Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, October 3, 2016

Utang, Piutang, Media, dan Kandang Tuyul

PEMBERITAAN Koran Manado, Jumat, 30 September 2016, membuat saya melongo. Headline yang dipampang, Jagoan Golkar Diterpa Piutang Rp 9,6 Miliar, provokatif dan mengundang keingintahuan, utamanya buat warga BMR umumnya dan Kabupaten Bolmong khususnya. Terlebih ilustrasi yang dipanjang bergambar wajah bakal kontestan Pilkada Bolmong 2017, masing-masing Cawabup Yani Tuuk, Cabup Yasti Soepredjo Mokoagow, dan Cabup--sekaligus petahana--Salihi B. Mokodongan.

Begitu membaca isi berita, saya tak urung terbahak-bahak. Rupanya wartawan yang menulis dan redaktur yang memeriksa (juga seluruh jajaran redaksi koran ini mengingat beritanya adalah headline halaman utama) tidak punya kamus bahasa Indonesia. Atau mereka menjadi wartawan dari belajar menulis kupon togel dan luput mencari tahu beda definisi ''utang'' (hutang) dan ''piutang''.

Jika dibaca dengan teliti, pembaca koran komplak itu bakal menemukan, bahwa salah satu bakal kontestan Pilkada Bolmong 2017 sedang menghadapi gugatan perdata soal utang-piutang. Artinya: dia berutang (meminjam uang pada seseorang, sekelompok orang, lembaga, atau institusi) dan yang punya piutang (yang meminjamkan) sudah memperkarakan ke pengadilan. Karena duduk soalnya demikian, maka judul yang tepat seharusnya Jagoan Golkar Diterpa Utang Rp 9,6 Miliar. Kalau ragu dengan penjelasan singkat ini, googling saja http://kbbi.web.id/piutang.

Lagi pula, isu utang-piutang salah satu kandidat itu sebelumnya sudah mengemuka ke publik karena publikasi totabuan.co, Selasa, 27 September 2016, Salihi Digugat Perdata Terkait Utang (http://totabuan.co/2016/09/salihi-digugat-perdata-terkait-utang/). Demi berjaga-jaga jangan sampai cuma memamah dan termakan bisik-bisik, saya bahkan sempat membuka SIPP PN Kotamobagu dan menemukan memang ada gugatan perdata yang terkait dengan salah satu bakal calon Pilkada Bolmong.

Itu sebabnya, sungguh menggelikan berita utama Koran Manado itu. Dungu betul semua yang terlibat dalam sistem dan alur kerja di ruang berita media ini. Tetapi, dengan memahami perkembangan media yang booming sejak tumbangnya Orba, saya sama sekali tidak terkejut. Kini, menjadi wartawan gampang belaka. Membuat media pun enteng saja. Yang mulanya sekadar tukang komentar dan nyinyir di facebook, bisa banting setir bikin media online dan mendapuk dirinya jadi Pemred.

Pokoknya, jurnalis--sebagai profesi ''pilar keempat'' demokrasi--yang dulunya memerlukan proses panjang dan setahap demi setahap (mulai dari Carep dan seterusnya)--kini bisa diringkas bahkan hanya dalam beberapa jam. Hasilnya? Persetan dengan kualitas. Tak peduli yang yang ditulis compang-camping; tak jelas ujung-pangkal, buah dan batang; tak genah bahkan sekadar penempatan titik dan koma, yang penting ''saya wartawan'' dan punya media.

Sudah dungu, umumnya media dan pewartanya (apalagi di BMR) juga keras kepala dengan gengsi setinggi langit. Coba-coba saja mengoreksi kesalahan yang dilakukan media, paling minim Anda akan dapat  sinisme, ''Kiapa so, ngana pe media? Jang baca noh.'' Tak beda dengan bertanya pada pemabuk yang terjerambab dalam selokan dan mendapat bentakan, ''Ngana pe got so ini?'' 

Dulu, yang belum lama berlalu, karena pernah sedikit-sedikit belajar dan praktek sebagai jurnalis, saya--khususnya terhadap para wartawan dan penggiat media di Kotamobagu--suka menyampaikan kirik, koreksi, atau bahkan cuma tonte'ek. Bukan untuk tunjung jago, tetapi ikhtiar belajar bersama. Belakangan, kebiasaan itu saya lakukan hanya untuk kalangan tertentu pewarta, yang saya tahu masih tetap memiliki semangat dan keinginan meningkatkan pengetahuan, kompetensi, dan keterampilannya.

