Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, October 28, 2016

''Soa-soaisme'', ''Popakisme'', ''Popakisme Mistis,'' dan Sebagainya

INI masih tentang kepenulisan, jurnalisme, media (utamanya siber yang berpinaknya di Mongondow mulai menyaingi kecepatan kelinci berbiak), dan laku badut banyak pewarta di BMR. Melihat mereka berbondong menggantongi identitas media yang bilangannya adalah kecepatan deret ukur, sementara kualitas, kompetensi, profesionalisme, dan integritasnya ditakar dengan deret hitung mundur, saya tak kuat tak mengusap dada.

Kronik Mongondow belum dan tidak akan pernah jadi blog yang menyerempet-nyerempet urusan susila. Terlebih  yang syur-syur dan jadi incaran patroli penertiban moral satuan siber Kemkominfo. Saya pastikan, dada yang diusap-usap milik sendiri. Halal dan sah sesuai hukum formal dan ajaran agama.

Berita semacam Upaya Pemerkosaan Oleh Seorang Oknum ASN, Digagalkan Seorang Kakek (http://www.liputanbmr.com/kotamobagu/upaya-pemerkosaan-oleh-seorang-asn-digagalkan-seorang-kakek/) yang diunggah liputanbmr.com, Kamis, 20 Oktober 2016, memang bikin istigfar. Bukan isu yang diangkat atau sumber beritanya yang membuat pening. Penulisannyalah yang jadi soal. Maka saya, yang menerima tautannya setelah meletus keramaian sebab berita ini diulas blog Buruh Kata, Ya Tuhan, masih berita le ini?? (http://buruhkata.blogspot.co.id/2016/10/ya-tuhan-masih-berita-le-ini.html), dalam hampir semua substansi yang disampaikan, sependapat dengan anonim pengelolanya.

Cuma, menurut hemat saya, Buruh Kata juga melakukan beberapa kekeliruan berbahasa tulis--isu yang justru dia kritisi dan kritik. Misalnya, judulnya kok pakai dua tanda tanya (''??'''). Memangnya dalam bahasa tulisan ada beda antara satu tanda tanya, dua, atau sepuluh? Kekeliruan tak kurang gawat adalah subyek yang menjadi tujuan pertanyaannya. Urusan wartawan dan berita yang malintuang ditanyakan ke Tuhan, ya, jawabannya pasti kita ketahui nanti di ''Hari Kemudian''.

Tapi memang, setelah membaca berita tersebut, kita bakal kebingungan. Saya bahkan berwasangka, barangkali penulisannya justru benar, sebab dia tidaklah menggunakan bahasa Indonesia. Buruh Kata, saya, atau mereka-mereka yang meriuhkanlah yang silap, karena menilai dari sudut pandang bahasa Indonesia. Demi keadilan, dengan pikiran terbuka, saya merujuk mesin terpintar se Planet Bumi, Google, dan bertanya bahasa apakah gerangan yang digunakan penulis unggahan liputanbmr.com itu?

Bahkah Google pun hilang akal karena penelusuran saya justru berakhir di entry ''soa-soa''. Ini bencana. KBBI tak punya penjelasan tentang ''soa-soa''. Yang ada justru situs-situs yang membeber dan mengupas tentang kadal. Simpulannya: pantas belaka jika para penyimak berita yang jadi isu itu tak paham. Penulisnya barangkali memang menggunakan bahasa ''soa-soa'', yang bahkan ahli perkadalan pun belum tentu mampu menerjemahkan. Apalagi cuma Buruh Kata, saya, atau pembaca situs berita di BMR yang kerjanya suka mencari cacat-cela wartawan dan produk-produk mereka.

Bahasa adalah identitas. Bagi kalangan kepenulisan, sebagaimana seni rupa, ekspresi bahasa bisa menjadi identifikasi seorang penulis dapat dikelompokkan ke ''aliran'' apa. Itu sebabnya kita pening ketika membaca si anu adalah penganut romantisme, si itu cenderung ke kelompok realisme, si polan masuk kategori penulis ''realisme magis'' (apa pula ini?), dan sebagainya. Bikin penat saja. Lebih gampang menunjuk Affandi adalah pelukis aliran ekspresionisme melalui sapuan-sapuan dan guratan-guratan yang kita lihat dari lukisan-lukisannya, atau Pablo Pocasso adalah ''mbah''-nya kubisme dengan menaruh tepat di biji mata dan mencermati karya-karyanya.

