Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, January 29, 2013

Mongondow, Provinsi, dan Mentalitas Aktivis


SURAT elektronik yang sedang saya tulis, Selasa siang (29 Januari 2013), terpaksa diabaikan karena telepon dari adik bungsu. Biasanya bila dia mengontak, kendati bukan hal penting –sekadar berkeluh kesah tentang kenakalan anak-anaknya yang kian mirip perusuh cilik--, sesibuk apapun saya pasti meladeni. Sudah bungsu, dia hanya pula satu-satunya perempuan di antara kami kakak-beradik.

Tidak mengada-ada bila dia adalah ‘’biji mata’’ Ayah, Ibu, dan kakak-kakaknya.

Tersentak saya karena begitu telepon menempel di telinga, omelan pun bersemburan. ‘’Napa ada demonstrasi deng orasi, kong dorang tahang samua ini oto plat merah. Masak urusan bagini ba ganggu orang laeng pe karja!’’

Bagai semburan peluru senapan mesin, ba feto itu berlanjut, ‘’Kita nyanda ada urusan dengan ini provinsi Bolaang Mongondow Raya mo jadi besok, taong depan aau tempo apa. Kita pe urusan orang pe nyawa. Kalu kita terlambat gara-gara ini demo kong orang pe nyawa ilang, apa ini orang-orang mo parduli?’’

Puji Tuhan, untunglah di depan si Bungsu (yang juga salah seorang Kepala Puskesmas di Kota Kotamobagu) ada Jemmy Lantong, yang bukan hanya teman akrab sejak masa kecil, melainkan (ini gurauan yang selalu saling kami lontarkan) calon besan di masa depan. Anak tertua Jemmy perempuan, sedang anak sulung saya laki-laki.

Telepon berpindah ke tangan Jemmy Lantong, yang langsung saya mintai tolong agar membebaskan mobil si Bungsu (sebelum dia melanjutkan racauannya, membuat panas kuping dan hati). Atas bantuan Jemmy dan pengertian dari para pendemo, sakit kepala di siang hari tidak jadi menyerang batok. Saya boleh kembali memelototi komputer, menyelesaikan surat elektronik yang beberapa jenak terabaikan.

***

Lalu saya membaca di Kontra Online (http://kontraonline.com/11133/kepulan-asap-hitam-warnai-aksi-demo-yang-dilakukan-oleh-kruppbmr/), aksi yang digelar Komite Rayat untuk Pembentukan Provinsi Bolaang Mongondow Raya (KRUPPBMR) di Bundaran Paris Superstore itu ternyata tak hanya di warnai blokade terhadap kendaraan milik pemerintah, tetapi juga pembakaran ban bekas dan keranda. Mendadak jidat terasa berat dan kuping berdenging: Apa hubungannya membakar ban dan keranda dengan pembentukan provinsi? Bahkan, apa manfaatnya menggelar demo di Kota Kotamobagu, menahan kendaraan dari segala arah, demi berkoar-koar tentang Provinsi BMR?

Mari kita perjelas: Siapa orang Mongondow, di seluruh daratan yang masuk wilayah Bolaang Mongondow, yang menolak dibentuknya Provinsi BMR? Kalau ada yang berani mengacungkan jari, saya (yang tidak punya peran apa-apa) mengajukan diri di daftar nomor satu untuk menendang pantat yang bersangkutan. Biarlah dia, otak, dan pantat bodohnya kita terbangkan ke laut.

Namun, saya juga mendaftar di urutan pertama untuk melakukan hal yang sama terhadap orang-orang yang menjadikan isu Provinsi BMR sebagai pelampiasan energi tak perlu. Sekadar makang puji, sok jago biar dielu-elukan sebagai aktivis gagah berani. Lebih konyol lagi, agar bisa bertindak anarkis dengan berlindung di balik kilahan demi Provinsi BMR.

Di tengah semua orang yang bersetuju, apalagi pasal yang harus diyakinkan? Mari kita generalisasi bahwa seluruh orang Mongondow setuju membentuk Provinsi BMR (kalau tidak, ya, yang bersangkutan boleh angkat koper dari Mongondow). Dengan demikian, yang mendesak diurus adalah kesiapan, terutama syarat-syarat normatif, administratif, legal, dan politis dari pembentukan provinsi itu.

