Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, October 24, 2016

Audy Kerap: ''Kalu Cuma Kuroit, Jang Ba Kokok!''

JEDA sore menjelang magrib, Senin,  24 Oktober 2016, saya mengudap pala manis--camilan ini konon membuat tidur nyenyak--, sembari berbual dengan dua kolega. Kami bertiga, yang tertinggal di kantor dan masih bersikutat dengan pekerjaan, merentang cerita dari urusan film terbaru hingga riuh Pilkada DKI Jakarta yang kian seru.

Tiba-tiba telepon saya berdering. Karena melihat nomor yang menghubungi tak dikenal, saya mengabaikan saja. Biasanya, nomor yang tak terdapat di kontak adalah wiraniaga yang menawarkan kredit bank, kartu kredit baru, macam-macam asuransi, atau bahkan mobil yang harganya se-ho-oh.

Namun, dering yang diabaikan itu kembali lagi. Diabaikan. Kemudian berdering lagi. Akhirnya, saya memutuskan mendiamkan dengan mengangkat telepon dan segera menyua suara seseorang yang menyampaikan salam. Setelah salam, dengan akrab dia menyatakan, ''Ini Audy.'' Saya tanya, ''Audy yang mana?'' Sebab saya memang punya sobat akrab (sejak SMA) bernama Audy Yudi Tampinongkol. Tapi kalau Audy Yudi, masak sih tiba-tiba lupa kalau kebiasaannya menelepon didahului dengan sapaan ''Si'.''

Ternyata yang menelpon adalah Audy Kerap. Sebelum dia meneruskan kalimatnya, baru dua kata, ''Kita kua'....'' , saya memotong dan menyatakan, ''O, nanti bakudapa jo di polisi.'' Namun, rupanya kepala kosongnya tidak paham dan masih berusaha meneruskan penjelasan. Saya meledak dan meneriakkan ultimatum, bahwa telepon langsungnya ke saya tak beda dengan provokasi atau pengancaman. Kalau dia masih meneruskan satu kalimat saja, saya akan mengambil langkah yang akan amat sangat dia sesali. Saya lalu menutup telepon.

Apa maunya orang ini? Menantang keberanian saya? Provokasi supaya dari adu otak ke adu hukum lalu adu fisik? Apa alasannya seseorang, wartawan pula, yang sudah melaporkan saya ke Polres Bolmong karena merasa namanya dicemarkan melalui tulisan, mengumumkan didampingi pengacara hebat, langsung menelepon lawan berperkaranya kalau bukan demi provokasi? Mungkin pula pengancaman? Barangkali dia mau merasakan teleponnya dibombardir provokasi sepanjang malam atau rumahnya didatangi dan ditunggui hingga subuh?

Saya peringatkan dengan sungguh-sungguh: Audy Kerap, Anda tidak kenal saya. Tidak pernah bersentuhan sebelumnya. Tak pula ada urusan sosial atau aktivitas yang menautkan kita. Satu-satu yang menghubungkan Anda dengan saya saat ini adalah dugaan kasus karena Anda merasa saya mencemarkan nama baik Anda.

Sebab tak punya pengetahuan apapun mengenai saya, maka cari tahulah. Yang jelas saya bukan jenis laki-laki klemer-klemer yang takut dengan suara keras, acungan tinju, atau macam-macam gertakan. Kalau Anda mau menggali lebih dalam, Anda akan tahu saya bisa apa saja dan sudah melakukan apa saja. Di usia yang kini menuju senja, banyak yang saya perbuat di masa lalu, yang setelah direnungkan, rasanya cukup tidak beradab. Mohon jangan memancing ketidakberadaban itu keluar lagi, seperti iblis dari neraka Dante yang terbangun dan murka. Yang Anda jual sudah saya beli. Kontan! Ingin lebih, saya lebihkan juga kontannya.

Orang waras (tak perlu pintar) tahu persis: jika sudah memasuki ranah hukum, berperkara ke polisi, maka tempuh cara itu hingga tuntas. Kau yang memulai, kau jangan segera mengakhiri! Jika mau mengakhiri, lakukan dengan cara hukum. Toh katanya di-back up pengacara (sekali lagi: jangan hanya dua, sediakan 30 orang, yang terpintar di Sulut), maka minta mereka menempuh langkah yang sejalan dengan tekad dan sesumbar Audy Kerap, bahwa: hukum adalah panglima.