Tapi produk kepenulisan? Lebih rumit dari sekadar menjelaskan pilihan kata atau peletakan tanda baca. Menilai produk tulis seseorang masuk aliran apa memerlukan pengetahuan hingga ke taraf ide, proses kepenulisan, serta konsistensi pendekatan kepenulisannya, yang diekspresikan melalui karya-karya yang dipublikasi. Dan dunia kepenulisan di BMR umumnya (termasuk yang digeluti para jurnalis), yang kini dibanjiri sangat banyak pemula, tampaknya memerlukan definisi aliran tersendiri.

Dari aspek bahasa dan penulisannya, penulis berita Upaya Pemerkosaan Oleh Seorang Oknum ASN, Digagalkan Seorang Kakek dan situs yang menyiarkan boleh jadi adalah penganut ''aliran soa-soaisme''. Syarat pertama memahami aliran ini adalah menguasai bahasa ''soa-soa'', yang saya yakin memerlukan pelatihan dan kursus tingkat dewa. Termasuk, barangkali, tuntutan jadi ''pongo'' sesuai dengan nasib alamiah hewan ini.

Aliran kepenulisan berikut yang tampaknya juga menonjol di BMR adalah popakisme, yang berasal dari kata dasar Mongondow, ''popak''. Saya kira tidak berlebihan jika harus diakui bahwa pelopor aliran ini adalah Audy Kerap. Tulisan-tulisan atau publikasi yang mengutip dia, semisal berita Kapolda Sulut Diminta Mendidik Etika Polisi Lalulintas Polres Bolmong, dapat dijadikan contoh masterpiece aliran ini. Demikian pula, situs seperti kotamobagupost.com adalah salah satu pengarus utama aliran ini.

Bila dicermati, di dunia kepenulisan khususnya, dimana terdapat aliran realisme yang beranak realisme magis, bukan tidak mungkin ''popakisme'' ini bakal beranak ''popakisme mistis''. Kalau penulis yang menganut aliran turunan ini berprofesi wartawan, tidak perlu heran jika liputannya berasal dari baca-baca kemenyan, terawang, dan nujum. Sumber berita yang dikutip merentang dari mangkubi, pok-pok, tuyul, sampai asap kuburan; dan para pembaca karya aliran ini pasti punya jantung super, tak takut kerasukan, dan ketindihan.

Kalau pun wartawan penganut aliran ''popakisme'', terlebih ''popakisme magis'', melakukan liputan nyata, menemui sumber berita manusia (kita-kita yang berwujud ini), untuk wawancara atau konfirmasi, tak perlu kuatir. Resep terbaik yang dijamin ampuh adalah: Cukup hadapi dengan doa pengusir setan. Jikapun masih kurang yakin, maka lanjutkan dengan mengundang ustad untuk selamatan arwah.

Kabar terakhir yang saya terima dari seorang kawan di Kotamobagu menginformasikan, tak lama lagi sebuah situs berita aliran ''popakisme magis'' akan diperkenalkan. Tagline yang diusung situs ini adalah ''biongo, oon, gilingan, asal, nehi, dan inta'', dengan semangat ''menyajikan ola-ap hingga langit ketujuh''. Saya berkeyakinan, ide jenius penggagasnya bakal membuat situs ini dengan cepat menjadi portal berita nomor satu di BMR.

Dua aliran itu cuma contoh. Dengan tumbuhnya--menurut info yang saya dengar--lebih dari 30 situs berita di BMR saat ini, serta angka pewarta (dadakan) yang melampaui hitungan 100, dapat dibayangkan berapa banyak aliran kepenulisan yang bakal dilahirkan di Mongondow. Dibanding seni rupa yang setidaknya mengenal 17 aliran, saya optimis (di luar aliran kepenulisan yang sudah didefinisikan) sangat mungkin BMR melahirkan sekitar 30 aliran (belum lagi turunan ''magis-magisnya'') dengan situs-situs berita yang menjamur sebagai dinding pameran utama.

Pembaca, Anda silakan menelisik dan mendefinisikan sendiri. Saya berkeyakinan, pendidikan (formal) masyarakat di BMR adalah salah satu yang berada di atas rata-rata di negeri ini.

Namun, jika begitu jadinya, yang diuntungkan adalah para pembaca yang memirsa. Kita punya keragaman pilihan bacaan yang saat melahapnya pasti memerlukan persediaan gidi-gidi melimpah. Tertawa dan bersenang-senang kan juga memerlukan modal. Yakinlah pula, orang banyak bakal semakin tebal iman karena kian kerap membaca doa dan melangsungkan tradisi religius.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BMR: Bolaang Mongogondow Raya; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesial; dan Popak: Dusta.