Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, June 18, 2013

In Memoriam Ayu


DI KOPI Jarod Sinindian, Selasa (11 Juni 2013), Ayu Basalamah melangkah malu-malu ke meja di mana saya bersama beberapa kawan sedang reriungan. Di akhir senja itu, hampir dalam nada berbisik, dia mengisahkan kembali penganiayaan oleh sejumlah bangsat di Bolaang Mongondow Timur (Boltim) berminggu-minggu lampau.

Dia menutur bagaimana serangkaian pesan BlackBerry Messenger (BBM) yang dikirim ke seseorang ternyata berbuah tubuh nyaris remuk, dua kali pingsan, beberapa rusuk kanan patah, dan salah satu mata terancam cacat permanen. Sembari menatap rambut yang dicat pirang, lalu wajah kemayunya, saya membathin: ‘’Apakah maha bahaya yang mengancam dari Ayu hingga dia layak diremuk-redam segerombolan laki-laki berotot dan terlatih? Sedemikian besarnya keliru yang dia perbuat hingga layak menanggung derita seperti itu?’’

Saya memang dianggap sebagai salah seorang pembela Ayu yang sesungguhnya bernama lengkap Abdullah. Saya meradang sewaktu mengetahui nahas yang ditimpakan padanya, Sabtu (23 Maret 2013), hanya gara-gara BBM yang berisi cacian terhadap Bupati Boltim. Padahal Sehan Lanjar yang menjadi obyek BBM Ayu justru tak menanggapi terlampau serius.

Di Mongondow ekspresi loyalitas tampaknya kian sulit dipisahkan dari pemujaan membabi-buta. Cacian terhadap Bupati Boltim, misalnya, tidak mengurangi dan menambahi rekam-jejaknya sebagai sosok istimewa di antara sedikit sekali pemimpin publik di daerah ini. Sehan Lanjar, sepengetahuan saya, juga sadar bahwa sehebat apapun dia, dia tetap manusia biasa yang manusiawi. Dia boleh dipuja, juga dicaci. Kalau itu menyinggung harga diri, menggores kehormatan, mari serahkan pada aparat berwenang.

Tapi bagi sejumlah orang yang menjunjung idolanya melebihi akal sehat, yang sepele sekali pun bisa menggelapkan mata. Dan jatuhlah korban, Ayu yang bukan petarung, preman, atau sejenisnya. Dia cuma perempuan yang terperangkap di tubuh laki-laki, pemilik dan pengelola Ayu Salon, dengan satu-satunya daya yang dimiliki: mewartakan deritanya ke banyak pihak sembari berikhtiar mencari keadilan.

Ayu yang tak berdaya itulah yang menemui saya bersama berakhirnya petang, hari itu, yang ternyata menjadi pertemuan terakhir kami. Senin (17 Juni 2013) dia ditemukan di salon miliknya dalam kondisi mengenaskan. Tewas dengan tangan dan kaki terikat serta mulut dibekap plastik perekat. Saya bahkan tak tega menggambarkan seperti apa kondisi jenazahnya. Yang saya tahu, dingin yang mendadak mengaliri dada adalah rasa hati yang basah digenangi airmata.

Ayu berpulang disaat tengah terseok-seok mengais-ngais keadilan hanya dengan dukungan kelompok kecil ‘’sesama’’ dan beberapa orang yang bersimpati dan berempati. Kini, kita semua, seluruh orang Mongondow yang tahu apa yang dia alami, menanggung hutang menuntut keadilan yang menjadi hak Ayu akibat penganiayaan Maret 2013 lalu, juga menguak mengapa dan siapa-siapa yang dengan darah dingin menghabisi nyawanya.

Kita juga mesti menjawab: Mengapa yang paling lemah dan tak berdaya selalu menjadi korban pertama di tengah satu bangunan masyarakat yang mestinya beradab? Di manakah budaya tinggi dan solidaritas sosial di Mongondow yang diagung-agungkan dengan bahasa berbunga-bunga: Mototabian, mototanoban, bo mototompiaan? Pula, di mana –atau masih adakah—hukum dan aparat berwenang yang menjadi penjaga rasa aman kita di Mongondow?

Saya tak ingin mengait-ngaitkan tewasnya Ayu, peristiwa yang dia alami sebelumnya, juga upayanya memperjuangkan keadilan. Boleh jadi peristiwa satu dengan yang lain sama sekali tak berkaitan. Tugas polisilah menguak latar belakang, motif, dan pelaku yang menghabisi Ayu; sebagaimana tugas polisi pula menyeret pelaku penganiayaan yang dia alami, yang sepengetahuan saya setelah hampir dua bulan baru menetapkan satu tersangka.

Tak terelakkan kita harus amat sangat serius mempertanyakan kinerja aparat kepolisian di Bolaang Mongondow (Bolmong). Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Bolmong, mungkin pula Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulut, pasti naik darah bila saya menuding serangkaian peristiwa yang menimpa Ayu, yang berujung kematiannya, tak lepas dari andil institusi ini dan aparatnya. Tapi demikianlah fakta yang terjadi di hadapan kita.

Sejak mula saya percaya, mengungkap peristiwa penganiayaan terhadap Ayu oleh sejumlah oknum pada Maret 2013 lalu tidaklah memerlukan kecanggihan pengetahuan dan peralatan pendukungnya. Bagaimana kejadiannya, apa penyebab, dan siapa-siapa pelaku –juga pihak yang terlibat--, terbeber di hadapan publik dalam waktu singkat. Anehnya, polisi bertindak dengan kecepatan setara siput dan kura-kura.

Polisi yang biasanya cekatan berhadapan dengan tindak pidana dan kriminal telanjang, mendadak kehilangan taji. Mereka bahkan perlu didorong-dorong dukungan unjuk rasa para waria hingga laporan Ayu ke Markas Besar (Mabes) Polri, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), serta lembaga serta institusi hukum dan kemanusiaan lain. Dengan kelambatan tindakannya, polisi seperti dengan sengaja menjadikan peristiwa kriminal biasa menjadi isu besar.

Andai polisi bertindak cepat, menangkap para tersangka dan memproses untuk menunjukkan hukum dan keadilan bekerja tanpa pilih bulu, saya yakin Ayu tidak akan berkelana ke mana-mana mengadukan deritanya. Membuat penganiayaan yang dia tanggung menjadi isu yang terus-menerus membesar dan jadi perhatian luas. Tidak pula ada alasan bagi para free rider dan pengail di air keruh mengaitkan-ngaitkandengan peristiwa politik yang tengah berlangsung di Mongondow; atau menjadikan amunisi gosip teori konspirasi kepentingan sumir dan sesaat.

Nasi telah menjadi bubur. Di tangan polisi kini ada dua kasus yang harus selesaikan, sendiri-sendiri atau ternyata saling terkait, mohon diungkap sesegera mungkin sebelum getahnya makin meluber ke mana-mana. Kalau tidak juga, dengan segala hormat, apa kami yang prihatin ini mesti meminta tolong Gerakan Pramuka, organisasi masyarakat (Ormas), atau perhimpunan dukun?

Untuk Almarhum Ayu, saya tak lagi mampu menuliskan apa-apa. Kesedihan, juga amarah ini, telah melampaui batas yang dapat dijelaskan dengan kata-kata. Ayu, beristirahatlah dengan tenang. Apa yang ditinggalkan, yang jawabannya ingin kau ketahui, tidaklah lagi menjadi bebanmu. Itu hutang yang tanpa henti wajib kami tagih pada semua yang berwenang menegakkan hukum di negeri ini.***