Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, June 26, 2013

Belajar Kalah dengan Kepala Tegak


SIKLUS keseharian warga Kotamobagu tampaknya tak lagi beda dengan penduduk metropolis yang nyaris berlangsung 24 jam tanpa henti. Sudah lama saya membiasakan tak heran bila tiba-tiba menerima telepon, pesan pendek (SMS), atau BlackBerry Messenger (BBM) dari kawan atau kerabat yang bermukim di Kotamobagu, ketika waktu menunjukkan separuh malam telah berlalu.

Itulah yang terjadi tatkala Rabu (26 Juni 2013) baru saja ditapak. Dari pesan-pesan yang berdatangan bersama menyurutnya lalu-lintas di jalan depan kediaman saya, salah satunya diawali dengan pertanyaan santun, ‘’Bolehkah saya menyarankan sesuatu pada Abang?’’

Wow, jangankan saran, pendapat, nasihat, atau tauziah, caci-maki sekali pun kalau itu koreksi yang meluruskan pikir dan laku saya, pasti diterima penuh ikhlas. Prinsipnya: hanya mereka yang benar-benar menyayangi, peduli, dan tulus yang bersedia mencapek-capekkan diri, menahan kantuk menjelang subuh, demi menyampaikan satu atau lebih patah kata.

Tapi apa yang disampaikan itu? Kurang lebihnya adalah, ‘’Jangan pedulikan pendapat miring satu-dua orang berkaitan dengan kritik untuk Mongondow yang selama ini dituliskan. Orang Mongondow sudah pintar untuk tahu mana yang benar dan yang tidak. Mana yang lurus dan yang bengkok. Yang tulus dan yang bermotif udang di balik batu. Yang independen dan yang sarat pesan sponsor serta kepentingan subyektif.’’

Apapun musabab dilayangkannya saran itu, saya terima dengan berlipat terima kasih. Itu tanda awas yang mengingatkan agar saya lebih berhati-hati. Supaya menjaga mulut, tangan, dan kaki. Agar saya nyanda ta epret (entah penggunaan kata ini tepat atau tidak) tersebab salah ucap, teledor menggenggam, dan abai menjaga langkah.

Di sisa malam yang merangkak, saya dan sang pemberi saran bertukar aneka cerita terkini dari Mongondow, terutama gegar pemilihan Walikota-Wakil Walikota Kota Kotamobagu (Pilwako KK) yang masih hangat jadi pembicaraan. Untuk isu ini, saya secara khusus menekankan sudah saatnya semua pihak cooling down. Rakyat telah menjatuhkan pilihan dan bukan untuk patahana. Jadi mari dengan hormat kita antar Djelantik Mokodompit mengakhiri jabatannya.

Selebihnya, percakapan kami mengalir memprihatini yang jadi konsern, menertawai kebodohan bersama. Dan saya beristirah dalam tidur tanpa mimpi. Satu hari lagi terlewati dengan kebanggaan sebagai orang Mongondow, sebagaimana dan seperti apapun perilaku, atraksi, dan sirkus masyarakatnya.

Namun, membaca situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com), tekad berhenti mengomentari Pilwako KK saya urungkan. Adalah berita Pemilukada Kotamobagu: Panwas Kotamobagu Belum Terima Laporan yang diunggah Rabu petang (26 Juni 2013), yang mengusik saya. Bukan kutipan pernyataan salah satu pimpinan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), Shakespeare Makalunsenge, yang mengakui ada politik uang tetapi tak bisa ditindak karena tidak tertangkap tangan. Atau penegasan Sekretaris Panwaslu, Hendra Manggopa, pihaknya tak menemukan pelanggaran yang berbau pidana.

Pernyataan dua petinggi Panwaslu itu menggelikan. Kecuali anggota Panwaslu, seluruh KK tahu, melihat, atau bahkan terlibat lalu-lalang rupa-rupa ‘’serangan’’, dari duit hingga bahan pokok. Yang menjadi operator dari tim sukses, pendukung, hingga aparat birokrasi. Jadi bukan tidak ada pelanggaran atau sulit menangkap tangan pelanggaran, tetapi Panwaslu memang cuma manuk to’ina.

