Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, October 25, 2016

Neno, Menulis Itu Sama dengan Berkuteks

PEWARTA unyu itu, yang mengaku ''anak baru'' jagad media, bernama Neno. Sungguh, saya tak menghafal lengkapnya. Kawan-kawan yang mengirimkan tautan dua tulisannya--maafkan, juga tak saya baca--bilang, senyum Neno manis sekali. Mirip senyum Cinta di AACD yang bikin banyak cowok tukang nonton melipir-lipir dan baper.

Saya lalu dapat beberapa kiriman gambar gadis dengan hijab coklat. Kamera mengambil close up wajahnya dari sudut yang tepat dan menampakkan paras yang bagi kebanyakan cowok memang bikin mabuk. Untunglah saya sudah menjelang usia opa-opa, tak lagi terpukau dengan yang manis-manis, terlebih yang senang mencubit-cubit kecil. Lagi pula saya sudah punya yang senyum manisnya luar biasa dasyat, cubitan kecilnya romantis dan maut, yang omelannya bagai musik pengantar tidur.

Biarlah roman-roman syahdu jadi milik kalian saja, para muda, terutama wartawan-wartawan jomblo yang jumlahnya tak sedikit di BMR. Yang kerjanya cuma bikin status-status penuh harap setiap Jumat dan Sabtu malam. Buat saya: yang muda yang punya romansa, yang tua ongkos jo.

Neno, diam-diam kamu sekarang punya banyak fans. Gara-gara tulisanmu yang disertai foto, banyak yang gegar dan ge-er. Mungkin malah sekarang sedang cari-cari perhatian. Bukan sebab tulisanmu membuat nyali bergetar, tetapi foto itu lho.

Salah satu adik saya bahkan spesial menelepon hanya membacakan tulisanmu, setelah itu meminta agar jangan terlampau keras jika berniat menanggapi. Kawan lain malah menghimbau dengan serius supaya saya jangan membuat Neno menangis. ''Dia itu sangat sensitif,'' katanya. Kristianto Galuwo, penulis yang cita-citanya campur aduk antara kepingin jadi wartawan, penyair, entah pula cerpenis atau pujangga, bahkan mendedikasikan tulisan Untuk Neno di blog-nya (http://sigidad.blogspot.co.id/2016/10/untuk-neno_22.html).

Ah, laki-laki memang buaya. Nasehat saya, Neno--usiamu mungkin hanya terpaut sedikit dengan anak pertama saya--, karena katanya kamu manis sekali, hatilah-hatilah. Umumnya kaum pria hanya dapat didefinisikan ke dua kategori: kalau bukan buaya, maka boleh jadi bajingan. Tidak tertutup kemungkinan sudah buaya, bajingan pula; atau bajingan yang memang buaya.

Sebab engkau memilih profesi yang setiap hari bertemu, berhubungan, dan bersosialisasi dengan aneka rupa orang dan tabiatnya, maka waspadalah. Awaslah terhadap perhatian mendadak, terlebih kebaikan tiba-tiba, semisal: ''Ade' mo suka pasang behel?''; ''Ade so bayar doi kost?''; atau, ''Ade' pe telepon kaka' ganti akang jo deng iPhone neh.'' Kalimat-kalimat seperti ini adalah sinyal merah. Tanda-tanda buaya sedang diam-diam merayap atau bajingan tengah menebar pancing.

Tapi tulisan ini bukanlah tentang pesona, terlebih pelajaran kecantikan, dan bikin kaum pria terpiuh-piuh. Saya belum pernah mengelola kapsalon, lembaga pelatihan kepribadian, apalagi pembelajaran tata busana dan make up. Maka mari kita dadah saja sedikit tausiah memahami kepenulisan sebagai awal menuju dunia jurnalistik. Supaya terasa akrab, seperti keseharianmu sebelum beranjak dari rumah, pendekatan yang saya gunakan adalah berkuteks.

Pertama, kamu tahu kan apa itu kuteks? Nah, pahamilah jenis-jenisnya, terutama warna dan kepantasan momen-momen penggunaannya. Cocokkan bahannya dengan kukumu, kekontrasan dengan kulit, dan juga busana yang bakal dikenakan. Tak ada maksud gender bias, tapi bukankah tak enak, misalnya, memandang perempuan berkuteks merah menyala, bergincu hitam, eye shadow coklat, dengan terusan kuning cerah? Itu dandan atau burung nuri sedang mengepak?

