Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, October 22, 2016

Wartawan Gagal Paham dan ''Si Bodoh yang Sok Tahu''

DUGAAN pelecehan profesi wartawan oleh Olden Wein Kakalang, yang berpinak dilaporkannya saya atas dugaan pencemaran nama baik ke Polres Bolmong oleh Ketua PWI KK, Audy Kerap, tampaknya mulai tak lucu lagi. Pemberitaan tiga situs berita, Jumat, 21 Oktober 2016, berkenaan dengan isu ini membuktikan memang ada (jumlahnya tak sedikit) wartawan yang dungunya minta ampun dan situs berita yang dikelola seperti selebaran gelap di BMR.

Tersebab saya sudah capek mengajari mereka yang mengaku wartawan tapi ternyata berotak tumpul, pembaca silakan simak dan nilai sendiri publikasi di detotabuan.com (http://detotabuan.com/2016/10/21/pemilik-blog-kronik-mongondow-dilaporkan-ke-mapolres-bolmong/), bmrpost.com (http://www.bmrpost.com/2016/10/pemilik-blog-kronik-mongondow-dipolisikan/), dan kotamobagupost.com (http://kotamobagupost.com/2016/10/21/pemilik-situs-kronik-mongondow-resmi-terlapor-di-polres-bolmong/). Timbangan yang digunakan cukup tiga: UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Pedoman Penyiaran Media Siber dari Dewan pers.

Apabila telah selesai dengan publikasi itu, lanjutkan dengan dua unggahan berita yang lain, detotabuan.com (http://detotabuan.com/2016/10/21/kawal-laporan-di-mapolres-bolmong-audie-kerap-gandeng-2-pengacara/) dan kotamobagupost.com (http://kotamobagupost.com/2016/10/21/dugaan-kejahatan-media-ciber-audie-kerap-gandeng-2-pengacara/).

Lima berita itu adalah contoh nyata bagaimana Pasal 1, 2, dan 3 Kode Etik Jurnalistik serta poin 2 Pendoman Penyiaran Media Siber sama sekali tidak dianggap. Bagaimana mungkin penulisnya pantas disebut wartawan dan situs yang mempublikasi adalah ''media siber''  jika konfirmasi pada obyek utama berita tidak dilakukan? Tidak pula ada penjelasan kepada pembaca, bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan ini, (sekali lagi) menurut poin 2, bagian c.4 Pendoman Penyiaran Media Siber, ''dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring.''

Saya tidak pernah sekalipun dihubungi untuk konfirmasi oleh wartawan atau sekadar tukang pel dari tiga situs berita itu. Padahal, dugaan yang disematkan--terutama oleh kotamobagupost.com--, kejahatan media siber, sungguh seram dan mendesak saya ketahui dan tanggapi. Jika orang-orang dogol yang mengelola tiga media itu tidak memiliki alamat, nomor telepon, WA, atau BBM saya, maka jelas terpampang di blog ini--sebagai sumber artikel yang diduga mencemarkan nama baik orang--alamat email yang dapat segera digunakan mengakses konfirmasi demi keberimbangan,  check, recheck, dan verifikasi.

Kalau berita-berita seperti itu, yang melepeh kaidah-kaidah yang semestinya ditegakkan, disebut praktek dan produk jurnalistik, buat apa saya (barangkali juga publik umumnya) menganggap kapiran semacam Audy Kerap--Ketua PWI KK pula--sebagai wartawan? Dan media publikatornya adalah situs berita? Media siber?

Secara khusus saya ingin mengupas pemberitaan yang ditajuki Pemilik Situs Kronik Mongondow Resmi Terlapor di Polres Bolmong di kotamobagupost.com, di mana Audy Kerap--sebagai pelapor nama baik yang tercemar--bertahta jadi penanggung jawab, pemimpin umum, dan pemimpin redaksinya. Ini berita atau isi pamflet pembersihan got mampet? Strukturnya amburadul, bahasanya compang-camping, sumbernya (kecuali polisi) mengarang-ngarang dan berhalusinasi belaka. Dan, pihak yang diinsinuasi dari alinea pertama hingga akhir, sama sekali tak diberi ruang dan tempat untuk didengar. Berita ini adalah produk sampah.

Dengan kata-kata kutipan langsungnya sendiri, saya mudah memperkarakan Audy Kerap dan kotamobagupost.com. Pernyataan-pernyatan yang dilontarkan adalah contoh isi kepala kosong dan menunjukkan dia tidak pernah benar-benar membaca artikel yang saya tulis (Berita ''Picek'', Ditulis Si Tuli, Mengutip Sumber Bisu dan Linglung). Dia tidak pula genah beda blog dan situs berita. Atau, lebih mengerikan lagi, dia--dan wartawannya di kotamobagupost.com--gagal paham parah karena ilmu pengetahuan dan penguasaan bahasa Indonesianya memang cuma pas bandrol.

