Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, September 27, 2016

Linduran Mujur Pilkada Bolmong 2017

MENJELANG siang, Selasa, 27 September 2016, saya baru menghempaskan badan ke sofa lobi Best Western Hotel, Tsim Sha Tsui, Hongkong, ketika menerima kiriman tautan tulisan Pitres Sombowadile. Selang beberapa jenak, dua BBM juga tiba, mengabarkan analisis yang ditulis sang ''budayawan'' ini--demikian ''pangkat'' yang disematkan media online yang mempublikasi tulisannya.

Sembari menahan kantuk karena perjalanan semalaman yang menguras semangat dan agak kurang sabar sebab check in yang selambat siput, saya membaca cepat analisis unggahan liputanbmr.com, Yasti Vs Salihi: Perjuangan Melawan Mujur (http://www.liputanbmr.com/bolmong/yasti-vs-salihi-perjuangan-melawan-mujur/), itu. Pilkada Bolmong 2017 tampaknya adalah momen yang tak ingin diluputkan para ''pemain politik'' di Sulut, termasuk Pitres yang belakangan sudah tak sungkan pula mengaku sebagai ''bagian dari Mongondow''.

Sebagai kawan, hubungan saya dengan Pitres sangat berwarna. Merentang dari zaman mahasiswa (berbagi hampir apa saja, kecuali pacar, pakaian, dan baju dalam) hingga sesekali cakar-cakaran di masa kini saat sudah sama-sama berada di bawah ancaman asam urat dan kawan-kawan. Dan tentang tulisan-tulisannya, terlebih esai dan analisis, selalu saya baca dengan bungah dan takjub: terutama menjadi pengingat bahwa bilangan usia yang kian banyak adalah takdir, tapi bijaksana dan hati-hati adalah soal pilihan, kewarasan, dan kewaspadaan.

Karenanya, dengan khusyuk saya mengaminkan saja analisis ''mujur'' yang ditulis Pitres. Dari aspek substansi, dia sepenuhnya benar. Toh sifatnya subyektif, sesuai dengan kelengkapan (atau kekurangan) informasi, bukti, pengetahuan, dan teori yang digunakan, serta konteks yang direntang dari asumsi ke simpulan. Terlebih dikemas pula dengan bahasa kekinian yang meliuk, melambai, dan menikung. Luar biasa!

Masalahnya, sekali pun hubungan kami tidak selalu baik-baik saja, dia tetap karib. Terhadap musuh sekalipun saya tidak pernah menyimpan hati, apalagi untuk kawan. Musuh yang keliru wajib diingatkan. Kawan yang silap, walau misalnya dilakukan dengan sadar dan sengaja, mutlak diluruskan. Maka, saya kira tidak ada salahnya jika sejumlah fakta fundamental yang disitir, yang ''mujur tak dapat ditolak'' sepertinya 100% hasil karangan dan duga-duga belaka, mendesak dan mustahak segera dikembalikan pada khitahnya.

Saya mesti terlebih dahulu men-disclosure, bahwa: tulisan ini bukan ajakan berdebat. Lagi pula apa yang saya beberkan tidak penting-penting amat, walau memang menyangkut akurasi yang mempengaruhi pengetahuan dan persepsi para pembaca analisis Pitres itu. Dan saya menjamin: fakta-fakta yang saya sampaikan tidak dicomot begitu saja dari dahan namu-namu, dibaca dari daun pisang, atau ditangkap dari bisikan angin dan pohon pinang. Saya tahu persis, mendengar langsung, melihat, dan ada ketika apa yang dipaparkan ini terjadi.

Bacaan sepintas saya, setidaknya ada empat fakta yang tingkat kekeliruannya mencengangkan dan perlu dikoreksi demi menjaga nama baik Pitres--yang juga diketahui telah pula menulis buku sejarah (kalau tidak salah, salah satu fragmen penting dalam sejarah Bolmong). Saya tidak tahu apakah dengan demikian dia sudah boleh dibaptis juga sebagai sejarawan. Namun, mengingat jantung sejarah adalah akurasi data dan peristiwa serta orang-orang yang terlibat, agar ''sejarawan'' kita ini selamat dari penyesatan terhadap pembaca dan penyimaknya, (apa boleh buat) dia harus diluruskan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Pertama, nama Yasti Soepredjo Mokoagow dan peran Ismail Dahab. Sejak masih mahasiswa di FISIP Unsrat Yasti memang sudah dikenal sebagai Yasti. Saya tahu persis karena dia adik tingkat (saya sendiri di FT) yang aktif dalam banyak kegiatan di kampus. Nama inilah, jauh sebelum dia memutuskan ikut Pemilu 2009, yang kemudian dilegalkan melalui dokumen hukum yang diakui di negeri ini.