Saya tidak tahu Koran Manado ini adalah media sejenis apa. Serupa penganut ''anjing menggonggong kafilah tetap berlalu'' atau yang gelisah terhadap profesionalisme dan kompetensi, hingga tidak segan dan malu mengakui kesalahan, mengoreksi, dan meminta maaf pada pembacanya. Koran ini, dengan kekeliruan tingkat dewa yang dibuat, berhutang maaf pada pembacanya--utamanya mereka yang membeli dan berlanganan.

Di hiruk-pikuk Pilkada Bolmong, kita harus mengakui, media punya peran yang luar biasa signifikan. Misalnya, mendidik pembacanya tentang demokrasi yang sebenar-benarnya. Tentu karena media bukanlah institusi atau lembaga pendidikan, kita juga pasti menolak ''digurui'' oleh para jurnalis yang pengetahuannya bisa jadi  juga kapiran saja. Tetapi, setidaknya dengan menulis sesuai dengan panduan paling dasar jurnalistik, didukung disiplin check, recheck, dan balance, pembaca bolehlah memetik ''sesuatu'' dari tiap publikasi yang dilansir media.

Beberapa waktu terakhir ini saya kerap merindukan pemberitaan media yang tidak sekadar snap shot--yang tiap hari taburannya (terutama) di facebook dan twitter tak terkira lagi. Ketika gong Pilkada Bolmong 2017 dimulai, saya rajin menyimak media (cetak dan online) Sulut dan BMR, mengamati apakah para pewarta telah berubah dari sekadar ikut meramaikan dengan menangkap isu permukaan, parsial, ikut arus, atau--yang terburuk--wadah iklan dan kampanye kandidat, menjadi sejatinya salah satu dari empat pilar demokrasi.

Orang banyak berhak tahu kepentingannya, termasuk apa-siapa-bagaimana-seperti apa-dan mau bagaimana kandidat yang mereka pilih. Pemberitaan semacam utang (atau piutang kandidat), keabsahan ijazah pendidikan formalnya, rekam jejak komitmen politik dan implementasinya (termasuk juga partai pengusung), jika sekadar news at a glance mudah tergelincir dan diterjemahkan sebagai pemihakan media dan jurnalisnya, bahkan kampanye hitam. Berita-berita ini memerlukan disiplin peliputan dan penulisan yang ketat, yang menjaga informasi di dalamnya tetap jernih dan fair.

Sama halnya dengan meruyaknya berita-berita seperti dugaan tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan uang negera di bawah masa kepemimpinan Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016. Di satu sisi masyarakat Bolmong harus mengapresiasi pemberitaan itu sebagai bagian dari bekerjanya fungsi kontrol media. Di lain pihak, kita juga patut mempertanyakan: apa sih yang dikerjakan oleh para pewarta selama ini hingga baru sekarang mereka kelihatan bersemangat dan tiba-tiba menemukan banyak isu kepentingan publik yang layak dihidangkan pada para pembaca?

Setelah lima tahun yang nyaris tenang, aman, damai, dan tenteram, mendadak warga Bolmong dibanjiri pemberitaan, misalnya, puluhan mobnas bertahun-tahun bodong tanpa dokumen legal atau miliaran dana APBD diam-diam menguap dijarah ASN bajingan. Apakah pemberitaan-pemberitaan mendadak-sontak seperti itu menunjukkan profesionalisme dan tanggung jawab kerja media dan wartawan? Apalagi tanpa lebih jauh mengungkap latar setiap isu yang disiarkan.

Sekali pun demikian, saya masih menyimpan harapan besar sepanjang proses pelaksanaan Pilkada Bolmong 2017, bahwa media dan wartawannya memainkan peran yang lebih profesional, substantif, fair, dan mendorong masyarakat mampu memaknai demokrasi dan menemukan pemimpin yang tepat. Tapi kalau media dan para jurnalis ternyata hanya tetap berpiuh-piuh dengan urusan utang dan piutang pecitraan kandidat, pendapat saya: kok jadi tidak ada bedanya media dan kandang tuyul, ya?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Cabup: Calon Bupati; Carep: Calon Reporter; Cawabup: Calon Wakil Bupati; Mobnas: Mobil Dinas; Orba: Orde Baru; Pemred: Pemimpin Redaksi; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; PN: Pengadilan Negeri; SIPP: Sistem Informasi Penelusuran Perkara; Sulut: Sulawesi Utara; Togel: Toto Gelap; dan Wabup: Wakil Gubernur.