Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, October 24, 2016

Mohon Sangat, Jangan Cabut Laporan Polisi Itu

MINGGU malam, 23 Oktober 2016, baru saja asyik menenggelamkan diri dengan pekerjaan kantor (yang sudah melampaui deadline), saya ditelepon seorang kawan. Dia memang berusia lebih muda, karenanya memanggil saya dengan sebutan ''Abang''. Buat saya, sapaan itu cuma soal beda usia--juga barangkali terdapat kandungan respek--, karena dalam banyak hal prestasinya layak diberi acungan dua jempol.

Kawan itu, selama bertahun, pernah menggeluti profesi wartawan. Prestasi tertingginya adalah Pemred di media yang berada di bawah payung penerbitan raksasa.

Usia belia dan karir di media telah mencapai puncak (bagi seorang wartawan, tidak ada lagi posisi fungsi yang lebih tinggi setelah itu), mendorong kawan itu mencari tantangan baru. Dia turut seleksi salah satu komisi negara, terpilih, jadi ketua, dan sukses melaksanakan tugas hingga selesai masa jabatannya.

Karir publik kawan itu terus berkembang. Dia bergabung dengan parpol, dipilih menjadi ketua, berkompetisi di Pemilu, dan lolos menduduki kursi legislatif. Kecemerlangannya tetap bersinar menyertai dia. Di legislatif, dia langsung dipilih di posisi tertinggi: ketua.

Dengan catatan seperti itu, dia adalah rasing star yang kegigihan mengembangkan diri dan kompetensinya tak diragukan lagi.

Telepon dari kawan muda umur yang dasyat itu sebenarnya biasa saja. Kami memang kerap berkontak. Sekadar berbual-bual mempercakapkan rica-tomat dan bawang merah (kami sama-sama anak kampung yang dibesarkan berkubang lampur sawah dan cangkul ladang), sesekali soal tulis-menulis dan perkembangan media, atau dinamika ekonomi-sosial-politik (khususnya Sulut dan Bolmong).

Memang demikianlah yang terjadi. Namun, di tengah bual-bual penuh canda, dia tiba-tiba menyentil urusan laporan Audy Kerap (pribadi) ke Polres Bolmong ihwal pencemaran nama baik yang saya lakukan. Tanpa menutup-nutupi, dia juga menginformasikan bahwa memang ada komunikasi di antara mereka berdua.

Singkatnya: kawan yang baik ini telah menyarankan Audy Kerap mempertimbangkan kembali langkah-langkah yang dia tempuh. Dan kepada saya, dia mengharapkan untuk tidak merepot-repotkan diri. ''Sebab kalau Abang berhadapan dengan orang, artinya orang itu pula berhadapan dengan dengan kami-kami yang ada di sekitar Abang, termasuk saya.'' Begitu rasionalisasi yang dia sampaikan.

Menyenangkan dan mengharukan menerima kontak dan simpati seperti itu. Sejenak saya bernostalgi, kembali ke zaman ketika masih jadi wartawan. Inti dari ilmu berjurnalistik adalah reportase. ''Dewa'' dari reportase adalah investigasi. Yang terpenting dari keduanya adalah sumber dan jaringan, yang menjadi amat sangat mudah karena tahu, berhubungan, apalagi berkawan. Tak pelak, ilmu jurnalistik adalah tentang membangun hubungan, menciptakan perkawanan seluas-luasnya. Kian punya banyak kawan, semakin mudah kita menjadi wartawan, kian gampang pula mendapatkan materi yang dapat ditulis atau disiarkan.

Kawan yang baik harus diindahkan, dihormati, dan dijunjung tinggi. Maka, saya dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan saran itu dan berjanji melakukan tindakan sebagaimana mestinya. Saya toh tidak punya keinginan menciptakan musuh. Terlebih terhadap orang dengan profesi (wartawan) yang biasanya disengani umum, hatta penanggung jawab, pemimpin umum, dan pemimpin redaksi sebuah media (siber), serta pula Ketua PWI kota.

Saya memikirkan saran kawan itu sembari, di telepon lain dan di layar komputer, menyerobok capture media sosial yang berdatangan. Sulit juga melunakkan hati terhadap seseorang yang ''katanya'' sedang mempertimbangkan langkah yang sudah  diambil, sembari melihat dia tetap tanpa malu-malu dan percaya diri petantang-petenteng. Kesombongan dan sok jago Audy Kerap, misalnya mengancam pembuktian ''kandang ayam yang digondolnya'', adalah provokasi gurih. Dia pikir saya menulis sesuatu hanya dengan memetik infonya dari pohon poke-poke, seperti publikasi sejenis yang suka disiarkan kotamobagupost.com?

