Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, June 24, 2013

‘’Talipa Toh, Bo Onuon?’’


KEPALA daerah –gubernur, bupati, atau walikota— petahana yang gagal terpilih di periode kedua pasti luar biasa tak sukai rakyat yang dipimpin. Saya tidak ingat pengamat politik siapa yang mengucapkan, ‘’Hanya incumbent yang bodohnya tak ketulungan yang gagal menjabat lagi di periode kedua.’’ Tanpa repot menelusuri muasal kalimat itu, saya 100 persen sependapat.

Walikota Kota Kotamobagu (KK) 2008-2013, Djelantik Mokodompit (DjM), membuktikan dia dianggap tak pantas lagi melanjutkan jabatan yang disandang selama lima tahun terakhir. Tak peduli berapa selisih kemenangan yang menyungkurkan DjM dari kursi kekuasaan, mayoritas warga kota telah menjatuhkan pilihan. Dan pilihan itu bukan untuk sang patahana.

Di Pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) KK hari ini, Senin (24 Juni 2013), pasangan TB-JD yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN) --dari berbagai versi hitungan sementara-- mengalahkan duet Djelantik Mokodompit-Rustam Simbala (DjM-RS) yang didukung dua raksasa, Partai Golkar (PG) dan PDI Perjuangan. Angka kemenangan TB-JD pun cukup telak, diperkirakan di atas 50 persen warga mendukung pasangan ini, melawan DjM-RS yang meraih suara di kisaran (lebih-kurang) 40-an persen.

Seberapa valid hitungan sementara itu? Mari kita abaikan hitungan-hitungan itu, sebab boleh jadi DjM-RS dan pasangan lain, Nurdin Makalalag-Sahat Robert Siagian (NM-SRS) serta Muhamad Salim Lanjar-Ishak R Sugeha (MSL-IRS), juga punya versi mereka sendiri. Kita gunakan saja lalu lintas informasi dari warga di seantero KK yang mengabarkan hampir di seluruh tempat pemungutan suara (TPS) pasangan TB-JD mendominasi perolehan suara.

Relatif kecilnya wilayah KK, padatnya populasi penduduk, serta infrastruktur informasi yang lebih baik dibanding daerah lain di Bolaang Mongondow (Bolmong), menjadikan peristiwa apapun dengan segera terpantau dan menjadi pengetahuan warganya. Mudah bagi orang per orang yang peduli terhadap hasil Pilwako saling mengontak dan membagikan hasil pilihan warga di TPS, lalu  mentabulasi, dan mengkonklusi hasilnya.

Monografi KK yang sedemikian itu juga membuat segala upaya curang dan manipulatif (tidak hanya dalam bentuk ‘’serangan 24 jam’’) tak punya cukup celah. Secara teoritis, hasil hitungan riil Pilwako KK bahkan dapat diketahui hanya beberapa jam setelah seluruh TPS menyelesaikan proses penghitungan suara. Maka cukup masuk akal bila setelah pukul 15.00 Wita sudah ada pendukung TB-JD yang merayakan kemenangan kandidatnya.

Bagi saya pribadi, hasil Pilwako yang mendudukkan TB-JD di urutan pertama bukanlah kemenangan pasangan ini, melainkan kekalahan DjM sebagai Walikota, yang sebenarnya sudah diprediksi sejak tiga tahun terakhir. Salah satu faktor utama, begitu menduduki kursi Walikota, DjM segera meninggalkan partai dan orang-orang yang mendukung dia. Sebuah kesalahan politik fatal yang dengan sombong dia abaikan.

DjM adalah tipe pelitikus dan pemimpin publik dengan kepercayaan diri terlampau tinggi, jumawa, yang mempraktekkan gaya kepemimpinan lama. Gaya yang tak lagi kontektual dengan tututan zaman dan perkembangan terkini masyarakat KK.