Tidak ada peran Ismail Dahab, yang disebut Pitres sebagai konsultan politik, yang menyarankan agar dia menyandang nama ''Yasti Soepredjo Mokoagow''. Ismail bahkan baru terlibat dalam tim yang mengantar Yasti terpilih sebagai anggota DPR RI 2009-2014 setelah hampir seluruh strategi dan perangkat pendukung kampanye pencalonannya selesai disusun dan dibuat.

Tentu kalau Pitres berendah hati mengakui bahwa dia memang mengarang-ngarang saja, dia tak bakal segan menguji apa yang saya sampaikan ini dengan mencermati dokumen-dokumen legal riwayat hidup Yasti, juga menanyakan langsung pada Ismail Dahab.

Kedua, sinisme bahwa Yasti adalah kontraktor proyek-proyek pemerintah dan baru berkelimpahan (finansial) setelah menjadi anggota DPR RI. Dugaan ini juga pasti hasil raupan dari gosip kedai kopi. Pitres tampaknya tidak pernah tahu, diberi tahu, atau mencari tahu, bahwa sebelum meraih gelar sarjana Yasti sudah membangun perusahaan (dengan tangan dan otaknya sendiri) dan berhasil mendapatkan kontrak besar dan gurih dari satu perusahaan multi nasional.

Mengingat saya bukan juru bicara atau kuasa hukum Yasti, Pitres boleh mengecek sendiri info tersebut--lengkap dengan kronologi tahun ke tahunnya--, misalnya melalui laporan pajak yang bersangkutan.

Ketiga, menang di beberapa kompetisi politik karena kekuatan logistik. Ini spekulasi hasil generalisasi. Seperti mengatakan semua burung bisa terbang, tetapi kecuali burung onta dan keluarganya. Sekali lagi, jika kawan Pitres tidak buru-buru berpanas hati, saya bisa menunjukkan contoh bagaimana pendanaan politik yang melibatkan Yasti dikelola. Dari 2009, bundelan dokumennya masih terjaga dengan baik, lengkap, dan apa adanya. Serta, yang terpenting, membuktikan, dia adalah politikus yang meraih posisi dengan biaya yang, kalau terlalu lebay disebut murah, maka kita katakan saja sangat masuk akal.

Dan, keempat, Salihi B. Mokodongan terpilih sebagai Bupati Bolmong 2011-2016 semata karena faktor mujur. Pitres, maafkan saya, tapi pernyataan  ini jelas hasil linduran yang mengecilkan kecerdasan, kecerdikan, dan kepiawaian banyak orang. Tanyakan langsung pada Salihi bagaimana dia dipersiapkan sejak setelah Pemilu 2009 untuk bertarung di Pilkada Bolmong 2011. Mulai dari rencana Cawabup, kemudian berubah menjadi Cabup, dan akhirnya terpilih.

Tanyakan pula pada banyak orang yang terlibat, yang berada di lingkaran terdalam tim yang mengantar SBM-YT sebagai Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016, bagaimana perencanaan terstruktur dan kerja-kerja politik massif yang dilakukan supaya pasangan ini sukses. Kalau pun ada faktor mujur, karena Salihi ditemukan dan diusung oleh orang-orang yang tepat.

Saya kira demikianlah koreksi ini, tidak lebih dan kurang sebagai ekspresi sayang dan hormat saya pada Pitres. Kamerad dan karib yang hubungannya dengan saya tidak selalu manis dan tidak pula pernah benar-benar pahit. Kita masih tetap kompak kan, Pit?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPR RI: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; FISIP: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik; FT: Takultas Teknik; Pemilu: Pemilihan Umum; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; SBM-YT: Salihi B. Mokodongan-Yani Tuuk; Sulut: Sulawesi Utara; Unsrat: Universitas Sam Ratulangi; dan Wabup: Wakil Bupati.