Berita dengan penulisan bombastis, insinuatif, hiperbolik, dan penuh ancaman seperti Pemilik Situs Kronik Mongondow Resmi Terlapor di Polres Bolmong, galib kita temukan di media-media kuning, tak berkelas, dan kacangan. Yang layak hanya dijadikan alat pengancam, penekan, dan bahkan pemerasan.

Wartawan yang punya kelas tentu tahu--atau paling tidak pernah mendengar--tentang hermeneutika, salah satu jenis filsafat yang mempelajari interpretasi makna. Tentang bagaimana sebuah teks berhubungan dengan pengarang dan pembacanya. Dengan pendekatan Hermeneutika, salah satu alinea tulisan saya, ''... sudah lama saya menyimpulkan, tak sedikit mereka yang menyandang gelar wartawan di BMR tak lebih dari sekumpulan orang tolol, arogan, sok jago, yang merasa paling benar sendiri. Namun, mecermati pemberitaan isu dugaan pelecehan profesi yang melibatkan Olden Wein Kakalang serta komentar dan pernyataan dari para jurnalis (yang merasa tercemar), termasuk Ketua PWI KK, saya harus mengakui: imajinasi saya tak mampu lagi menemukan kata yang lebih sarkas untuk menggambarkan derajat tumpulnya otak kebanyakan mereka'', dapat dientepretasi dengan tepat.

Jelas, terang-benderang, bahwa ''tak sedikit mereka yang menyandang gelar wartawan di BMR'' yang ''tak lebih dari sekumpulan orang tolol, arogan, sok jago, yang merasa paling benar sendiri.'' Dengan demikian, wartawan yang merasa tersinggung, tercemar nama baiknya, tentu hanya mereka yang masuk kategori ''sekumpulan orang tolol, arogan, sok jago, yang merasa paling benar sendiri''. Apakah Audy Kerap adalah bagian dari kumpulan ini, hingga dia merasa nama baiknya tercemar?

Alinea lain yang juga dianggap krusial, ''terkait dengan pernyataan Ketua PWI KK, yang melengkapi seluruh sirkus dan komedi isu pelecehan profesi wartawan itu, adalah konfirmasi terhadap kualitas jurnalis di BMR umumnya, yang cuma setara sendal jepit. Apa urusannya komentar pribadi seorang Olden dengan posisinya sebagai ASN di KK? Kalau Ketua PWI KK ingin menarik perhatian Walikota, tidak perlulah menunggangi isu sumir yang akhirnya cuma mengarahkan orang yang waras dan berpikir menafsir apa modus di baliknya'', dengan sadar saya tuliskan mengomentari totabuanews.com yang menulis, ''Lanjutnya lagi, apabila dipandang perlu, maka PWI Kota Kotambagu akan menyurati Walikota Kotamobagu sebagai atasan dari PNS tersebut. “Langkah ini, pertama untuk mendapatkan klarifikasi dari bersangkutan, maksud dari tulisan di akun facebook milik bersangkutan,” katanya lagi.''

Menyurati Walikota KK? Lebay betul? Wartawan magang pun tahu, penanggung jawab langsung terduga ASN yang jadi pangkal isu adalah Kepala RSUD Kotamobagu. Di atas Kepala RSUD ada Kepala Dinas Kesehatan, dan seterusnya. Klarifikasi perkara sepele kok sampai ke Walikota? Pasalnya pun cuma ''perasaan''. Karenanya, kalau rencana ''jika perlu'' itu bukan cari perhatian, gertakan, lalu apa namanya? Ingin ditepuk-tepuk di pundak dan disemangati dengan ''good job''?

Puncak dari gagal paham yang gagah berani dietalasekan oleh kotamobagupost.com adalah seolah-olah polisi membocorkan bahwa dugaan tindak pidana yang saya lakukan akan dijerat dengan UU ITE/ 2008, Pasal 27 Ayat 3, junto Pasal 36. Kalau begitu, apa sebenarnya yang dilaporkan oleh penanggung jawab, pemimpin umum, dan pemimpin redaksi Anda sendiri? Maksudnya dia baru mengarang-ngarang dan mengais-ngais alasan di depan petugas yang menerima laporan?

