didemo. Sebaliknya bila segalanya telah diurusi dengan benar, tapi tak didukung
Gubernur dan DPR Provinsi Sulut (sebagai provinsi induk), mari kita kerahkan
segala daya. Bila ratusan ribu orang Mongondow mendemo dan menduduki Kantor
Gubernur dan DPR Provinsi Sulut, saya yakin mereka bakal terbirit-birit
menanda-tangani dokumen apapun yang diperlukan demi pembentukan Provinsi BMR.
Membentuk provinsi, kabupaten, atau kota baru tak beda
dengan orang menikah. Mana bisa kita melarang orang yang kebelet menikah?
Dilarang pun, bila sudah saling cinta, segala daya bakal dikerahlan. Yang
paling bikin jengkel, ya, pasangan yang kadung dibuta-tulikan romansa memilih
kawin lari. Gubernur dan DPR Provinsi Sulut tentu tak ingin dicoreng wajahnya
dengan ulah ‘’kawin lari’’ Provinsi BMR.
Demo yang salah tempat, salah cara, sebagaimana yang
dipertontonkan oleh para aktivis yang terlampau bersemangat, menurut hemat saya
justru bakal mencoreng niat baik pembentukan Provinsi BMR. Alih-alih mendapat
dukungan, yang ada adalah antipati. Lagipula, siapa yang rela urusan penting
yang mesti dikejar terhambat hanya karena ada aktivis yang merasa penting
berdemo, pidato, mengblokade lalu lintas, lalu berpesta bakar ban dan keranda.
***
Merasa penting dan karenanya mementingkan show ketimbang substansi tampaknya
menjadi masalah mental yang perlu dikoreksi serius di Mongondow. Saya tidak
pernah merasa penting dan pantas dianggap penting. Itu sebabnya
tatkala beberapa orang dari KRUPPBMR mengontak (bahkan mengirim surat
elektronik) pada Kamis (24 Januari 2013), saya menyarankan agar mereka melihat
seluruh isu pembentukan Provinsi BMR dengan komprehensif.
Saya setuju, mendukung, dan menghormati dibentuknya sebuah
kelompok yang berperan sebagai control
and pressure group, yang mendukung panitia pembentuk provinsi dengan cara
berbeda. Tapi saya tidak sependapat bila kelompok itu memilih langkah yang
tidak cerdas. Membuat selebaran atau aksi, misalnya, harus diperhitungkan
sebagai tindakan memperkuat dukungan dan kepemilikan bersama. Bukan sebaliknya.
Sejujurnya, selebaran yang dikirimkan ke saya terlampau
melelahkan dibaca. Kampanye yang baik dan efektif tidak memerlukan banyak kata.
Satu-dua kata, satu-dua kalimat yang bernas, melebihi berlembar-lembar ocehan
tidak perlu. Tengok saja tagline
Obama di masa kampanyenya. Demikian pula, satu tindakan yang terorganisasi,
tepat sasaran, dan efektif, lebih bermakna dari cara tradisional yang
membuang-buang energi dan jauh dari subtansi.
Maka, dengan penuh hormat, saya menghimbau para aktivis
dengan energi menggelora di KRUPPBMR, bolehkah kita duduk dengan kepala dingin
merumuskan tindakan cerdas dan bermartabat yang pantas dilakukan demi
pembentukan Provinsi BMR? Aksi berlebihan yang tak perlu bukan hanya membuang
energi, menunjukkan kebodohan, melainkan juga dapat menggiring persepsi pada
konklusi: Provinsi BMR memang cuma euphoria,
bukan pilihan substantif yang bermartabat dan bertata-krama dari orang
Mongondow.***