Kendati begitu, saya berlega hati dan berjanji menimbang dengan serius. Lalu kami mengakhiri percakapan. Saya kembali menenggelamkan diri pada dokumen-dokumen kantor yang membuat keringat memercik di kening.

Menjelang tengah malam, saat jedah meluruskan punggung dan mengistirahatkan mata dari komputer, saya teringat pada percakapan dengan kawan itu dan mendadak menyadari sesuatu. Saya langsung meraih telepon dan menulis SMS: ''Kalu Audy mo cabu depe laporan, ... , justru itu memperkuat pasal yang kita pake for menuntut.''

Tuntutan saya terhadap Audy Kerap karena laporannya ke Polres Bolmong adalah tentang fitnah sebab ''dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu'' serta ''perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang'' sesuai KUHP Pasal 317, Ayat 1, dan Pasal 318, Ayat 1. Pihak berwajib, juga kalangan praktisi hukum (seperti dua pengacara yang diklaim berdiri perkasa membela Audy Kerap), tentu paham betul dua pasal dan ayat ini. Bahwa Audy Kerap yang menulis berita saja seperti mengeja ''ibu Budi, ini adik Budi, dan ini kakak Budi'' tak mampu menjangkau penjelasan dan konsekwensinya, itu urusan dia sendiri.

Olehnya, saya kemudian memohon agar kawan itu mengurungkan saja niatnya menyarankan pencabutan laporan dari Polres Bolmong. Saya juga menghimbau siapapun, langsung atau tidak, yang mengikuti isu ini, agar berhenti menyarankan kasus ini diakhiri. Masak sebuah film diakhiri langsung pada scane penutup, adegan maaf-maafan dan ikhlas-ikhlasan, padahal gambar-gambar dan narasi pembuka baru saja ditayang? Apa serunya menonton jika pemirsa sudah bisa menduga akhir dari tayangan yang ada di hadapannya?

Lagi pula bukti-bukti ''buruknya nama'' orang yang merasa ''nama baiknya tercemar'' yang saya keluarkan (di tulisan Tentang Nama Baik: Musang Belum Pernah Membawa Lari Kandang Ayam) baru sedikit contoh. Penyimak blog ini tentu jauh dari sudi kehilangan momen mengetahui keluh birokrat teras yang diteror todongan advertorial; kawan seiring yang dibohongi, ditipu, dan ditinggalkan dengan kerugian menggunung diilusi bikin media bersama; dan banyak lagi ''drama tegang'' dengan aktor utama Audy Kerap.

Saya belum pula mendadah produk-produk yang diklaim sebagai hasil kerja kewartawanan Audy Kerap, terutama di media miliknya, kotamobagupost.com. Apa tidak sedap kalau saya dengan mudah membuktikan situs ini bukan media siber, tetapi tong sampah besar berisi tulisan-tulisan yang mengangkangi UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Pedoman Penyiaran Media Siber?

Tambah lagi, saya belum mengupas PD/PRT PWI (organisasi profesi di mana Audy Kerap bernaung) dan konsekwensi-konsekwensi pelanggarannya. Umum (sebab ini adalah kepentingan publik) tentu berhak tahu apa saja yang boleh dan tidak dilakukan seorang wartawan, terlebih ketua setingkat kota/kabupaten, yang menjadi bagian dari organisasi ini. Orang banyak juga selayaknya mendapatkan paparan bagaimana langkah-langkah yang mustahak saya lakukan hingga PWI, mau atau tidak (demi menegakkan konsitusinya sendiri), terpaksa harus memecat anggotanya yang tidak punya kredibilitas dan integritas.

Mari kita lanjutkan perkara ini. Tolong. Mohon sangat. Jangan cabut laporan di Polres Bolmong. Tempat duduk di mana saya menyiapkan pembelaan dan serangan balik masih jauh dari hangat.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Parpol: Partai Politik; PD/PRT: Peraturan Dasar/Peraturan Rumah Tangga; Pemilu: Pemilihan Umum; Pemred: Pemimpin Redaksi; Polres: Kepolisian Resort; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU: Undang-undang.