Saya tidak heran Ketua PWI KK, Audy Kerap, pekak bahwa Pasal 1, Ayat 1, UU ITE menyebutkan dengan rinci: ''Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.''

Kata kunci dari Pasal 1, Ayat 1, UU ITE itu adalah ''yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya''. Kalau Ketua PWI KK, Audy Kerap, gagal paham, seperti burung koak, maka cari tahu dan pahamilah. Menakut-nakuti dengan kartu pers dan gelar wartawan, jabatan Ketua PWI KK, pemberitaan sepihak dan framing bersalah terhadap siapapun yang dianggap musuh, dan laporan ke polisi dengan kawalan dua pengacara (saya malah kecewa, kok cuma dua? Bawa sekalian 30 orang, yang terpintar di Sulut, supaya dugaan terhadap saya dapat dicermati hingga kutu-kutunya), yang rupanya memang menjadi tabiat Anda? Anda salah orang. Memangnya saya laki-laki apaan? Sebuah laporan polisi yang bukti-buktinya cuma angin dan perasaan belaka belum membuat adrenalin saya berdenyut.

Baiklah. Ini penilaian saya: Ketua PWI KK, Audy Kerap, otak Anda memang tumpul. Sebab apa lagi yang pantas dilekatkan pada orang yang menyandang jabatan pimpinan tertinggi sebuah media (online), yang melaporkan seseorang melanggar UU ITE sembari meracau ihwal konfirmasi yang menjadi wilayah UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Pedoman Penyiaran Media Siber. Blog ini bukan situs berita. Sudah bertahun saya bukan wartawan. Sumber dan konfirmasi saya adalah publikasi di media publik, lewat saluran publik.

Karena itu, Anda temukan dulu ahli bahasa (di Mongondow, yang saya tahu, ada satu orang. Namanya Hamri Manoppo), syukur-syukur pakar hermeneutika, pastikan bahwa memang ada pencemaran nama baik yang saya tuliskan. Kalau sekadar tafsir Anda, yang terbukti (dari tulisan-tulisan di kotamobagupost.com) pengetahuan dan praktek bahasa Indonesia-nya tak lebih baik dari keponakan saya yang duduk di kelas 5 SD, minggirlah saja jauh-jauh. Awak yang tak bisa menyanyi, pemain piano yang disalahkan.

Saya akan melayani ''permainan'' Ketua PWI KK, Audy kerap, hingga dia selesai dengan seluruh ''ancamannya''. Setelah itu, bersiap-siaplah. Jangan sampai begitu saya melakukan tindakan balik lalu dia cuma terduduk mencabik-cabik kepala dan meracaukan, ''Who the hell are you?'' Menuduh seseorang melakukan pencemaran nama baik, artinya yang bersangkutan memang punya nama baik. Sebagai terlapor, bergulir atau tidak kasusnya, saya akan membuktikan nama seperti apa sih yang dipunyai Audy Kerap dengan sepak-terjangnya selama ini.

Dalam soal adu otak, tidak ada yang lebih menyenangkan (juga menjengkelkan) berurusan dengan mahluk tumpul yang merasa diri jagoan. Kian banyak yang dia ucapkan, lakukan, apalagi dituliskan, semakin dalam lobang yang digali untuk membenamkan kepalanya sendiri. Tugas saya menjadi mudah: tinggal menimbun dan memasangkan nisan.

Akhirnya, saya menutup tulisan ini dengan menukil kisah dari meme ''Si Bodoh yang Sok Tahu'', tentang Anak Nyamuk dan Ibu Nyamuk. Tersebutlah, si Anak Nyamuk dengan bangga mengatakan pada Ibu Nyamuk, ''Aku hebat, Ma. Ketika aku terbang orang-orang bertepuk-tangan!'' Sang Ibu Nyamuk, dengan wajah terkejut dan prihatin menasehati, ''Awas, Nak, tepuk-tangan mereka untuk membunuhmu! Bukannya kamu hebat!''

Tuan Ketua PWI KK, Audy Kerap, kisah Anak Nyamuk dan Ibu Nyamuk itu saya tujukan pada Anda dan siapapun yang tersanjung dan meriah dari tepuk-tangan laporan pencemaran nama baik itu. Hati-hati sajalah. Badai yang sesungguhnya belum mulai bertiup.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; BBM: BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; ITE: Informasi dan Transaksi Elektronik; KK: Kota Kotamobagu; Polres: Kepolisian Resort; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; RSUD: Rumah Sakit Umum Daerah; SD: Sekolah Dasar; Sulut: Sulawesi Utara; UU: Undang-undang; dan WA: WhatsApp.