Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, June 26, 2013

Media, Jurnalis, dan ‘’Nanam Au’-a’’


KERIUHAN pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu (KK), yang merentang beberapa bulan terakhir dan memuncak Senin (24 Juni 2013), perlahan surut. Suka ria mengiringi keunggulan duet Tatong Bara-Jainudin Damopolii (TB-JD) dan duka dari tiga pasangan kandidat pesaing sebentar lagi tinggal nostalgi yang sesekali ditegok dan dijadikan menu bual-bual.

Tim sukses (TS), pendukung, dan simpatisan yang sebelumnya berhadap-hadapan, harus bersigegas kembali menjalani keseharian. Alangkah bodohnya memelihara perseturuan dan ketidak-sepahaman hanya gara-gara perbedaan pilihan. Apalagi para kandidat yang mati-matian saling mengalahkan, pasti dengan segera bertegur sapa dan berbagi senyum, setidaknya di hadapan umum.

Nah, ketika pikiran nobui bidon kon ulu in naton komintan, saya tidak akan membicarakan lagi hal-ihwal berbau sikat-sikut politik di Pilwako KK. Ada aspek lain yang subtansial, sangat mewarnai Pilwako, hampir setiap hari disua oleh warga kota, mempengaruhi mereka, sekaligus juga diterima dan berlalu begitu saja.

Ihwal penting itu adalah bagaimana media dan para jurnalisnya memainkan peran di Pilwako KK –sesungguhnya secara umum juga di pemilihan kepala daerah (Pilkada), khususnya yang berlangsung di Sulawesi Utara (Sulut). Dengan menggunakan pengetahuan normatif (bukan berarti saya mengabaikan UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan anutan-anutan dasar jurnalistik lainnya), kita dapat membagi sikap media di Pilwako KK ke dalam tiga kategori: memihak dengan tegas, netral, dan oportunis. Akan halnya para wartawan, terpolarisasi dalam dua kubu besar: memihak atau netral. Kubu kedua ini boleh diartikan sebagai mereka yang benar-benar berupaya menyajikan berita dan tulisan sesuai kaidah jurnalistik.

Dalam amatan saya (sekadar amatan yang amatiran), media kategori pertama, yang memihak, mengambil sikap mendukung satu pasang kandidat tidaklah dengan berbasis ideologi. Misalnya karena ide-ide dan pikiran kandidat  itu sejalan dengan yang dianut media bersangkutan. Pemihakan dilakukan berdasar faktor ekonomi (kontrak iklan, advertorial, atau sejenisnya), relasi khusus (biasanya hubungan baik antara media dan kandidat atau tokoh-tokoh partai politik pengusung), atau karena berita dan tulisan yang dipublikasi sangat bias pemihakan jurnalisnya.

Kategori kedua, yang netral, saya kira memang demikian media harus bersikap tidak hanya di Pilwako.

Dan kategori ketiga, yang oportunis, adalah varian dari kategori pertama, dengan titik berat pada faktor ekonomi. Kandidat siapa pun pasti akan didukung sepanjang ada kontribusi bernilai ekonominya. Media kategori ini sedap dibaca karena setiap hari sukses membingungkan pemilih.

Bagaimana cirinya? Gampang, lihat saja berita utama ketika pasangan kandidat A berkampanye dan di hari yang sama memajang iklan, juga besoknya menaburi media yang bersangkutan dengan ‘’berita berbayar’’. Berita dan tulisan yang terpampang pasti berjudul bombastis –setengah tak masuk akal--, misalnya, ‘’Kampanye Terbesar dalam Sejarah’’. Jangan heran pula bila lusanya kandidat pesaing, yang juga beriklan dan berkontrak ‘’berita berbayar’’, dilayani dengan judul yang sama dasyatnya, katakanlah semacam, ‘’Rekor Baru Kampanye Kandidat’’.

