Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, October 21, 2016

Kursus Singkat Pencemaran Nama Baik untuk Ketua PWI KK

JUMAT pagi, 21 Oktober 2016, saya terjaga dan menyua berita yang membuat perut melilit. Setidaknya, dalam 10 tahun terakhir, saya belum pernah tertawa terkial-kial--dan sulit berhenti--terhadap lelucon atau laku konyol. Tapi laporan Ketua PWI KK, Audy Kerap, ke Polres Bolmong, Kamis malam, 20 Oktober 2016, karena merasa nama baiknya tercemar oleh tulisan di blog ini, memang komedi yang patut dirayakan dengan ceria.

Dari dua situs berita yang sama bersemangatnya dengan Ketua PWI KK itu, detotabuan.com (http://detotabuan.com/2016/10/21/pemilik-blog-kronik-mongondow-dilaporkan-ke-mapolres-bolmong/) dan bmrpost.com (http://www.bmrpost.com/2016/10/pemilik-blog-kronik-mongondow-dipolisikan/) terkonfirmasi laporan polisi yang dibuat memang berkaitan dengan pasal 310 KUHP. Ancaman hukumannya, di ayat 1 adalah pidana paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak Rp 4.500 dan ayat 2 dengan ancaman pidana paling lama 16 bulan atau denda paling banyak R 4.500.

Yang menarik dari pasal 310 KUHP ini adalah ayat 3 yang menyebutkan: '' Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.'' Barangkali Ketua PWI KK gelap mata (atau justru mata gelap), rabun dekat, mungkin pula memang tak pernah membuka-buka KUHP, hingga tak tahu ayat ''kepentingan umum'' ini. Atau memang langitnya belum mampu menjangkau konsep sederhana ini.

Tapi baiklah, sembari merayakan pelaporan ke polisi itu, karena kelihatannya Ketua PWI KK banyak tidak tahunya, saya bersukarela memberikan kursus singkat bagaimana dia seharusnya memahami dan mengurusi isu ini. Bukankah aib yang memalukan kalau laporannya ke polisi penuh cacat-cela, lalu berakhir sekadar stand up comedy. Pantang hukumnya ketua organisasi dengan sejarah panjang seperti PWI, sekalipun di tingkat kota, akhirnya lebih punya reputasi sebagai pelawak ketimbang wartawan kualitas di atas -5.

Ketua PWI KK cukup mengikuti langkah-langkah berikut dan saya jamin kasusnya akan bergulir dengan mulus. Tidak pula kembali memukul kepalanya, sebab saya juga tidak akan diam seperti bebek yang siap ditembak.

Langkah pertama. Lakukan verifikasi kembali isu utamanya, yaitu pelaporan wartawan (atau yang mengaku berprofesi wartawan) terhadap seseorang yang diduga melecehkan profesinya melalui facebook. Apakah kasus ini diproses atau tidak. Jika kasusnya diproses, maka ada kemungkinan pelaporan pencemaran nama baik terhadap saya bisa dilanjutkan. Ini hukum causa prima. Tidak mengerti dengan causa prima, googling saja dan temukan di (yang paling gampang) https://id.wikipedia.org/wiki/Prima_causa.

Langkah kedua. Pastikan benar-tidaknya berita di totabuanews.com (Ini Sikap PWI Soal Dugaan Pelecehan Profesi Jurnalis Oleh Oknum ASN RS Pobundayan--https://totabuanews.com/2016/10/ini-sikap-pwi-soal-dugaan-pelecehan-profesi-jurnalis-oleh-oknum-asn-rs-pobundayan) memang mengutip Ketua PWI KK dengan sebenar-benarnya. Wartawan dan situs berita yang mempublikasi ''sikap PWI KK'' ini bukan mewawancarai pohon ketapang, mengutip hantu penunggunya, lalu menulis publikasi yang eksplisit-implisit menunjukkan Ketua PWI KK ternyata cuma ge-er dan gila urusan.

Jikapun totabuanews.com akurat, maka sertakan situs berita ini dalam pelaporan ke Polres Bolmong sebagai pihak pertama. Tanpa pemberitaan situs berita ini, tak ada rujukan apapun yang dapat saya gunakan berkaitan dengan Ketua PWI KK.