Sudahkah orang-orang yang menggelar demonstrasi itu mengecek ditahap mana aneka persyaratan itu majal? Bukankah ada segerombolan pintar, bijak, dan ditokohkan telah didaulat berhimpun dalam sebuah panitia yang mengurus hajat besar ini? Hebatnya, sejauh yang saya ikuti, mereka mendapat dukungan penuh bukan hanya dari rakyat Mongondow, tetapi juga pemerintah dan DPR empat kabupaten dan satu kota di BMR.

Kalau ternyata seluruh syarat itu ada yang mandeg di tangan panitia, maka merekalah yang harus didemo. Artinya, orang-orang itu belum cukup pintar, tak bijak betul, apalagi pantas menjadi tokoh, dan karenanya layak didemo. Sebaliknya bila segalanya telah diurusi dengan benar, tapi tak didukung Gubernur dan DPR Provinsi Sulut (sebagai provinsi induk), mari kita kerahkan segala daya. Bila ratusan ribu orang Mongondow mendemo dan menduduki Kantor Gubernur dan DPR Provinsi Sulut, saya yakin mereka bakal terbirit-birit menanda-tangani dokumen apapun yang diperlukan demi pembentukan Provinsi BMR.

Membentuk provinsi, kabupaten, atau kota baru tak beda dengan orang menikah. Mana bisa kita melarang orang yang kebelet menikah? Dilarang pun, bila sudah saling cinta, segala daya bakal dikerahlan. Yang paling bikin jengkel, ya, pasangan yang kadung dibuta-tulikan romansa memilih kawin lari. Gubernur dan DPR Provinsi Sulut tentu tak ingin dicoreng wajahnya dengan ulah ‘’kawin lari’’ Provinsi BMR.

Demo yang salah tempat, salah cara, sebagaimana yang dipertontonkan oleh para aktivis yang terlampau bersemangat, menurut hemat saya justru bakal mencoreng niat baik pembentukan Provinsi BMR. Alih-alih mendapat dukungan, yang ada adalah antipati. Lagipula, siapa yang rela urusan penting yang mesti dikejar terhambat hanya karena ada aktivis yang merasa penting berdemo, pidato, mengblokade lalu lintas, lalu berpesta bakar ban dan keranda.

***

Merasa penting dan karenanya mementingkan show ketimbang substansi tampaknya menjadi masalah mental yang perlu dikoreksi serius di Mongondow. Saya tidak pernah merasa penting dan pantas dianggap penting. Itu sebabnya tatkala beberapa orang dari KRUPPBMR mengontak (bahkan mengirim surat elektronik) pada Kamis (24 Januari 2013), saya menyarankan agar mereka melihat seluruh isu pembentukan Provinsi BMR dengan komprehensif.

Saya setuju, mendukung, dan menghormati dibentuknya sebuah kelompok yang berperan sebagai control and pressure group, yang mendukung panitia pembentuk provinsi dengan cara berbeda. Tapi saya tidak sependapat bila kelompok itu memilih langkah yang tidak cerdas. Membuat selebaran atau aksi, misalnya, harus diperhitungkan sebagai tindakan memperkuat dukungan dan kepemilikan bersama. Bukan sebaliknya.

Sejujurnya, selebaran yang dikirimkan ke saya terlampau melelahkan dibaca. Kampanye yang baik dan efektif tidak memerlukan banyak kata. Satu-dua kata, satu-dua kalimat yang bernas, melebihi berlembar-lembar ocehan tidak perlu. Tengok saja tagline Obama di masa kampanyenya. Demikian pula, satu tindakan yang terorganisasi, tepat sasaran, dan efektif, lebih bermakna dari cara tradisional yang membuang-buang energi dan jauh dari subtansi.

Maka, dengan penuh hormat, saya menghimbau para aktivis dengan energi menggelora di KRUPPBMR, bolehkah kita duduk dengan kepala dingin merumuskan tindakan cerdas dan bermartabat yang pantas dilakukan demi pembentukan Provinsi BMR? Aksi berlebihan yang tak perlu bukan hanya membuang energi, menunjukkan kebodohan, melainkan juga dapat menggiring persepsi pada konklusi: Provinsi BMR memang cuma euphoria, bukan pilihan substantif yang bermartabat dan bertata-krama dari orang Mongondow.***