Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, June 30, 2013

Jangan Lupakan Almarhumah Elvira Mokoginta!


KEPOLISIAN Resort Bolaang Mongondow (Polres Bolmong), Sabtu (29 Juni 2013), menetapkan tiga tersangka kasus pembunuhan Abdullah ‘’Ayu’’ Basalamah. 11 hari kerja keras polisi menjawab keingintahuan dan harapan orang banyak, sekaligus menghentakkan kita.

Tiga tersangka yang kini menghuni tahanan, RZ, AA, dan KM, tergolong berusia muda dengan pendidikan relatif baik (salah satunya duduk di semester V Akademi Perawatan Totabuan). Latar belakang keluarga dan pergaulan juga tak mengindikasikan potensi yang mendorong mereka gelap mata dan memilih bertidak melawan hukum. Bahkan dua pelaku –yang untuk sementara ditetapkan sebagai pelaku utama— sangat mengenal Almarhum Ayu, baik karena pergaulan sehari-hari maupun tempat bermukim yang hanya sepelemparan batu dari Ayu Salon.

Setan jenis apa yang malam itu menghuni kepala dua tersangka pelaku utama? Terlebih dari temuan polisi yang dipublikasi luas oleh media (khususnya digital), aksi mereka sudah direncanakan sebelumnya. Memang masih terlampau dini menyimpulkan apakah tragedi menewaskan Ayu sejak mula adalah pembunuhan berencana atau kekerasan berencana yang tak terkontrol. Kita biarkan polisi terus bekerja agar seluruh tanda tanya dan praduga terjawab tuntas.

‘’Prestasi’’ Kepala Kepolisian Resort (Kapolres Bolmong), AKBP Hisar Siallagan, SIK, dan jajarannya tentu tak boleh diabaikan. Pertama, warga Mongondow, terutama saya yang beberapa waktu terakhir bersikap sangat kritis terhadap Kapolres dan jajarannya, harus memuji kesigapan dan gerak cepat polisi menjerat tersangka pembunuh Almarhum Ayu. Ditangkap dan ditetapkannya tiga tersangka itu juga memberikan ketenangan terhadap sejumlah teman dan kolega Almarhum, yang ketakutan karena duga-duga kematiannya terkait dengan penganiayaan yang dialami sebelumnya.

Pujian yang sama terhadap Kapolres dan jajarannya karena diam- sudah melimpahkan (lagi) berkas satu tersangka penyalahgunaan dana Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong). Pelimpahan yang dikonfirmasi Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kotamobagu sebagaimana yang diwartakan Radar Totabuan, Kamis (27 Juni 2013), MMS Masuk Kejaksaan, benar-benar membangkitkan optimisme dan kepercayaan terhadap polisi dan jajarannya di Mongondow.

Kedua, menurut keterangan polisi, motif sementara dua tersangka utama kasus pembunuhan Almarhum Ayu adalah ekonomi. Untuk itu, siapa pun yang selama ini menggulirkan duga-duga, prasangka, dan gosip yang mengait-ngaitkan peristiwa yang dialami Almarhum dengan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, menurut hemat saya berhutang maaf dari Sehan Lanjar. Kita semua belum lupa bahwa hari-hari setelah korban ditemukan tak bernyawa di dalam salon miliknya, Sehan Lanjar ‘’dianiaya’’ dengan aneka spekulasi dan pengerusakan nama baiknya.

Saya kira adalah sikap yang adil, bijaksana, dan terhormat bila mereka-mereka yang mengolah dan menyebarkan prasangka itu menyampaikan permintaan maaf. Setidaknya lewat pesan berantai atau broadcast message dan status BlackBerry Messenger (BBM) sebagaimana ketika mereka menginsinuasi Sehan Lanjar.

Ketiga, dengan tetap memuji kerja keras polisi, kita tak boleh mengabaikan bahwa mereka masih berhutang kasus-kasus lain yang tidak lebih kecil dari tragedi Almarhum Ayu Basalamah. Tewasnya bocah perempuan dari Desa Paret, Boltim, yang hilang pada Sabtu (26 Juni 2011) dan ditemukan dalam kondisi menggenaskan (diduga diperkosa, dibunuh, kemudian jasadnya dibakar), hingga kini tak ketahuan juntrungannya.

Ketika itu polisi sempat menahan seseorang yang terakhir terlihat membonceng Almarhumah Elvira. Tapi dengan alasannya tak cukup bukti, seseorang tersebut kemudian dilepas dan setelah itu kasus ini perlahan menguap, tak terdengar, dan mungkin sudah dilupakan.

Tak ada kandungan niat membangkit kepedihan keluarga, orang dekat, dan mereka yang mengenal dengan mengingatkan kejahatan yang ditimpakan pada Almarhumah Elvira Mokoginta. Tapi setelah berlalu lebih dua tahun sejak anak kelima dari enam bersaudara keluarga Aleng Mokoginta dan Suriati Modeong itu berpulang, akankah akhirnya kita pasrah dan mengarsipkan kasusnya di file dark number?

Saya masih mengingat peristiwa yang menimpa bocah itu dengan hati yang patah. Dan saya yakin, Kapolres Hisar Siallahan yang belum bertugas di Bolmong di saat Almarhumah Elvira Mokoginta dihabisi dengan darah dingin, perlu diingatkan ada pekerjaan rumah yang menunggu diselesaikan. Kalau Kapolres dengan tegas menyatakan pengungkapan kasus Ayu adalah harga diri buatnya (Totabuan.Co, Kamis, 20 Juni 2013, Kapolres: Soal Kasus Ayu Basalama (h), Itu Harga Diri Saya); mengapa hal yang sama tidak pula untuk kasus-kasus yang lain?

Tersebab begitu lamanya kasus Almarhumah Elvira Mokoginta terkatung-katung, pengungkapannya justru lebih dari sekadar harga diri Kapolres, melainkan jajaran kepolisian di Sulawesi Utara (Sulut). Bukankah polisi sudah kian mumpuni didukung pengetahuan dan peralatan canggih? Apalagi dibanding kejahatan kerah putih, terorisme, dan sejenisnya yang kompleks, menurut hemat saya kasus pembunuhan terhadap Almarhumah Elvira Mokoginta tidak serumit itu.

Terlintas di benak saya syak buruk, bahwa kasus Almarhumah Elvira Mokoginta tak ketahuan ujung-pangkal karena keluarganya bukan siapa-siapa. Kedua orangtuanya ‘’cuma’’ warga kecil dan papah yang berada di pinggiran lingkaran sosial dan ekonomi masyarakat umumnya. Derita dan pedih mereka dilupakan karena tidak ada media yang mendukung agar isunya mengundang atensi luas. Tidak ada pula organisasi atau kelompok yang berdemonstrasi menekan polisi agar bersegera menguak peristiwanya seterang-terangnya.

Kalau jajaran kepolisian memang memerlukan dukungan dalam bentuk apapun, terutama menjadikan keluarga Almarhumah Elviras Mokoginta penting di mata publik, membetot perhatian media, dan tekanan demonstrasi, mohon kami yang belum melupakan peristiwa hitam itu diinformasikan. Kalau hanya mengundang semua Bupati dan Walikota (terpilih di KK) menyambangi keluarga Almarhumah Elvira Mokoginta untuk menunjukkan betapa penting keadilan bagi orang kecil dan menggerakkan demonstrasi, mungkin saya dan beberapa orang cukup mampu melakukan.

Perihal media yang tak peduli dan kerap amnesia, kita serahkan pada ideologi yang diusungnya dan hati nurani para jurnalisnya.***