Demi akurasi, check dan recheck  juga apakah pelapor dugaan pelecehan profesi wartawan oleh seseorang bernama Olden Wein Kakalang adalah anggota PWI KK atau bukan. Ini penting untuk menunjukkan Ketua PWI KK (totabuanews.com jelas mewawancarai Audy Kerap karena jabatan profesional dan publiknya) punya legal standing atau cuma sok jago. Tidak paham dengan istilah ini, googling saja.

Supaya pekerjaan belajar dan memahami itu tidak setengah-setengah, sekalian juga dipastikan legal standing-nya Ketua PWI KK dalam konteks pelaporan pencemaran nama baik terhadap saya. Apakah jabatan ini masih bersifat mandat atau hasil pemilihan sebagaimana amanat AD/ART PWI. Bahkan sekalipun jabatan ketua diperoleh mengikuti proses lengkap AD/ART, sebagai organisasi struktural, setiap langkah hukum apapun yang diambil setidaknya harus sepengetahuan pengurus di struktur yang lebih tinggi, dalam hal ini PWI Sulut. Apa terlebih kalau sekadar mandat (saya yakin, seyakin-yakinnya, Ketua PWI KK yang disandang Audy Kerap masih bersifat mandat).

Akan sangat memalukan ketika proses hukum bergulir dan dengan senyum kecil saya mematahkan apapun argumen berbusa-busa yang disampaikan hanya dengan pertanyaan sederhana: apa dan mana legal standing Anda? 

Langkah ketiga. Cermati kembali apakah yang saya tulis berkaitan dengan kepentingan umum atau tidak. Apakah menyiarkan pada publik kebodohan, terlebih penyalahgunaan jabatan publik dan profesi, memang aib untuk yang bersangkutan? Apakah bukan sebagai upaya menginformasikan pada publik yang berhak tahu dan mengontrol kepentingan mereka? UU Keterbukaan Informasi Publik yang dimiliki negeri ini pastilah bukan produk yang tidak punya makna dan gigi.

Memang menyakitkan mengetahui bahwa pernyataan seperti  kutipan “Langkah ini, pertama untuk mendapatkan klarifikasi dari bersangkutan, maksud dari tulisan di akun facebook milik bersangkutan” sebagaimana yang disiarkan totabuanews.com, cuma menunjukkan Ketua PWI KK petantang-petenteng saja. Meminta klarifikasi atas nama PWI KK? Yang benar saja? Apa hak Anda dan organisasi Anda jika wartawan yang dimaksud bukan anggota PWI? Saya berkeyakinan, orang banyak yang normal otaknya pasti spontan berkomentar, ''Gila stau. Pe bodok eh.''

Umum yang lebih cermat bakal mempelajari dan lebih jauh menyimpulkan, pernyataan seperti itu adalah sejenis ''penyalahgunaan organisasi dan profesi''. Lain soal jika Audy Kerap, sebagai wartawan (katanya kawakan), berkeinginan menulis berita di situs yang dia kelola (soal dibaca orang atau tidak, cek saja jumlah hits per harinya--saya berani bertaruh, tidak apa-apanya dengan jumlah kunjungan ke blog ini). Jika demikian, tidak usah memberikan wawancara. Lakukan tugas jurnalistik Anda.

Langkah keempat. Gali kembali pengetahuan generik masalah hukum yang biasanya menjadi bekal dasar pelatihan jurnalistik. Misalnya soal locus delicti (tidak paham? Googling lagi). Sebab saya sedang memberi kursus singkat, tampaknya perlu penjelasan bahwa locus delicti ini, yang pengertian umumnya adalah ''lokasi atau tempat di mana berlakunya hukum pidana, dilihat dari segi lokasi terjadinya perbuatan pidana.'' Perlunya locus delicti diketahui karena dia berhubungan dengan: (1) Penentuan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana tersebut atau tidak; (2) Penentuan kejaksaan dan pengadilan mana yang harus mengurus perkaranya; dan (3) Sebagai salah satu syarat mutlak sahnya surat dakwaan.

