MERAYAKAN hari ulang
tahun (HUT) hampir tak pernah tercatat di jadwal saya.
Lahir dari keluarga yang cukup tapi tak berlebihan, sejak
masa kanak kami kakak-beradik merayakan HUT dengan mintahang. Itu pun kerap dikaitkan dengan kepentingan lain: Mintahang lulus sekolah atau mintahang menjelang Ramadhan.
Saya baru mengenal perayaan HUT setelah menikah dan punya
anak. Itu pun bukan untuk diri sendiri. Mula-mulanya ide itu muncul dari istri
dan adik-adik. Niatnya sekadar lucu-lucuan dan supaya ada alasan menggelar
makan-minum sembari berbual-bual. Tak kurang penting, memuaskan naluri ibu-ibu
mengurusi printilan goody bag untuk para bocah. Bagi istri,
adik ipar, dan adik perempuan saya, belanja permen, kue, mainan dan asesoris goody bag membawa kenikmatan sendiri.
Ketika anak-anak tumbuh melewati balita (bawah lima tahun),
perayaan HUT kian ringkas. Cukup berpesta di mall atau restoran cepat saji.
Yang ber-HUT, undangan, dan para orangtua tinggal hadir dan duduk manis.
Segala sesuatu sudah tersedia, lengkap dengan badut dan master of ceremony (MC) handal (yang kelasnya tergantung seberapa dalam
Ayah-Ibu merogoh kantong).
Beda generasi, beda ekspresi. Satu saat saya pernah
mengomentari perayaan HUT anak kedua, yang dia inginkan digelar di restoran
cepat saji, sebagai sesuatu yang tidak saya kenal di masa kanak. Jawaban
berandal kecil itu adalah: ‘’Masa kecil Papa kan teve saja masih hitam putih. Mall belum ada. Jadi mana bisa
bergaya.’’
Gaya, di dunia kini, memang penting. Maka saya mencoba tidak
heran ketika membaca ada anak Walikota di Mongondow yang ber-HUT sembari
mengundang grup musik pujaan remaja (tentu dengan honor se-ho oh besarnya).
Saya berpayah-payah mahfum pula kalau mendadak di hari kerja hampir seluruh
Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tiba-tiba raib karena menghadiri
perayaan HUT anak atasan mereka di Jakarta, seperti dilansir Beritamanado.Com, Senin, 10 Desember
2012 lalu (http://beritamanado.com/totabuan/puluhan-kepala-skpd-kotamobagu-hilang/146120/).
Padahal semestinya apa yang dilakukan para Kepala SKPD itu,
bahkan untuk standar normatif, cukup memalukan. Mirip bocah yang rela
meraung-raung dan mengepel lantai dengan bokong andai tidak diijinkan
menghadiri HUT kawannya. Tidak adakah alasan yang lebih bermartabat daripada
meninggalkan tanggungjawab melayani orang banyak demi HUT anak atasan?
Membayangkan orang-orang dewasa bertingkah seperti itu, saya
teringat kilahan lain anak kedua tatkala saya memprotes keinginannya
menghadirkan seorang pesohor sebagai MC di HUT-nya. Katanya, ‘’Ya, HUT Papa kan
memang cukup dengan baca doa. Papa kan anak pegawai negeri. Saya anak manajer
di perusahaan multi nasional.’’
Waduh, kebas mulut ini. Anak-anak modern memang punya seribu
akal dan jutaan dalil. Sama dengan politikus dan birokrat yang kian piawai
bersiasat. Kalau pun ada yang bersoal tentang terbang bergerombol di hari kerja
demi HUT anak Walikota, jawaban mereka tak jauh dari: ‘Sebagai Kepala SKPD kami
loyal pada atasan (tidak jelas definisi atasan di sini, apakah ayah si ahlul HUT atau yang ber-HUT).’’ Atau,
‘’Menghadiri HUT bukanlah pelanggaran. Justru demi membangun tali
silaturrahim.’’
