Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, June 23, 2013

Habis Serangan Malam, Terbitlah Serangan Jantung


PEMILIHAN Walikota-Wakil Walikota Kota Kotamobagu (Pilwako KK) memang bukan pesta demokrasi biasa. Beberapa bulan terakhir hampir seluruh sendi kehidupan warga kota terimbas keriuhan persaingan di antara kandidat, tim sukses (TS), dan pendukungnya. Boleh dibilang, dibanding seluruh kota dan kabupaten di Sulawesi Utara (Sulut), Pilwako KK menjadi fenomena tersendiri.

Yang paling mencolok baliho, poster, dan stiker yang berserak di segala tempat. Dari tiang listrik hingga kuburan. Belakangan, kemeriahan –sekaligus kekacauan— itu dilengkapi adu lagu yang khusus dikreasi untuk kandidat tertentu, yang diputar dengan volume seenak telinga nenek moyang pendukung atau simpatisannya, terutama di bentor yang lalu-lalang. Begitu pula pesan pendek (short message service –SMS) dan BlackBerry Messenger (BBM) yang meruah, membikin batteray telepon terkuras.

Saking bersemangat dan fanatiknya para pendukung, hubungan-hubungan sosial dan kekeluargaan, duit dan harta benda (saya menerima pula broadcast tantangan bertaruh Rp 200 juta untuk kemenangan seorang kandidat), bahkan nyawa pun, rela dipertaruhkan. Demam Pilwako menjadikan tetangga berseteru, kakak-beradik saling mendiamkan, ayah-anak-menantu berpunggung-punggungan. Lebih dari itu, saya mencatat di Pilwako KK kali ini bahkan ada korban jiwa yang jatuh karena sekadar urusan memajang bendera dukungan terhadap kandidatnya.

Di KK, demokrasi sebagai cara beradab manusia mengekspresikan kebebasan nyaris dipraktekkan sebaliknya. Makin barbar cara yang dipilih, termasuk konvoi penuh raungan knalpot sepeda motor dan mobil –juga pelanggaran seluruh aturan lalu lintas--, tampaknya dimaknai sebagai kian syur-nya berdemokrasi.

Segala strategi dan taktik dikeluarkan, yang paling tak masuk akal sekali pun. Saya mengamati dengan ketercengangan bagaimana layanan publik Di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) nyaris lumpuh di saat kandidat tertentu menggelar kampanye terbuka, karena Bupati-nya adalah Ketua TS sang kandidat. Sama halnya dengan kantor-kantor pemerintah di Bolaang Mongondow Timur (Boltim) sepi bagai rumah hantu ketika Bupati Sehan Lanjar turun mendukung kandidatnya.

Jangan tanya lagi di Kotamobagu. Kandidat yang masih berkuasa sudah tak malu-malu menunjukkan syawat politik seperti yang terjadi ketika KK diumumkan menerima Piala Adipura ke-2. Sekretaris Kota (Sekkot) yang juga Pelaksana Harian (Plh) Walikota terkesan berebut kesempatan dengan pejabat lain, karena Walikota difinitif yang sedang cuti kampanye ‘’merasa’’ tetap berhak menunjuk siapa penerima piala tersebut.

Sesiapapun yang memahami tata laksana pemerintahan pasti menggeleng-ngelengkan kepala melihat sirkus politik itu. Paling-paling kita cuma bisa menyimpulkan: ‘’Kasiang, dia tako skali itu kursi Walikota mo talapas dari depe (maaf) panta.’’

Tapi aksi yang paling spektakuler tatkala Walikota patahana menggelar kampanye terbuka, lalu diumumkan ada puluhan kendaraan dari wilayah luar Kotamobagu yang hadir memberikan dukungan. Ya ampun, siapa sebenarnya yang berhak mencoblos? Pemilih di KK yang masuk Daftar Tetap Pemilih (DPT) atau anggota partai dan simpatisan dari luar? Menghitung dukungan dengan memasukkan faktor yang sama sekali tak relevan, tak beda dengan meng-klaim sang kandidat didukung seluruh jin dan hantu blau yang ada di KK.

