Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, October 20, 2016

Daganglah Kacang, Jangan Menulis, Apalagi Bikin Situs Berita

MAKLUMAT ini saya endap dan renungkan sejak Rabu sore, 19 Oktober 2016. Setelah berulangkali dipikirkan, dikaji, ditimbang, diputuskanlah bahwa: saya serius mempertimbangkan mengambil langkah hukum terhadap seorang penulis dan beberapa situs berita di BMR yang mempublikasi serangan pribadi terhadap saya.

Agar tak ada syak dan wasangka, tindakan yang akan saya ambil terkait dengan tulisan Berita ''Picek'', Ditulis Si Tuli, Mengutip Sumber Bisu dan Linglung yang diunggah di blog ini. Merujuk pada memberitaan (dua) situs berita yang berpusat di KK, saya mengupas betapa konyolnya laporan dugaan pelecehan terhadap profesi wartawan ke Polres Bolmong, yang dilakukan (terduga) seseorang yang kebetulan berprofesi ASN di RSUD Kotamobagu.

Yang tak saya sangka, ternyata cukup banyak yang menyimak artikel itu. Bahkan kemudian menjadi isu yang dianggap penting di kalangan pewarta (khususnya) di KK. Sebab, tak lama kemudian saya menerima informasi ada publikasi mempertanyakan apa yang saya tulis di situs detotabuan.com, Calon Reporter atau Wartawan Baru yang Bau Pelatihan Jurnalistik. Apakah Tolol Juga? (http://detotabuan.com/2016/10/19/calon-reporter-atau-wartawan-baru-yang-bau-pelatihan-jurnalistik-apakah-tolol-juga/). Menjelang sore, publikasi lain, kali ini bahkan mencemooh saya, disiarkan--mulanya--oleh totabuanews.com, Bgtu Katamsi… Nda di Blog, Mo Dpa Gatal-gatal di Tangan dg Panta (https://totabuanews.com/2016/10/bgtu-katamsi-nda-di-blog-mo-dpa-gatal-gatal-di-tangan-dg-panta).

Tampaknya, karena ''menyerang'' saya pribadi (bukan isu sebagai substansi) dianggap penting dan mustahak, setelah totabuanews.com, tulisan cemooh itu juga berturut dipublikasi oleh beberapa situs berita. Walau sama sekali tidak terkejut, saya cukup tercengang dengan fakta ini, karena hanya meneguhkan bahwa: kian hari (di BMR khususnya) profesi wartawan digiring menjadi sekte. Tidak peduli salah atau benar, yang berani mengkritik pelaku, laku, dan produk profesi ini harus dilawan habis-habisan.

Tulisan saya bukanlah berita. Tidak pula disiarkan di situs berita. Cuma artikel blog. Siapapun yang cukup waras tahu, kalau ingin melawan apa yang saya sampaikan, lakukan dengan cara yang sama. Bikin blog juga. Jikapun itu dilakukan di situs berita, maka mulailah dengan memberitakan isunya, lalu tanggapi dengan opini atau artikel sejenis. Melawan tulisan blog dengan opini di situs berita tak beda dengan membawa pertengkaran di Boltim ke Bolmut.

Maka dari itu, setelah dengan cepat menyimak dua publikasi itu, terhadap tulisan pertama, saya hanya menyampaikan keprihatinan. Sungguh amat menyedihkan dan patut disayangkan jika ada orang yang mengaku wartawan (seumur jagung sekalipun) terjungkal menulis (apapun itu) karena tak cermat terhadap tanda baca. Frasa yang disoal oleh pengomentar artikel saya, jelas-jelas mencantumkan ''?'' di akhir kalimat. Ini berarti, tidak ada penilaian yang saya sampaikan. Kalimat itu adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh, setidaknya, semua yang menyandang atau mengaku sebagai wartawan--bahkan tidak terbatas hanya di KK.

Tidaklah kejam dan berlebihan, jika terhadap penulis yang mengaku pemula itu saya menyampaikan simpati dan empati: mempertontonkan kebodohan tak beda dengan tampil bugil di depan Kantor Pemkot KK. Tidak tertutup kemungkinan dua-duanya akan diingat-ingat, dipercakapkan, berkali-kali dan berulang-ulang.

Terhadap tulisan kedua, mulanya saya hanya terbahak-bahak. Kepada beberapa kawan wartawan di BMR yang rutin berkomunikasi (lewat BBM dan WA), saya menyatakan, ''Dari dulu ini orang ma'ere' minta perhatian. Dia hanya menulis artikel atau opini kalu ada kita pe tulisan yang dia rasa penting untuk depe kehidupan pribadi. Masak kita musti layani depe ma'ere'?'' Terus-terang, saya tidak menganggap penting penulis Nda di Blog, Mo Dpa Gatal-gatal di Tangan dg Panta. Tulisannya buruk. Hanya setingkat lebih baik dari hasil tes untuk simpanse. Sebab itu mengherankan betul jika ada media (profesional) yang rela membuang ruangan mempublikasi sampah.

Mengulas, terlebih menganalisis sampah, jika bukan pekerjaan utama para profesional persampahan, sama dengan menurunkan derajat kewarasan kita ke tingkat dungu. Olehnya, saya lebih senang langsung pada subtansi: cemooh yang tidak pada tempatnya, di ruang publik, oleh pribadi dan media publik, terhadap seseorang yang bukan tokoh publik, dengan dasar sesuatu yang berasal dari ruang publik yang bersifat pribadi.

