Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, June 30, 2013

‘’ Simimpatoi Sin Pompulong’’


PLENO Komisi Pemilihan Umum Kota Kotamobagu (KU KK menetapkan pasangan Tatong Bara-Jainudin Damopolii (TB-JD) sebagai kandidat terpilih Walikota-Wakil Walikota (Wawali) 2013-2018. Melihat proses dan perolehan suara kemenangan pasangan ini, saya kira tak ada lagi yang perlu diperdebatkan dan permasalahkan.

Konklusi pemilihan Wawalikota-Wawali (Pilwako) KK mestinya tidak mengejutkan. 37.677 suara atau 52,81 persen dari total 71.350 suara yang diraih TB-JD hanya menegaskan penilaian warga terhadap buruknya kinerja dan kepemimpinan Walikota 2008-2013, Djelantik Mokodompit (DjM), yang berpasangan dengan Rustam Simbala (RS) dan hanya meraih  27.768 suara (38,92) persen. Dua pasang kandidat lain, Muhammad Salim Landjar-Ishak Sugeha (MSL-IRS) dan Nurdin Makalalag-Sahat Robert Siagian (SRS) masing-masing 5.055 suara (7,08 persen) dan  850 suara (1,19).

Dengan segala kelemahannya, pemilihan Walikota-Wawali (Pilwako) KK berjalan sebagaimana perhelatan politik yang kita kenal di Indonesia. Termasuk cukup tingginya jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilih. Anggota KPU KK, Amir Halatan, sebagaimana dikutip Beritamanado.com (http://beritamanado.com/berita-utama/golput-pilwako-kotamobagu-capai-15-ribuan/190744/), Rabu (26 Juni 2013), memperkirakan angka ‘’golongan putih’’ (Golut) itu mencapai kisaran 15 ribu pemilih.

Masyarakat KK yang dari berbagai aspek relatif ‘’lebih’’ dibanding seluruh wilayah Mongondow lainnya, membuat kalangan menengahnya (dari aspek ekonomi, sosial, dan pendidikan) cukup independen. Mereka inilah, dengan berbagai alasan, yang paling potensial menjadi Golput, termasuk karena meyakini tidak ada satu pun dari empat pasang kandidat peserta yang memenuhi kriteria minimal.

Di luar minoritas warga yang tidak memilih (sekali pun demikian angkanya cukup signifikan karena mengalahkan perolehan suara dua pasang kandidat dengan perolehan suara terbawah), mayoritas pendudukan KK sudah menetapkan siapa yang mereka dukung memimpin kota ini lima tahun ke depan. Kita lihat nanti apakah TB-JD mampu memenuhi harapan yang dilimpahkan di pundak mereka; atau keduanya pada akhirnya tak bisa mengelak dari business as usual sebagaimana yang dipraktekkan pendahulunya.

Sedini mungkin TB-JD harus diingatkan agar tak mengulang laku busuk yang dibenci orang banyak. Peringatan dini ini tak mengada-ada. Dalam sepekan terakhir saya melihat dengan cepat bibit-bibit lupa diri disemai utamanya oleh para pendukung dan penyokong mereka, setidaknya yang terlihat dari gelaran pesta dan suka ria yang tak jua berkesudahan.

Menang Pilwako baru langkah awal. Yang lebih berat adalah menunjukkan mereka pantas dipilih bukan karena masyarakat capek dan muak terhadap pemimpin terdahulu, patahana yang telah ditolak meneruskan jabatannya. Jangan sampai lima tahun mendatang TB-JD hanya mampu terhenyak (seperti yang dialami DjM) mendengar The Carnival is Over dari The Seeker (1968) dilantunkan mayoritas warga yang kini memilih mendukung mereka.

TB-JD boleh berkaca dari pahit dan dinginnya selamat jalan terhadap pemimpin yang dianggap gagal. Di hari KPU KK menetapkan hasil Pilwako, Jumat (28 Juni 2013), dengan daya yang dihimpun susah payah, segelintir pendukung DjM berupaya menunjukkan masih ada warga yang mencintai dia. Orang-orang yang dihimpun itu sedianya digerakkan menggelar unjuk rasa bersamaan dengan dilaksanakannya pleno KPU.

Melihat modusnya, mudah diduga siapa-siapa yang menjadi inisiator dan penggerak rencana unjuk rasa yang hanya bisa mengumpulkan puluhan mama’-mama’ itu. Memprihatinkan betul. Sebagai aktivis, juga politikus, yang selama hampir lima tahun mendapat berkah dan privilege dari DjM, mereka cuma punya kekuatan yang dengan mudah disaingi penghuni seperempat ruas Jalan Amal? Itu pun barisan mama’-mama’? Yang benar saja?

Harusnya Ketua KPU, Nayodo Kurniawan, tak perlu berbudi baik (atau justru kegenitan) menyelamatkan muka segelintir oknum tukang jilat yang jadi penggerak dengan menemui perkumpulan pompulong itu di kediaman pribadi DjM. Biarkan saja mereka simimpatoi sesukanya, toh ada aparat keamanan yang menindak setiap gangguan terhadap seluruh rangkaian Pilwako.

Menyaksikan unjuk rasa yang maksud dan tujuannya tak jelas, sekadar upaya ‘’biar nafas kurang satu-satu torang masih eksis’’, pasti cukup menghibur. Mungkin pula menambah pengetahuan dan pembelajaran terhadap orang banyak agar besok-besok waspada tidak mempermalukan diri sendiri.

Saya tak habis pikir, alih-alih bersama menjaga harkat dan martabat, para pendukung DjM (dan mungkin DjM sendiri), tak henti menciptakan kerusakan baru. Dengan masih bersiasat kiri-kanan, mencari-cari celah menganggu seluruh rangkaian Pilwako, mereka tak beda dengan terus menguras tabungan sosial dan politik yang mestinya disimpan demi kepentingan lain di masa mendatang. Mereka malah menempatkan posisi di sorotan seluruh warga Mongondow untuk dengan serius mempertimbangkan dukungan terhadap orang-orang di sekitar DjM di pemilihan umum (Pemilu) 2014 nanti.

Mengakui kekalahan memang menyakitkan, terlebih bagi yang mengidap delusi superior. Tapi perolehan TB-JD yang mencapai 52,81 persen suara pemilih sah Pilwako KK, dibanding 38,92 persen yang diraih DjM-Rs, terlalu absah untuk dikutak-katik lagi. Sekali pun saksi-saksi DjM-RS, MSL-IRS, dan NM-SRS tidak bersedia membubuhkan tanda-tangan di dokumen hasil pleno KPU. Ini sama artinya dengan mengingkari kesaksian dari pendukung-pendukung mereka yang menjadi saksi di tingkat tempat pemungutan suara (TSP) dan Panitia Pemilihan Kecematan (PPK).

Beralasan bahwa banyak kejanggalan yang terjadi selama Pilwako berlangsung, utamanya dari pasangan DjM-RS, tidak menggelikan lagi. Kilahan ini lama-lama memicu jengkel. Bukan karena itu alasan bodoh, tetapi tersebab yang beralasan sungguh tak tahu diri.

Tepatlah bila mereka yang keberatan dengan hasil Pilwako secepat-cepatnya melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana yang berulang kali dianjurkan oleh Ketua KPU KK. Dengan begitu warga kota juga tak perlu bertanya-tanya dan berspekulasi siapa saja pompulong yang simimpatoi karena ambisinya gagal diwujud.***