Mari kita balik pengetahuan terhadap jenis-jenis kuteks itu jadi penguasaanmu terhadap kata, tanda baca, dan tata bahasa. Bagaimana mencocokkan warna kuteks dengan kuku, kulit, sapuan di bawah mata, dan busanamu ke penempatan kata per kata dan tanda baca dalam kalimat, kemudian kalimat ke alinea, dan alinea ke tulisan utuh.

Neno yang senyumnya katanya manis sekali, sekarang kamu sudah tahu bagaimana membuat sebuah tulisan bukan?

Kedua, tidakkah menyebalkan melihat wanita dengan warna kuteks yang pas sepas-pasnya dengan kuku, kulit, sapuan di bawah mata, dan busananya, tapi sayang pemakaiannya cemang-cemong. Saat dicatkan ke kuku, kuteks itu meluber ke mana-mana, ada yang terlampau tebal, tak halus, atau justru tebal-tipis tak karuan mirip rambut aki-aki.

Sebagai perempuan, kamu tahu betul, supaya kuteks itu indah, dia mesti tepat hanya berada di permukaan kuku. Tidak boleh lebih, bahkan sekadar nol koma sekian milimeter hingga mengotori kulit. Agar kesempurnaan yang demikian tercapai, rajin-rajinlah berkuteks. Tidak susah, kan? Setahu saya ada bahan yang namanya ''aseton'' yang ampuh menghapus, supaya kamu bisa berganti-ganti jenis dan warna kuteks.

Ayo kita terapkan kerajinan berkuteks itu jadi terus-menerus berlatih menempatkan kata, menaruh tanda baca, merangkai jadi kalimat, membentuk alinea, dan akhirnya tulisan lengkap. Dengan tak henti berlatih, lama-kelamaan kamu menemukan mana kata yang enak, kalimat yang gurih, alinea lezat, dan tulisan yang benar-benar makyus.

Dan ketiga, sungguh membosankan juga mengulang-ngulang jenis dan warna kuteks yang sama. Atau bentuk pengecatannya yang itu-itu juga. Supaya kamu banyak banyak tahu dan kian piawai seluk-beluk kuteks, seringlah membaca-baca brosur; mencari-cari info; tahu bagaimana ditemukan, diproduksi, dan didistribusikan bahan kecantikan ini; atau mengeksplorasi  perkuteksan yang kini berserak di mana saja. Di zaman internet ini, menemukan informasi semudah mengerling, senyum, atau mengupil.

Sekarang gunakan kebisaan dan kebiasaan mencari tahu itu jadi ghirah terhadap informasi, bacaan, musik, film, atau apa saya yang bisa membuat kamu menemukan sesuatu yang baru. Simak, cermati, ingat-ingat, lalu gunakan sebagai pengaya ketika merangkai kata, tanda baca, kalimat, alinea, hingga jadi tulisan. Jangan lupa, jujurlah mencantumkan dari mana engkau menambahkan sesuatu di antara pikiran-pikiranmu sendiri.

Neno yang saya harap tak berhenti manis, tersenyum, dan waspada terhadap para penggemar--terutama buaya dan bajingan--, dari berkuteks sekarang kamu sudah bisa menulis. Jika demikian, jadi wartawan itu cuma seperti menata alat-alat dandan di atas meja rias. Ingat-ingat saja resep 5W + 1H, dalami UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Pedoman Penyiaran Media Siber, lalu mulailah bekerja dan tak henti berlatih.

Begitulah tausiah singkat saya, Neno. Mudah-mudahan satu saat saya bakal membaca tulisanmu seperti melihat perempuan yang meliuk anggun atau memandang rèisttafel lezat di meja makan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

5W + 1H: What, who, when, where, why, how; AACD: Ada Apa dengan Cinta; Baper: Bawa Perasaan; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Rèisttafel: Penyajian makanan berurutan dengan pilihan hidangan dari berbagai daerah di Indonesia; Unyu: Lucu; dan UU: Undang-undang.