Pembaca, blog Kronik Mongondow bukan media siber sebagaimana Pedoman Pemberitaan Media Siber yang diumumkan Dewan Pers pada Senin, 30 Januari 2012 (http://dewanpers.or.id/pedoman/detail/167/pedoman-pemberitaan-media-siber). Sebagai pemilik dan pengelola Kronik Mongondow saya tidak terikat pada UU Pers, Kode Etik Jurnalisti, apatah lagi pedoman dari Dewan Pers. Berada di bawah rumpun media sosial, blog ini harus tunduk pada UU ITE.

UU dengan ancaman dan sanksinya (perdata dan pidana), membuat saya jerih dan gemetar. Saking takutnya, mengingat saya senang mengejek, mencela, sesekali menghina, setiap kali menulis saya benar-benar mempertimbangkan kata per kata, kalimat per kalimat, agar tak terpeleset dan tak mampu membela diri di hadapan hukum. Tak terbayangkan betapa menderitanya harus bolak-balik ke kantor polisi, pengadilan, dan kemudian masuk bui.

Mari saya beritahu rahasia salah satu pertahanan terbaik dari tukang loleke: cermat pada sumber yang dijadikan rujukan, gunakan sumber publik, dan kutip sebagaimana adanya. Dengan begitu, jika ada konsekwensi hukum, yang pertama kali harus dihadapi oleh yang keberatan adalah sumber publik yang dijadikan rujukan. Akan halnya komentar yang dianggap melecehkan, menghina, atau menista, itu perdebatan panjang yang akan kembali pada sudut pandang bahasa. Saya kira, saya haqul yaqin dengan pengetahuan bahasa Indonesia saya.

Saya meyakini selama ini cukup amat hati-hati. Dari itu, misalnya terhadap ''ancaman'' Ketua PWI KK, Audy Kerap, yang capture pernyataannya di facebook --ditulis dengan seluruh huruf besar-- (ANDA MENYEBUT PRIBADI SAYA TUMPUL, TOLOL...NANTI KITA BERSUA DI MEJA PERADILAN) yang saya terima pagi ini (Kamis, 20 Oktober 2016),  saya sambut dengan cekikikan. Catat, Ketua PWI KK, saya tunggu gugatan Anda. Menarik juga kita melihat bagaimana harus dibuktikan bahwa saya menyatakan yang bersangkutan tumpul dan tolol. Telisiklah hingga air mata meleleh, adakah terdapat ''tolol'' dan ''tumpul'' saya sematkan terhadap yang bersangkutan di seluruh tulisan Berita''Picek'', Ditulis Si Tuli, Mengutip Sumber Bisu dan Linglung.

Tuan Ketua PWI KK, mohon jangan lupa menyertakan totabuanews.com sebagai pihak pertama yang diseret ke pengadilan, sebab situs berita inilah yang menyiarkan pernyataan Anda yang saya jadikan rujukan. Kita mudahkan tugas polisi, jaksa, dan pengadilan dalam mengusut ''ancaman'' yang Anda lontarkan itu.

Saya justru bersuka ria dengan ''ancaman'' itu. Nyata-nyata, melalui media sosial, Ketua PWI KK telah menista saya dengan fitnah yang dasarnya entah apa. Dia menyiarkan kebencian, yang memang manjadi ranah UU ITE. Inta! Mari ke polisi dan pengadilan. Buktikan omongan besar Anda, sebab saya dibesarkan di Mongondow bukan sebagai pengecut.

Kembali pada cemooh yang ditulis seseorang terhadap saya dan disiarkan oleh beberapa situs berita yang berkantor di KK, dengan kerelaan hati (saya berupaya bijak) saya menyarankan: Anda-anda tentu tidak bodoh, karenanya tolong lihat lagi Pedoman Pemberitaan Media Siber dari Dewan Pers. Kaji kembali apakah publikasi cemooh terhadap saya sudah tepat atau sekeliru-kelirunya kekeliruan. Demikian pula, penulisnya (yang sudah cukup lama mencari-cari perhatian saya) bersigegaslah membuka-buka lagi UU dan turunannya, demi mempersiapkan diri. Biasanya, kalau melakukan sebuah tindakan yang berkonsekwensi hukum, saya tidak segan mempertaruhkan apapun. Saya tidak pernah ingin bertaruh untuk kalah.

Menulis (termasuk di media sosial), terlebih mengelolah situs berita, bukanlah dagang kacang atau buka warung. Dagang kacang dan berwarung pun memerlukan pengetahuan manajemen minimal, agar tak rugi, kemudian berhutang, dan berakhir di pengadilan. Menulis adalah mengelolah dan mengekspresikan pengetahuan dan keterampilan; dan mengelolah situs berita berarti mengurusi hal-ihwal yang lebih besar lagi, terutama mengindahkan UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Pedoman Pemberitaan Media Siber, serta--demi kehatian-hatian--jangan abaikan UU ITE.

Kalau maqam seorang penulis baru sampai pada tingkat merepet, mencemooh, mencaci, atau menghina di atas dasar yang rentan; dan situs berita yang menyebarkan belum mampu menimbang manfaat, mudarat, dan bahayanya; dagang kacang atau buka warunglah. Dua pekerjaan ini (yang tentu sangat terhormat), tidak mensyaratkan kompleksitas dan pengetahuan spesifik.

Akhirnya, sekalipun saran yang mencoba bijaksana itu telah disampaikan, keseriusan saya mempertimbangkan langkah hukum tak surut. Dan tulisan ini adalah bentuk keterbukaan dan keadilan untuk terlebih dahulu menginformasikan tindakan itu. Bukankah terbuka dan adil adalah salah satu substansi yang sehat dari hubungan sosial, bermasyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; BBM: BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; ITE: Informasi dan Transaksi Elektronik; KK: Kota Kotamobagu; UU: Undang-undang; Polres: Kepolisian Resort; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; RSUD: Rumah Sakit Umum Daerah; dan WA: WhatsApp.