Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, October 23, 2016

Tentang Nama Baik: Musang Belum Pernah Membawa Lari Kandang Ayam

SUNGGUH mengagetkan--belakangan ini saya kerap terkaget-kaget dan terlongo-longo--, lima tulisan terakhir di blog ini ternyata mendapat tanggapan luas. Tidak hanya dari komunitas pewarta di BMR, khususnya yang bergiat di media siber, tetapi juga orang-orang yang diam-diam gerah dengan laku lancung oknum penyandang profesi wartawan.

Kian kaget lagi karena isu pelaporan Audy Kerap, sebagai pribadi, ke Polres Bolmong karena perasaan tercemar nama baiknya oleh tulisan saya, mendorong beberapa orang sukarela mengontak dan memberi informasi penting. Cilaka betul. Blog saya tidak punya hubungan apa-apa dengan pengawas kelakuan jurnalis dan produk-produk mereka. Saya bukan anggota komisi, komite, badan, atau lembaga yang berurusan dengan wartawan, media, dan pemberitaan. Nomor telepon saya juga bukan hotline korban-korban abuse of journalism.

Kontak pertama dengan seorang kawan, pimpinan salah satu lembaga, yang pernah diinsinuasi, dituduh menyalahgunakan wewenang, dan tak pernah dikonfirmasi oleh yang mengaku wartawan bernama Audy Kerap. Kawan ini, yang tak buta pengetahuan jurnalistik (bahkan berkarib dengan beberapa Pemred media papan atas Sulut)--, yang memang mudah naik darah, akhirnya menemui oknum wartawan sialan ini dan hampir saja melayangkan bogem

Rupanya, kekesalan dari peristiwa itu sangat membekas. Sebab, dengan serius dan bersemangat, di ujung percakapan kami, dia menegaskan, ''Butuk makow! Totok dong moko pastiu in kalakuang-nea.'' Kata ''butuk'', dalam bahasa Mongondow adalah ekspresi yang contoh tafsirnya dapat digambarkan dari pembuatan mie cara orang Manado: ojo-ojo tepung dan adonan penyedapnya hingga terurai dan membentuk mie. Makanya mie paling cidap di jazirah ini juga populer sebagai ''mie ojo''.

Informasi kedua datang dari adik kandung saya, seorang ASN, Kabag di salah satu lembaga di Bolmong. Kisahnya, suatu hari, Audy Kerap yang ketika itu menjabat Pemred sebuah terbitan lokal, datang dengan serombongan orang (katanya wartawan) ke kantor di mana adik saya bekerja. Dia meminta (sekali lagi, meminta) jatah advertorial dengan berbagai alasan. Yang luar biasa, permintaan itu disertai pemaksaan, makian, dan ancaman.

Adik kandung saya, yang badan dan nyalinya lebih kekar dari saya, yang kebetulan tidak berada di kantor, tak menerima kelakuan bajingan seperti itu. Dia, ditemani seorang staf dan dua kerabat yang kebetulan berpapasan, kemudian melakukan ''kunjungan dinas'' ke kantor redaksi media yang dipimpin Audy Kerap. Kalau saja Pemred petantang-petenteng ini masih menunjukkan sok jagonya, saya kira bukan tidak mungkin dia sudah berakhir di RSUD.

Baru selesai informasi kedua, bisikan ketiga datang. Tersebutlah seorang tokoh politik dan birokrasi penting di BMR yang berhasil didekati Audy Kerap. Dengan modal kartu wartawan dan janji terbitan media, tokoh kita ini berhasil diyakinkan mengucurkan dana. Waktu berjalan, dana terus mengalir, tetapi yang dijanjikan tak tiba jua. Hingga, satu ketika, secara terbuka, di depan sejumlah wartawan, dengan marah dia berujar, ''Kurang salalu doi, kong mana itu media dang?''

Kesaksian yang datang belum selesai juga. Tiba lagi peristiwa bikin media antara Audy Kerap dan seorang enterpreneur yang cukup populer di KK. Kejadian ini masih segar. Hangat. Sebab baru berlangsung mulai sekitar Oktober 2015. Singkat cerita, kongsi bisnis menjanjikan ini berlangsung, dijalankan, lalu tiba-tiba berhenti.

Bisnis berhenti, yang tertinggal adalah aset, salah satunya mobil. Bukannya mobil, yang down payment-nya dirogoh dari kantong enterpreneur baik hati itu (saya mengenal dia sejak masih kanak-kanak), dikembalikan pada empunya, eh, malah digondol dengan sukses oleh Audy Kerap. Cobalah cek, kendaraan yang dia pakai bergaya setiap hari ke seantero KK barangkali masih aset dimaksud.

Peristiwa dengan sang enterpreneur membuat dada saya meleleh. Tak ada jiwa yang tak bergetar mendengar keikhlasan orang yang dikadali Audy Kerap itu, yang diekspresikan lewat kalimat, ''Ya, mungkin itu biaya belajar yang harus saya keluarkan. Saya kan awam di bisnis media.''