Tetapi apa yang mengusik itu? Pernyataan salah seorang kandidat, Muhamad Salim Lanjar (MSL) seusai proses pencoblasan yang ingin saya garis bawahi. Tribun Manado menulis, kendati tidak puas dengan hasil Pilwako yang diwarnai polilik uang, MSL menegaskan, ‘’Calon pemimpin cenderung melakukan segala cara untuk menang. Tapi saya tidak akan melakukan upaya hukum untuk kasus tersebut.’’

Pengakuan tak langsung terhadap keunggulan lawan dan komitmen menerima hasil Pilwako dari MSL patut dipuji sebagai ekspresi kesadaran politik yang semestinya dimiliki tiap politikus. MSL paham, kendati dengan kekecewaan, bahwa kompetisi politik bukanlah pertandingan lari 100 meter, 200 meter, bahkan 10 km. Pilwako adalah arena brutal hingga ke cara dan trik paling kotor, sepanjang tidak ditiup oleh wasit (Panwaslu yang cuma bisa berkotek itu).

MSL dengan tepat memperlihatkan bagaimana seorang petarung yang kalah bersikap: Meninggalkan arena dengan kepala tegak. Petarung jenis ini pantas mendapat hormat dari lawan, penonton, dan kita semua.

Sebaliknya, saya menyesalkan kandidat patahana, Djelantik Mokodomit (DjM) yang berpasangan dengan Rustam Simbala (RS), yang justru berkoar dia menerima laporan politik uang di hampir tiap desa dan kelurahan. Katanya, "Ada fenomena jangan memilih dengan membeli undangan atau ditahan. Atau tidak datang dikasih duit.’’ Ini omongan orang kalah yang tidak berkaca dan tahu diri.

DjM adalah incumbent yang bertarung di Pilwako dengan tetap punya kekuasaan sebagai Walikota. Didukung dua partai besar, Partai Golkar (PG) dan PDI Perjuangan, yang selain punya infrastruktur politik kuat, juga memiliki sumber daya dana mumpuni. Boleh dibilang, DjM-RS-lah yang paling memenuhi syarat menjadi pengendali dinamika dan praktek politik di Pilwako KK.

Menguarkan isu politik uang tak lebih dari meludah ke arah datangnya angin. Dia pula yang bermandi liur sendiri. Bila omongan DjM itu dijadikan dasar adanya pidana Pilwako, lalu institusi dan aparat berwenang mengusut dengan serius, saya yakin yang bakal terjerat adalah DjM sendiri, tim sukses (TS), pendukung, dan simpatisannya.

Atau akhirnya politik uang itu dikedepankan semata agar ada kambing hitam? Kalau demikian, kudis modus politik yang dipraktekkan DjM, TS, pendukung, dan simpatisannya cuma kelas receh. Kita semua tahu berapa nilai rupiah yang dibagikan kubu patahana dan berapa yang digelontorkan pesaing utamanya. Jangang marah kalu ngana pe serangan lebe kacili dari yang laeng pe serangan.

Dari pernyataan DjM, orang-orangtua Mongondow akan menilai sikapnya sebagai dia’ ko oya’. Padahal, aka no oya’ don, yo kita ta intau Mongondow na’a in tonga bidon mo matoi atau simimpatoi. Yo simimpatoi don au’, sin intau ibanya in mota’au bi’ doman aka tonga’ mo matoi.

Sebagaimana pun, menjelang berakhirnya masa kekuasaan DjM, kita patut menjaga dan mengantar dia paripurna sebagai pemimpin warga KK. Sebaliknya, orang banyak ini juga mengharapkan DjM berhati-hati dengan kata-kata dan adabnya, demi harga diri dan kehormatan sendiri.

Nasehat kecil dari saya: ‘’Kintum don ule in ponulad-mu, ba' dia' mo'i topa' kon ulod.’’ Kalah bukan akhir dunia. Sesakit apapun itu.***