***
Sungguh saya tidak anti budaya HUT. Tidak pula sungkan
mengucap atau menghadiri perayaannya (kendati kemudian diam-diam menyelinap
pulang karena sudah sejak lama saya mengindap phobia bersuka-ria di tengah
kebisingan), terlebih terhadap orang-orang yang menjadi sahabat atau saya kenal
baik. Mengingat dan (minimal) mengucapkan selamat HUT adalah ekspresi simpati
dan empati.
Terlebih, sebagai pemeluk Islam, saya tahu persis (seperti
pula kutipan-kutipan yang kerap di-broad
cast di jaringan BlackBerry Message),
bahwa: Di setiap HUT dunia pelan-pelan meninggalkan, sebaliknya akhirat terus
mendekat.
Senin, 17 Desember 2012, saya mengirim selamat HUT dan doa
untuk Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar. Saya tidak
menuliskan HUT ke berapa, sebab untuk kaum pria tampaknya momen yang selalu
diingat adalah usia 7, 12 (saat akil baliq), 17, 21 dan syukur-syukur 70 tahun.
Jadi buat Eyang (demikian dia akrab disapa), ‘’Selamat HUT ke 21.’’ Usia kami
tidak terpaut terlampau jauh, karena saya sendiri baru menginjak 18 tahun.
Eyang sedang berada di usia puncak, energik, produktif, dan Alhamdulillah duduk di kursi Bupati.
Tentu tak perlu puja-puji, sebab tak ada manusia yang sempurna. Sebagai Bupati
pun dia perlu dikritik, semisal dalam pengelolaan keuangan Boltim yang dua
tahun terakhir disclaimer, kasus
operasi tambang biji besi di Paret yang rusuh (sementara Eyang menjanjikan akan
mencabut izinnya –yang kabarnya hinggak kini tak ketahuan rimbanya), dan aneka
isu lain yang membuat langit politik Boltim gemerlap.
Namun sebagai pribadi saya respek, menghormati, dan
menyayangi Eyang. Dia adalah salah satu dari sangat sedikit politikus yang
menjadi pejabat publik yang tak surut dalam perkawanan hangat dan apa adanya.
Eyang tetap manusia dengan kecerdasan, kecerdikan, trik dan (kerap) perilaku komikalnya
--perpaduan antara Abunawas dan Nasrudin
Hoja. Dia juga tidak alergi terhadap kritik dan caci. Paling-paling dengan tawa
lebar dia berkilah, ‘’Jang bagitu kua’.
Bupati ini….’’
Lalu adakah yang harus diingatkan pada Eyang di momen istimewa
ini? Saya ingin mengutip pernyataan dari istrinya (oleh kalangan dekat disapa
‘’Umi’’), yang berasal dari BlackBerry
Message seorang kawan. Mengomentari
Eyang di usia matangnya, Umi bilang, ‘’Eyang
itu romantis skali, maar so mulai ba aceng-aceng sadiki.’’
Aceng-aceng? Ini kata yang sama sekali tak saya kenal, yang
setelah beberapa penjelasan barulah terang-benderan. Yang dimaksud dengan ‘’ba
aceng-aceng sadiki’’ itu merujuk pada kelakuan Bupati Garut, Aceng Fikri, yang
kini jadi mega isu gara-gara (konon) sukses marathon menikahi delapan
perempuan, satu di antaranya bahkan dicerai hanya dalam hitungan empat hari.
Kata-kata Umi cocok dipadankan dengan pernyataan yang
berulang kali saya dengar dari Eyang, bahwa, ‘’Kita nyanda tako dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Maar kita
tako skali dengan KUA (Kantor Urusan Agama).’’ Dengan kata lain, untuk
urusan korupsi (Insya Allah) Eyang tahu dia siap membentengi diri. Lain soal
dengan ‘’ba aceng-aceng sadiki’’ yang tampaknya dia sadari setiap saat
mengintai bagai demit.
Selamat HUT, Eyang. Waspadalah pada ‘’ba aceng-aceng sadiki’’
itu. Doa kami bersamamu dan keluarga.***