Lalu datanglah tiga hari masa tenang sebelum hari H Pilwako yang akan berlangsung Senin (24 Juni 2013). Akhirnya mata yang capek melihat baliho, poster, dan stiker dapat diistirahatkan; kuping yang pekak dihantam lagu-lagu dukungan boleh rehat; dan otak yang panas dipaksa meresap dan mencecap segala omong kosong, sementara waktu diharapkan mendingin.

Begitukah kenyataannya? Tidak juga. Sejak Sabtu malam (22 Juni 2013) telepon saya menjerit-jerit karena BBM yang  tak henti-hentinya masuk. Kabar yang tiba adalah maraknya ‘’serangan malam’’ (hingga fajar) yang dilakukan TS dan pendukung para kandidat. Katanya (tersebab ‘’katanya’’, saya memilih bersikap netral, antara percaya dan tidak), TS dan pendukung kandidat A secara demonstratif bersafari membagikan Rp 100.000 per kepala pada warga yang memiliki hak pilih. Aksi itu, tak lama kemudian, disaingi kandidat B dengan nilai tiga kali lipat atau Rp 300.000 per kepala. Operator bagi-bagi berkat Pilwako itu –lagi-lagi ‘’katanya’’—bahkan melibatkan Lurah dan Ketua RT.

Tak usah ditanyakan di mana Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu)? Kita sudah mahfum lembaga ini sekadar ‘’mei-mei’’ di Pilwako KK. Ibarat ayam, mereka bukan jago yang punya taji. Dia ayam betina tanpa telur yang koteknya saja yang kerap kita baca menghiasi media massa.

Lagipula kita boleh menganggap uang siluman yang ‘’katanya’’ didistribusi ke warga yang memiliki hak pilih sebagai bagi-bagi rezeki hasil jarahan para kandidat. Darimana mereka mendapatkan dana dalam jumlah sangat besar, kecuali dari hutang yang akan diperhitungkan ketika nantinya terpilih? Hutang yang tak kecil, apalagi ‘’dengar-dengar’’ ada kandidat yang masih menyimpan amunisi dan akan menggelontorkan Rp 500.000 ribu per kepala, melibas Rp 100.000 dan Rp 300.000 yang sebelumnya sudah diedarkan.

Persetan dengan kemungkinan ada gugatan politik uang ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah Pilwako usai. Memangnya selama ini berapa banyak tudingan politik uang berhasil mengubah hasil pemilihan kepala daerah yang diputuskan di MK?

Namun tidakkah bagi-bagi uang oleh para kandidat itu sekadar pelebih-lebihan meramaikan Pilwako KK? Tidak, kata BBM yang saya terima. Salah satu takarannya adalah kondisi pasar di KK pada Minggu pagi (23 Juni 2013), yang bagai menjelang Idul Fitri dan Tahun Baru. Disesaki orang-orang yang belanja tanpa peduli harga-harga barang mulai melonjak karena pemerintah baru saja mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Di luar fakta adanya bagi-bagi uang telanjang di tengah warga pemilih, sahih atau tidak situasi pasar sebagai indikator pembuktian ‘’politik uang’’, tak perlu kita risaukan. Toh jantung para kandidat, TS, pendukung, dan –terutama—penyokong dana merekalah yang kini berdegup lebih cepat. Sudah tepat topik yang mendadak hangat di KK: ‘’Jangan ba marah kua’ kalu ngana pe kandidat depe doi cuma sadiki.’’

Sebab itu, untuk para kandidat, TS, pendukung, dan pendananya, sebagai sumbang saran, saya mengingatkan, ‘’Berhati-hatilah dengan jantung Anda selepas perhitungan suara nanti.’’ Serangan jantung dapat terjadi setiap saat, tanpa permisi dan pemberitahuan sebelumnya.***