Kearifan pembacalah menafsir mana kampanye yang benar-benar terbesar dalam sejarah dan menjadi rekor baru; atau dua-duanya omong kosong belaka. Sebab barangkali judul seram itu cuma pelebih-lebihan belaka. Kecap yang satu dengan lainnya sama-sama ‘’merasa’’ nomor satu. Terlebih takaran ‘’merasa’’ adalah perpaduan antara nyada dan abstark.  Contohnya, ganteng dan ‘’merasa ganteng’’ boleh jadi berarti mirip-mirip atau sama sekali bertolak belakang. Bukankah merasa ganteng kendati punya wajah bagai habis dilanggar tronton belum pernah dimasukkan sebagai tindak pidana?

Nah, untuk para jurnalis, bukan rahasia lagi selama Pilwako KK berlangsung, mereka yang tergolong kategori pertama, yang memihak, umumnya terbagi ke dalam tiga kubu: Djelantik Mokodompit-Rustam Simbala (DjM-RS), TB-JD, dan Muhamad Salim Lanjar-Ishak Raden Sugeha (MSL-IRS). Tidak sekadar memihak dalam bentuk memproduksi berita atau tulisan yang ‘’relatif’’ menguntungkan kandidat yang didukung, tetapi bahkan terlibat langsung mengelola materi kampanye dan berkampanye.

Walau luput dari telisikan warga umumnya, selama Pilwako berlangsung rivalitas di kalangan kubu-kubu para jurnalis itu berlangsung di tempo dan tensi tinggi. Satu dan yang lain berlomba menampilkan berita dan tulisan mengunggulkan kandidat dukungannya sembari sedapat mungkin mendegradasi kandidat pesaing.

Warga Kotamobagu tahu persis siapa saja jurnalis yang mengambil sikap memihak kandidat tertentu. Sama halnya dengan mereka hafal jurnalis mana yang tergolong kategori kedua, yang netral. Kabar buruknya, kategori kedua ini tak banyak, itu pun harus hati-hati bersiasat membaca arah angin, mengingat mayoritas media yang meramaikan Pilwako KK pantas diklasifikasi dalam kategori pertama atau ketiga.

Apa kerugian media dan jurnalis yang tak bersikap netral ketika Pilwako selesai? Menurut hemat saya, dampak negatif jangka pendek ke media yang memihak atau oportunis tidaklah signifikan. Paling-paling pembaca akan mewasdapai kredibilitas isi media kategori ini. Tapi kalau perilaku itu berulang dan tak hanya di event politik, di jangka panjang pembaca pasti meninggalkan media bersangkutan. Dan media minim atau tanpa pembaca tentu bukan yang bakal dituju dan dipilih para pengiklan.

Berbeda dengan media, jurnalis yang memihak, terutama yang kandidatnya ternyata gagal, langsung memikul dua dosa besar: Tidak profesional (karena mengabaikan etika dan kode etik jurnalistik) dan bodoh (sebab bersukarela mendukung pecundang). Sanksi terhadap dosa pertama menjadi wilayah media tempatnya bekerja atau organisasi profesi di mana sang jurnalis bernaung. Itu pun setelah sebelumnya dibuktikan sang tersangka yang di hadapkan di depan majelis memang memihak dalam kapasitasnya sebagai jurnalis. Artinya, dapat dipastikan nyaris tak ada sanksi apapun terhadap pelanggaran kategori dosa pertama ini.

Lain halnya dengan dosa kedua, yang hukumannya langsung dan biasanya tak tertahankan, terutama dari sesama pewarta yang tak segan mengolok dan menojor kepala berisi otak kosong sembari menyeburkan, ‘’Sinumuba’ bi na’ pangkola’, yo nanam au’-a! ’’ Teledor dan memihak yang kalah memang menyakitkan. Dan saya tahu derita itulah yang kini dipikul sejumlah kawan jurnalis di Mongondow, di hari-hari setelah TB-JD secara de facto memuncaki perolehan suara di Pilwako KK.

Saya tentu bersimpati dan empati. Selebihnya: Bo unuon?***