Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, September 29, 2016

Tiga Dongeng: Sudah Keliru, Mencatut Pula

PERISTIWA politik adalah fakta yang selalu dibumbui dongeng, kultus, mitos, klaim, rumor, spekulasi, dan pertaruhan. Sesuatu yang sebetulnya wajar dan manusiawi.

Kultus dan klaim ''pilihan elit'' melawan ''kekuatan rakyat'' menjadi dongeng, rumor, spekulasi, bahkan pertaruhan, yang diusung beberapa pihak bersamaan dengan dimulainya tahapan Pilkada Bolmong 2017, menegaskan bahwa tesis itu adalah fakta. Lalu, pemain-pemain politik yang biasa melibatkan diri, terutama di BMR, antara lain Pitres Sombowadile, ikut menerjunkan diri lewat tulisannya.

Pembaca, saya menanggapi analisis Yasti Vs Salihi: Perjuangan Melawan Mujur dari Pitres dan dipublikasi di liputanbmr.com (http://www.liputanbmr.com/bolmong/yasti-vs-salihi-perjuangan-melawan-mujur/), Selasa, 27 September 2016, sebagai pelurusan. Namun, bila dia kemudian menafsir tulisan Linduran Mujur Pilkada Bolmong 2017 yang diunggah di blog ini sebagai pemihakan terhadap Yasti Soepredjo Mokoagow, tidak sedikit pun saya bantah.

Benar! Saya memihak, tetapi tidak kehilangan fairness. Kalau hari ini Salihi B. Mokodongan diperlakukan tidak layak, di-black campaign, saya juga tidak akan segan membela dia. Ini bukan sekadar klaim. Akhir Sunyi Sang Bupati yang dipublikasi Minggu, 10 Juli 2016, adalah bukti saya masih mampu bersikap adil. Saya tidak punya kepentingan terhadap Yasti, demikian pula dengan Salihi, yang dua-duanya saya kenal baik; kecuali bahwa mereka adalah tokoh politik dan publik yang tindak-tanduk dan lakunya boleh didukung, dikritik, dikritisi, dan--bila perlu--dicaci.

Karena posisi pribadi itu, juga sebab tahu Pitres tergolong mudah bereaksi jika kepentingannya diusik, saya sebetulnya tak ingin terlampau serius menanggapi dia. Cuma, saya juga tidak tahan membiarkan kesombongan dan sok tahunya tidak dikoreksi. Kasihan betul kalau pada akhirnya--dengan membiarkan dia mempercayai karang-karangan sendiri--apapun yang dia tulis dan sampaikan ditanggapi sekadar salah satu dari jutaan sampah (utamanya) produksi media sosial.

Kalau pada akhirnya saya, di tengah (pura-pura biar tampak serius) keasyikan mengikuti sebuah konferensi tentang keberlanjutan, menanggapi (lagi) tulisan Pitres, Mengunyah Kenari, Yang Dikira 'Namu-namu', He, He, He, yang ditayang di akun facebook-nya, Kamis, 29 Oktober 2016, anggap saja tak lebih dari dongeng periuh Pilkada Bolmong. Dan memang tiga kisah yang akan saya tuliskan berikut adalah dongeng semata. Andai ada nama, tempat, atau peristiwa yang sekiranya memiliki kemiripan, itu hanya kesengajaan yang sepenuhnya saya sadari.

Dongeng pertama. Alkisah ada satu keluarga dengan ayah berlatar Jawa Tondano dan ibu asal Mongondow yang dikarunia lima anak perempuan. Sang ayah menyandang marga Soepredjo, si ibu ber-fam Mokoagow. Salah satu di antara keempat anak dalam keluarga ini dikenal berani dan--kendati perempuan--tidak segan adu fisik. Di masa SMP, misalnya, sekali pun dalam kondisi salah satu kakinya patah, anak perempuan tak biasa ini berani adu fulungku dengan tentara. Hasilnya, serdadu yang jadi lawan KO dengan rahang patah.

Seperti biasa, para orang tua (terutama paman-paman anak perempuan ini) merasa perlu membahas laku yang tidak umum itu. Salah satu simpulannya, barangkali nama yang disandangkan terlalu berat (atau justru ringan belaka). Diusulkanlah agar namanya diubah. Kedua orangtuanya, setelah mendengar pertimbangan dari delapan paman si anak dari pihak ibu (yang adalah saudara perempuan satu-satunya di antara mereka kakak-beradik) bersetuju namanya di ubah menjadi Yasti (dari Triastuti) Soepredjo (nama belakang ayahnya) Mokoagow (marga ibunya).

Nama resmi versi keluarga ini hanya diketahui persis oleh kalangan terdekat. Akan halnya dokumen resmi, termasuk ijazah, mulai dari SD hingga PT, masih mencantumkan nama sesuai akte kelahiran. Hingga, satu saat anak perempuan yang sudah dewasa ini, yang sukses berkiprah di dunia bisnis dan politik, memutuskan melegalkan namanya menjadi Yasti Soepredjo Mokoagow. Legalisasi ini selesai dilakukan sekitar Juni 2008.

Pada September 2008, dia menetapkan langkah mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI dari PAN. Di partai ini dia bukan pendatang baru. Sejak 1999 namanya sudah tercatat sebagai Koordinator Deklarasi PAN Sulut.