Yang saya amati, bagi DjM, dengan segala privilege, seorang pemimpin tak pernah keliru dan harus dipatuhi tanpa reserve. Keputusan membongkar Mesjid Raya Baitul Makmur (MRBM) atau merelokasi Pasar Serasi dan 23 Maret (sekaligus menggantikan dengan pusat belanja modern), adalah contoh kesenangannya yang hanya mendengar dan mempercayai kata-kata sendiri. Tak ada transparansi, apalagi konsultasi dengan seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dan berhak didengar.

Perilaku ‘’mau menang sendiri’’ itu dipertegas klaim seolah-olah hanya dia seoranglah (di beberapa kasus ditambah kelompok dan pendukungnya) yang jadi pusat apapun yang dianggap kemajuan di KK. Piala Adipura yang dua kali diterima KK di bawah kepemimpinan DjM adalah misal yang paling telanjang. Dengan atraktif penghargaan ini diarak konvoi kuning keliling kota. Celakanya, pesta itu harus mengorbankan pengawai negeri sipil (PNS) yang tak hanya dipaksa ikut serta, tetapi wajib merogoh kantong untuk menutupi aneka biaya yang dibutuhkan.

DjM kalah karena sepanjang masa pemerintahannya dia dengan penuh takzim menciptakan musuh dan ketidaksukaan dari orang banyak. Karena itu, sekalipun bukan Tatong Bara yang menjadi pesaing utama, siapa pun pasangan yang diajukan, sepanjang memenuhi kriteria minimal yang ada dipersepsi warga KK, DjM pasti turun dari kursi Walikota.

Dia menuai apa yang selama ini telah disemai, tumbuh, dan berbuah. So talipa toh, (meminjam istilah yang dipopulerkan pendukung DjM-RS) bo onuon? Adapun TB-JD yang tampaknya tak terbantahkan lagi bakal dikukuhkan sebagai Walikota-Wawali KK 2013-2018, walau berhak mengklaim bekerja keras memenangkan pilihan rakyat, sebenarnya sejak mula telah diuntungkan oleh pengetahuan dan persepsi negatif mayoritas masyarakat terhadap DjM.

Bagi saya pribadi, kekalahan DjM juga menjadi akhir dari sikap kritis saya terhadap dia. Saya tidak pernah tak menyukai, membenci, atau sentimen terhadap DjM. Yang saya kritik dan kritisi adalah perilaku dan kebijakannya sebagai Walikota KK. Tanpa kursi kekuasaan, dia tidak lebih dan tidak kurang adalah warga masyarakat biasa yang berhak mendapat perlakuan dan penghormatan yang sama.

Selamat menanggalkan jabatan, Djelantik Mokodompit. Selamat datang di tengah orang banyak yang biasa ini. Semoga Anda mampu segera membiasakan diri.

Mungkin Anda malah bakal bergabung dengan saya, mengawasi, mengkritisi, mengkritik, dan mencaci Walikota-Wawali 2013-2018, bila mereka lancung dari tanggungjawab dan fungsi yang diemban. Ini pekerjaan menantang yang pasti bakal terbeber di hadapan kita. Sebab sudah menjadi pengetahuan umum, setelah duduk di kursi Walikota-Wawali, pasangan TB-JD harus mulai mengkalkulasi dan membayar hutang politik dan sosial yang diakumulasi dari masa pencalonan hingga terpilihnya mereka.

Bila benar bisik-bisik yang beredar dari mulut ke mulut, bahwa dua hari menjelang hari H Pilwako pasangan pemenang menggelontorkan ‘’serangan 24 jam”’ mencapai Rp 15 milyar, dapat dibayangkan kerja keras lima tahun menggembalikan hutang sebesar itu (ditambah biaya kampanye dan sebagainya). Politik bukanlah relasi pertemanan dan karenanya tidak pernah ada makang siang gratis.

Saya berharap, setelah DjM menyelesaikan hutang-hutangnya (dia juga mengeluarkan banyak biaya selama proses Pilwako), kalau masih tercatat sebagai penduduk KK, mari sama-sama dengan saksama kita telisik kepemimpinan dan kebijakan-kebijakan TB-JD. Percayalah, menjadi tukang kritik itu selalu menyenangkan.***