Setelah urusan locus delicti beres. Tambahkan sedikit pengetahuan terhadap dunia virtual. Internet adalah jagad virtual, dan karenanya virtual office bukan sihir lagi di zaman ini. Tidak nyangkut apa itu virtual office, mudah saja: googling dengan saksama. Tidak tertutup kemungkinan kotamobagupost.com di mana Audy Kerap memborong seluruh jabatan penting (penanggung jawab, pemimpin umum, dan pemimpin redaksi) adalah virtual office. Ya, katakanlah, memang ada alamat kontak yang dicantumkan seolah-olah kantor, tetapi faktanya tak lebih dan kurang ternyata berizin rumah tinggal.

Paham locus delicti dan jagad virtual ini mampu mengantar Audy Kerap tidak membabi-buta memilih Polres tempat melaporkan ''perasaan tercemarnya nama baik'' oleh blog ini. Supaya segalanya terang-benderang, blog ini dikonstruksi di Jakarta, isinya ditulis dan diunggah dari mana saja (termasuk dari Afrika, Amerika Latin, dan Eropa). Tulisan yang beberapa frasanya dipotong-potong (sesuka tafsir yang merasa tercemar), saya buat dan unggah dari rumah di Sentul, Kabupaten Bogor.

Dan langkah kelima. Ini yang terpenting. Periksa kembali kelakuan pribadi dan produk-produk dari profesi yang diklaim. Jika Audi Kerap merasa nama baiknya tercemar oleh tulisan saya, bagaimana dengan, misalnya, alinea ''Bahkan, Walikota Tatong Bara yang masih menjanda ini, terlihat sangat gusar ketika para wartawan menanyakan apakah kehadiran dirinya pada Inpeksi Kejagung RI di Kantor Kejari Kotamobagu (Rabu 20/04/2016), masih berkaitan dengan proses pemeriksaan kasus korupsi 4 miliar yang tengah di Lidik Kejari'' dari berita Kasus 4 Miliar, Walikota Tatong Bara Tantang KPK yang diunggah kotamobagupost.com, 20 April 2016 (http://kotamobagupost.com/2016/04/20/kasus-4-miliar-walikota-tatong-bara-tantang-kpk/)? Dan masih banyak berita sejenis yang bersifat insinuasi, pencemaran, bahkan pelecehan yang bias gender di situs kotamobagupost.com. Dan, suprise pembaca, mencantumkan Audy Kerap sebagai penulisnya.

Frasa '' Walikota Tatong Bara yang masih menjanda'' adalah pelecehan. Dengan mata tertutup pun polisi mudah menemukan pasal menjerat penulis beritanya. Menurut hemat saya, wartawan yang menulis kalimat seperti ini sungguh cocok ditempeleng dengan Pasal 1,2, 3, dan 8 Kode Etik Jurnalistik. Bukan cuma amatir, tetapi juga bias kepentingan jahat. Dapat ditambahkan pula, karena penulis berita itu terang mencantumkan ''Walikota Tatong Bara'', maka siapapun berhak dan punya legal standing--setidaknya di KK--menyoal pelecehan yang dilakukan terhadap jabatan publik seorang pejabat publik.

Kalau lapor-melapor ke polisi adalah unjuk gagah-gagahan, untuk sekelas Audy Kerap, buat saya cemen belaka. Amunisi yang saya punya berlimpah ruah. Tapi masak polisi, yang tugas-tugas pentingnya sudah meruah, mesti disibukkan lagi dengan urusan ''perasaan'' seseorang yang kebetulan Ketua PWI KK dan ''katanya'' wartawan kawakan. Pret! Wartawan kok cari panggung dengan perasaan. Memangnya wartawan, profesi mulia yang membutuhkan mental baja, tak beda lagi dengan lansia uzur yang so gampang tersinggung deng pang maraju?

Pembaca, saya akan mengakhiri kursus singkat ini dengan totofore menunggu kelanjutan kasus laporan pencemaran nama baik oleh Audy Kerap. Mudah-mudahan dia mampu memenuhi seluruh kelengkapan yang dibutuhkan polisi; juga siap apabila ada gugatan balik. Sebab percuma juga kalau saya kemudian mengambil langkah hukum tandingan, menang perdata dan pidana, lalu yang berhasil disita cuma dompet kosong dan denda Rp 9.000.

Masak harga Ketua PWI KK, konon pula wartawan manasa', tak cukup untuk membeli sebungkus rokok?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AD/ART: Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga; Bolmong: Bolaang Mongondow; KK: Kota Kotamobagu; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana; Polres: Kepolisian Resort; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU: Undang-undang.