KABAR itu datang
tak lama setelah saya mengunggah Ulang
Tahun dan Waspada ‘’Ba Aceng-Aceng Sadiki’’. Sang pembawa kisah
menginformasikan Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu,
marah dan maraju karena pada Minggu,
16 Desember 2012, tak satu pun jajaran di sekitarnya yang ingat (apalagi
mengucapkan syukur) dua tahun kepemimpinannya sebagai Bupati.
Ya, ampun, saya pun baru sadar bahwa hari itu Herson Mayulu
dan (almarhum) Samir Badu memang genap berusia dua tahun dilantik sebagai
Bupati dan Wakil bupati (Wagub) Bolsel. Betapa cepat waktu berlalu.
Nubuat marah dan maraju
ini kian dramatis karena satu-satunya orang yang mengingat ulang tahun
pemerintahan Bupati Herson Mayulu (sebagai kerabat dan –orang yang
merasa—kawannya saya menyapa dengan ‘’Oku’’ atau ‘’Ama’ i Feni’’) hanyalah Hud
Gobel. Dengan hormat saya menyampaikan salut pada Hud Gobel, staf penata
peralatan di Pemkab Bolsel, atas ingatan tajam, simpati, dan empatinya.
Manusiawi dan harus dimahfumi bila Oku kecewa dengan memori pendek
orang-orang di sekitarnya. Saya membayangkan hari itu, sejak subuh dia terjaga
(walau tak mengharap) menunggu surprise
atau minimal ucapan selamat dua tahun jadi Bupati dari jajaran di bawahnya (kendati
mungkin sekadar basa-basi yang umum dipertontonkan para birokrat terhadap
atasan mereka).
Yang ada adalah Ahad panjang yang dijeda ketakziman seorang
Hud Gobel. Lalu hari berlalu begitu saja.
Andai penilaian terhadap promosi seorang staf birokrasi
sefleksibel sektor swasta, dengan berani saya mengusulkan kenaikan pangkat dan
jabatan khusus untuk Hud Gobel. Minimal dia menunjukkan loyalitas (walau itu personal)
dan keawasan terhadap kepentingan atasannya.
Kalau di daerah lain di Bolaang Mongondow (Bolmong) Raya
Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bahkan sukarela berbondong terbang
keluar daerah hanya untuk merayakan hari ulang tahun (HUT) putri Walikota, masak
momen sepenting dua tahun masa jabatan dilupakan begitu saja. Halooo…, mereka
duduk di jabatannya karena Oku menjabat sebagai Bupati. Bila bukan dia, mungkin
karir para Kepala SKPD itu juga berbelok ke arah yang berbeda dari sekarang.
Saya membayangkan perasaan sepi dan sendiri seperti apa yang
mengecamuk Oku saat itu. Dan kesepian seorang penguasa (bukankah Bupati adalah
sosok tertinggi di daerahnya) lebih menyakitkan dari rasa yang sama yang
mendera kita, orang kebanyakan.
Mereka yang akrab dengan karya sastra Amerika Latin dan
pernah membaca Gabriel Garcia Marquez dengan segera bisa megingat salah satu
karya terbaiknya, The Autumn of the
Patriarch (1975), dan mengontekskan pada kekuasaan dan kesepian. Kesepian
seorang penguasa berlipat kali lebih berat dibanding memikul kekuasaan itu
sendiri.
Hiburan yang sering saya dengar mengatakan, ‘’Sabar. Belum
ada orang yang meninggal karena sabar.’’ Mungkin karena koran dan media tidak
pernah menyiarkan ada orang yang mati karena sabar, hingga kata-kata seperti
ini dianggap memiliki tuah. Beda dengan sepi dan sendiri, yang dalam banyak
penelitian kesehatan, terbukti bisa mendorong orang memperpendek umur. Post power syndrome adalah salah satu
varian dari ‘’rasa sepi dan sendiri; atau kehilangan’’ itu.
Tanpa memihak Oku, menurut hemat saya, ulang tahun
pemerintahan bagi seorang Bupati (sebagai kepala Daerah) adalah momentum
penting yang semestinya dimanfaatkan sebaik-baiknya. Pertama, dia mengevaluasi sejauh mana efektivitas, efisiensi dan
tepat gunanya arahan, putusan, dan kebijakan yang diambil. Kedua, mengevaluasi jajaran di bawahnya, yang telah membantu
pelaksanaan tanggungjawabnya sebagai pemimpin. Tiga, peringatan bahwa waktu terus berjalan dan kian pendek untuk
membuktikan visi dan misi yang dijanjikan saat terpilih.
Kilahan bahwa ulang tahun pemerintahan Oku sebagai Bupati
Bolsel jatuh di hari Minggu, boleh jadi alasan yang agak masuk akal. Kendati
dalih ini cukup didebat dengan kalimat pendek: Memangnya di Ahad seorang Kepala
SKPD turun pangkat jadi staf? Memangnya pula di Ahad segala fasilitas
(birokrasi) dan wewenang yang ada di tangannya dilucuti?
Apa boleh buat, momentum penting itu terlewatkan. Saya tidak
heran, di akhir tahun Kepala SKPD biasanya mendadak sibuk. Kesibukan yang
sebenarnya tidak perlu bila sepanjang tahun mereka bekerja dengan benar dan
profesional. Mengurusi surat perintah perjalanan dinas (SPPD) atau kemana sisa
anggaran harus dialokasikan, sungguh tidak perlu bila good governance benar-benar dipaktekkan.
Drama lupa itu belum berakhir. Selasa malam (18 Desember 2012)
serial hikayat ini tiba di telepon genggam saya. Entah karena merasa bersalah,
kata sahibul cerita, dipimpin salah seorang Asisten, para Kepala SKPD
menyiapkan doa syukur (tentu lengkap dengan makan-makannya) memperingati dua
tahun kepemimpinan Bupati. Sedianya mintahang ini dilaksanakan di Rumah
Dinas(Rudis) Bupati (lama) di Molibagu. Tersebab Bupati kadung jengkel, (saya
tidak tahu dengan alasan apa, karena lupa ditanyakan ke si pembawa info)
rencana syukuran itu kemudian dipindahkan ke Rudis (baru) di Pinolosian.
Tampaknya para inisiator acara syukuran itu memegang teguh
prinsip: Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Mereka lupa,
kejengkelan yang dipupuk tak lebih dari menabur garam dan asam jeruk di atas
luka yang masih segar.
Lucunya, syukuran kepemimpinan Bupati itu justru tak
dihadiri Oku. Kata sang pengabar, Bupati yang tiba menjelang malam di Rudis
dari perayaan Natal di Pinolosian Timur, melaksanakan sholat Magrib, dan
setelah itu bersigegas ke Posigadan untuk acara lain yang sudah dijadwalkan.
Akan halnya syukuran dimaksud, terus berlangsung lengkap dengan aneka hidangan.
Yang lupa saya tanyakan, apakah pula ‘’kuah asang kepala
ikan’’ turut disajikan dalam syukuran tersebut? Saya yakin menu penggoda liur
ini layak mewakili perasaan Bupati Herson Mayulu.***