Pencalonan itu memerlukan dukungan tim kecil yang bekerja menyiapkan berbagai perencanaan, strategi, dan langkah aksi. Tim inilah, salah satunya adalah Ismail Dahab, yang kemudian berkumpul pertama kali pada Oktober 2008.  Di pertemuan ini Yasti Soepredjo Mokoagow secara langsung berkenalan dengan Ismail.

Bila kemudian ada kisah yang sengaja disebarkan bahwa Ismail Dahab-lah yang mengurusi legalisasi nama Yasti Soepredjo Mokoagow, pasti ada yang memang tukang bohong, meng-klaim dengan tidak tahu malunya, atau justru sekadar mencatut. Saya sendiri berkeyakinan Ismail Dahab tidak bakal berbohong atau mengklaim sesuatu yang sama sekali tidak melibatkan dia.

Dongeng kedua. Di FISIP Unsrat ada seorang mahasiswi yang populer dikenal sebagai Yasti Mokoagow, yang aktif di berbagai kegiatan dan bahkan menjadi Bendahara Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik sepanjang 1988-1991. Diam-diam dia tidak hanya bergiat di internal kampus, tetapi juga perlahan-lahan merintis usaha di sela-sela kesibukan kuliah.

Dia, yang berasal dari keluarga menengah biasa di negeri ini, tidak segan dan malu melirik peluang bisnis. Kerja kerasnya setapak demi setapak berwujud menjadi sesuatu yang profesional. Itu sebabnya, pada 1992--lebih satu tahun sebelum menamatkan kuliah (yang tergolong terlambat untuk mahasiswa FISIP)-- dia sudah menyandang jabatan Dirut PT Jaton Sejahtera.

Selepas kuliah, dia lebih leluasa mengembangan bisnis dan karir. Portfolio-nya pun merentang dari Dirut PT Abdi Jaya Perkasa (2000), Dirut PT Bayu Cipta Buana (2004), Komisaris PT Visindotama Medikarsa Prima (2004), hingga Presdir PT Lintang Cakrawala Group (2007).

Latar belakang bisnis dan profesional itu, yang dapat ditelusuri dengan mudah apakah tergantung pada proyek APBD/APBN atau tidak, membawa perubahan besar pada kemakmuran ekonomi dan posisi sosialnya. Membuat dia, yang sudah terbebas dari kepusingan memenuhi tuntutan dasar sehari-hari, melirik peluang politik dengan mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI pada Pemilu 2009 dan terpilih. Sebagai penyelenggara negara, dia harus pula menyetor LHKPN pada 2009 dengan mencantumkan kekayaan (pribadi) antaranya sejumlah Rp 22 miliar.

Rumor dan spekulasi tokoh dongeng kita ini berdaya secara ekonomi baru setelah terpilih menjadi anggota DPR RI dan mampu membuka pintu kesempatan, jelas jauh dari fair dan mengandung niat jahat. Atau barangkali yang dimaksudkan adalah seseorang yang lain?

Dan dongeng ketiga. Tersebutlah ada seseorang yang merasa punya kebisaan dalam banyak hal, terutama (menurut pendapatnya sendiri) strategi politik dan eksekusinya. Kebisaan ini dijajakan, dibeli, dan diuji coba di peristiwa-peristiwa politik semacam Pemilu dan Pilkada. Ada kandidat yang mujur terpilih saat dia tangani, tetapi kebanyakan hanya ''nyaris terpilih'' atau ''hampir menang''.

Di Pilkada Bolmong 2017 yang tahapannya sudah dimulai sejak pendaftaran bakal calon pada 21-23 September 2016 lalu, tokoh dongeng kita ini ingin pula ambil bagian. Tentu dengan menyasar kandidat yang paling mungkin menang dan punya dukungan fulus yang tetesannya tidak seperti kran mampet. Untuk mendekati kandidat yang disasar, tokoh dongeng kita ini ''katanya'' (ingat: kita sedang menyimak dongeng) kemudian meminjam mulut Penjabat Bupati Bolmong.

Singkat kisah, pesan disampaikan dan mendapat jawabannya pendek: chemistry-nya tidak cocok. Tegasnya, tak mungkin bakal kandidat ini bekerja sama dengan tokoh dongeng kita. Konon, yang saya dengar dari burung-burung dan kodok-kodok (tentu bukan burung kolibri dan kodok kento'), tawaran terlibat dalam tim pemenangan dari tokoh dongeng kita ini telah pula ditolak oleh seorang kandidat bakal Cabup dari kabupaten lain di Sulut. Benar-tidaknya kabar ini, bukan urusan yang perlu dan penting ditelusuri. Namanya juga dongeng. Cuma ''konon''.

Berkaitan dengan Pilkada Bolmong, apa yang terjadi kemudian dengan penolakan dari kandidat bakal Cabup itu? Dongeng yang seru tentu melibatkan konflik yang menggugah dan membuat penyimaknya termehek-mehek. Dan itu, jika perlu, akan saya ceritakan di lain kesempatan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; APBN: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Dirut: Direktur Utama; DPR RI: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; FISIP: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik; KO: Knockout; LHKPN: Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara; PAN: Partai Amanat Nasional; Pemilu: Pemilihan Umum; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Presdir: Presiden Direktur; PT: Perguruan Tinggi/Perseroan Terbatas; SD: Sekolah Dasar; SMP: Sekolah Menengah Pertama; Sulut: Sulawesi Utara; dan Unsrat: Universitas Sam Ratulangi.