Upaya hukum yang sedang ditimpakan Audy Kerap lewat Laporan Polisi Nomor: LP/868/X/2016/SULUT/RES- Bolmong, Tanggal 20 Oktober 2016, sudah saya telisik dengan saksama. Telah saya siapkan langkah-langkah yang sama demi mempertahankan diri.

Langkah hukum terhadap Audy Kerap sama dengan apa yang akan saya tempuh terhadap penulis pandir dan beberapa situs berita kacangan di Bolmong yang memuat cacian personal yang ditujukan ke saya. Laku saya yang biasanya penuh canda dan tawa barangkali menipu dan menimbulkan sangka, saya cuma bisa menggertak. Tapi beberapa orang di Bolmong sudah pernah merasakan pahitnya peringatan yang saya tidak lanjuti. Jadi bersiap dan waspadalah. Kalian membangunkan sesuatu yang jahat, yang sudah lama saya bujuk untuk tidur, sebab Tuhan telah terlampau baik dengan memberi kecukupan-kecukupan yang saya syukuri dengan sujud. Karena istri, anak-anak, dan semua yang saya sayangi telah memberikan ''rumah yang tenang dan damai.''

Saya tidak akan merugi sedikitpun mengeluarkan energi dan sumber daya demi mempertahankan yang hak, menolak yang bukan. Terlebih dari hitungan paling rasional manusia, saya punya semua keunggulan dibanding tikus-tikus got yang merasa dirinya harimau, semata karena ghirah perhatian, unjuk jago, atau sekadar coba-coba supaya tampak keren dan kekinian.

Bila tulisan ini dianggap sebagai ekspresi kemarahan, saya nyatakan: Ya! Saya tidak habis pikir, terlalu dungukah orang-orang sekolah dan melek teknologi yang merasa tersinggung dan harus menyerang saya pribadi setelah membaca kritik, ejekan, sinisme, sesekali caci, yang dituliskan di blog ini? Sebegitu kerbaukah otak mereka hingga tidak mampu membeda apa yang disampaikan tidak pernah ditujukan terhadap personal. Bukan urusan individu.

Orang-orang yang namanya ditulis dalam blog ini, kecuali kawan, kerabat, dan kolega yang terikut karena keberwarnaan latar cerita, sepenuhnya karena jabatan publiknya atau karena dia memang berurusan dengan kepentingan umum. Saya bisa membedakan, dengan sepenuhnya sadar dan jernih, Audy Kerap sebagai pribadi, wartawan, dan sebagai Ketua PWI KK. Jika seorang Audy Kerap pribadi berkomentar dodol tentang satu isu, kalau itu berkaitan dengan urusan umum dan disiarkan kepada umum, maka akan saya tanggapi. Apatah lagi karena profesinya, terlebih jabatan Ketua PWI KK yang disandang. Jika tidak ada urusan dengan kepentingan publik, mau dia telanjang, pura-pura gila dan menari-nari di lapangan Kotamobagu, eh, stau lei!

Karenanya, saya sungguh memberikan apresiasi dan sulut setinggi-tingginya terhadap Sehan Landjar, sebagai pribadi, politikus, Bupati Boltim, dan Ketua DPW PAN Sulut. Terlalu banyak tulisan di blog ini yang menyinggung Eyang, tanpa membuat dia melayangkan gugatan, apalagi ancaman. Eyang sangat cerdas dan tahu persis: apa yang saya tulis, semenyakitkan apapun, tidak pernah ditujukan pada dia pribadi, melainkan karena posisi dan jabatan publiknya, yang memang harus dikontrol oleh umum--siapapun itu.

Kepada Audy Kerap dan siapapun yang secara pribadi merasa terganggu, tercemar nama baiknya, terzalimi, oleh tulisan-tulisan di blog ini, lawan dengan tulisan atau tempuh langkah hukum. Dan jangan pernah mundur. Kalau merasa ayam jago, berkokoklah. Kalu cuma kuroit, noh dengar jo kong baku iko manyangi. Kuroit yang berkokok hanya akan jadi korban patukan ayam jago. Apa terlebih jago beneran yang marah dan mengamuk.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; DKI: Daerah Khusus Istimewa; DPW: Dewan Pengurus Wilayah; KK: Kota Kotamobagu; Kuroit: Sejenis nuri yang banyak ditemukan di wilayah Mongondow; PAN: Partai Amanat Nasional; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; SMA: Sekolah Menengah Atas; dan Sulut: Sulawesi Utara.