Dan masih banyak lagi informasi yang disampaikan ke saya tentang Audy Kerap yang terus berdatangan, bahkan saat tulisan ini dibuat. Sebagian besar pemberi informasi bersedia bersaksi jika ada satu dan lain konsekwensi hukum akibat tulisan ini. Mereka tampaknya memang menunggu-nunggu ada yang cukup tega buka-bukaan dan habis-habisan dengan oknum brengsek ini.

Nah, pembaca, oknum wartawan itulah, Audy Kerap, yang melaporkan saya ke Polres Bolmong karena pencemaran nama baik. Tentang nama baik ini, izinkan saya (yang, Alhamdulillah, 25 tahun terakhir ini tak jauh-jauh berurusan dengan hal-ihwal reputasi) memberikan sedikit catatan. Nama baik seseorang adalah reputasinya. Bukan citra.

Merujuk KBBI, reputasi adalah ''perbuatan dan sebagainya sebagai sebab mendapat nama baik''; sedang citra, (1) rupa; gambar; gambaran; (2) gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk. Dari empat fakta di atas, kita bisa menilai reputasi Audy Kerap, terutama sebagai pribadi yang menggeluti profesi jurnalistik. Dia brengsek! Bahwa reputasinya berbeda dengan citra yang dia inginkan, seolah-olah punya nama baik, terlebih berlindung di balik profesi dan organisasi profesi, itu namanya pencitraan. Cuma cover. Sampul belaka.

Dengan reputasi seperti itu, simpulan saya, musang lebih baik dari seorang Audy Kerap. Seumur hidup saya, yang saya tahu: musang hanya menggondol telur dan ayam dari kandangnya. Belum pernah ada--mitos dan legenda sekalipun--musang yang menghabiskan seluruh isi kandang, sekaligus menggotong kadang ke lobang persembunyiannya. Kalaupun ada, ini pasti musang jadi-jadian kelas Godzilla. Musang oknum wartawan yang sedang kita bahas ini bukan cuma melahap habis telur dan ayam, tetapi juga memboyong kandangnya dan memamerkan kemana-mana.

Sebagai orang yang sangat menghormati institusi tempat para profesional berhimpun seperti PWI, hari-hari ini saya terdorong (demi tanggung jawab publik) menemui tokoh-tokoh hebat, kredibel, dan bereputasi tinggi yang jadi penasehat dan pengurus organisasi ini di Sulut. Ya, katakanlah seperti wartawan Kompas, Rizal Layuck, atau Pemred Tribun Manado, Ribut Raharjo, yang saya kenal betul profesionalisme dan reputasi mereka sebagai jurnalis. Saya cuma ingin bertanya, ''Kok bisa, Bung, Mas, oknum seperti itu dipilih menjadi Ketua PWI KK?''

Saya kangen menemui sahabat lama, Ketua PWI Sulut, Vouke Lontaan; kenalan yang santun, Sekretaris, Jemmy JS Saroinsong; atau karib yang sangat lembut tutur-kata seperti Wakil Ketua Bidang Organisasi, Aswin Lumintang. Barangkali setelah berbual-bual, bertukar cerita dan nostalgi dari zaman jadi wartawan bukanlah menghadiri acara piknik dan bersenang-senang, saya boleh mengajukan pertanyaan: ''Patutkah seorang oknum wartawan dengan rekam jejak buruk, nir-integritas, dan cacat perilaku, menduduki jabatan sepenting Ketua PWI KK?'' Saya berharap, mudah-mudahan pertanyaan ini tidak melukai hati mereka.

Maka, tak usahlah Audy Kerap meracau tentang nama baik. Dia, sebagai penuntut saya karena dugaan pencemaran nama baik, harus membuktikan memang ''punya nama baik''. Sebaliknya, sebagai pihak tertuntut, kalaupun ada bukti yang dapat ditemukan benar-benar terdapat tindakan itu, saya berhak membuktikan sebaliknya. Anggap saja tulisan ini adalah preambul dari berhalaman-halaman pernyataan saya di meja hijau, sebagaimana tantangan yang diancamkan Audy Kerap.

Tak perlu repot-repot pula menggunakan artikel ini sebagai bukti baru pencemaran nama baik. Orang-orang yang memberikan informasi (langsung), sudah siap bersaksi. Lagi pula, apa yang saya sampaikan demi kepentingan umum: supaya orang banyak waspada terhadap segala bentuk penyalahgunaan dari oknum-oknum tercela atas nama profesi, produk, dan alat yang digunakan.

Kalau pun artikel ini dianggap menista dan menghina, emang gue pikirin? Buktikan saja di meja hijau. Toh hukum adalah panglima?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Kabag: Kepala Bagian; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; Pemred: Pemimpin Redaksi; Polres: Kepolisian Resort; RSUD: Rumah Sakit Datoe Binangkan; dan Sulut: Sulawesi Utara.