Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, June 21, 2013

Tebang Pilih Terduga Tindak Pidana


BERHENTI cerewet menyoal dugaan tindak pidana dan cara kerja aparat berwenang di Mongondow, khususnya polisi, ternyata bukan perkara mudah. Surat elektronik dari salah seorang pembaca blog ini, yang saya terima Jumat sore (21 Juni 2013), memprovokasi saya lebih serius lagi mempertanyakan kinerja Polres Bolaang Mongondow (Bolmong).

Sejatinya surat elektronik itu hanya berisi tautan ke berita Kontraonline, Rabu (12 Juni 2013), yang memajang tajuk Meski Dilepas, SOP dan JT Tidak Bisa Nikmati SPPD. Di tubuh berita yang mengangkat isu ditetapkannya dua anggota DPR Bolaang Mongondow Timur (Boltim) sebagai tersangka pengedar materai palsu ini ada kutipan pernyataan dan penjelasan Kapolres Bolmong, AKBP Hisar Siallagan, SIK.

Kapolres antaranya menyatakan, ‘’Dua tersangka itu sebelumnya ditahan di Polres Bolmong, namun karena beberapa alasan dan atas permohonan yang disampaikan Bupati Boltim langsung beserta keluarga dari ke dua tersangka, maka status tahanan kami alihkan menjadi tahanan kota.’’ Ditegaskan pula, ‘’Jika mereka melanggar kesepakatan itu, maka yang bersangkutan terancam akan dimasukan lagi ke dalam jerujui besi.’’

Eh, ternyata kedua tersangka itu boleh turut dalam studi banding DPR Boltim keluar daerah, atas pengawalan polisi pula. Namun bukan soal keikutsertaan mereka yang lebih jauh dicermati dari ditersangkakannya dua anggota DPR itu, melainkan bagaimana Polres Bolmong dan jajaran memperlakukan kasus-kasus tertentu di wilayah juridiksi hukumnya.

Sepengetahuan saya, sebelum sangkaan tindak pidana mengedarkan materai palsu oleh dua anggota DPR itu diproses, ada kasus lain yang meriah di media massa: Dugaan penyalahgunaan dana makan minum (MaMi) di DPR Boltim, dimana polisi sudah memeriksa sejumlah saksi dan menetapkan satu tersangka. Bagaimana kabar kasus ini? Akhirnya benar-benar hanya ada satu tersangka atau masih akan dikembangkan entah sampai kapan?

Saya cukup paham hukum dan seluk-beluknya untuk menanyakan lebih lanjut: Mungkinkah seseorang di posisi struktural menengah melakukan tindak pidana penyalahgunaan anggaran tanpa sama sekali diketahui atasan langsung dan mereka yang berada di struktur lebih tinggi? Bagaimana mungkin seorang, katakanlah Bendahara Sekretariat DPR Boltim, leluasa mengeluarkan dana tanpa persetujuan dari Sekretaris dan jajaran Ketua DPR?

Bukankah praktek umum tata laksana keuangan di institusi manapun sudah jelas, bahwa seorang pemegang dana harus mendapat instruksi dan persetujuan sebelum mengeluarkan dan memanfaatkan dana yang ada di tangannya. Proses pencairan dana pun tidak hanya ditandatangani satu orang. Serta, yang maha penting: Pengunaannya harus taat sesuai penganggaran.

Bila kita, masyarakat biasa ini, boleh menggunakan ‘’terduga’’ terhadap pelaku tindak pidana yang tengah diproses aparat berwenang, maka absah pula polisi ‘’diduga melakukan tebang pilih’’ dalam menangani sejumlah kasus di wilayah Mongondow. Modus tebang pilih kian kuat sebagai dugaan kalau kita menelisik lebih jauh cara aparat di Polres Bolmong mengusut kasus lain yang melibatkan penguasa dan kekuasaan.

Kasus penyalahgunaan Tunjangan Penghasilan Aparat Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) Kabupaten Bolmong adalah salah satu contoh bagaimana polisi memanipulasi ‘’ingatan pendek publik’’. Kebanyakan warga Mogondow barangkali mulai samar mengingat bahwa penyalahgunaan TPAPD sudah menjebloskan beberapa birokrat teras Bolmong ke balik terali bui. Mungkin pula perlahan mengabaikan bahwa polisi pernah menyatakan ada tiga mantan pejabat dan pejabat teras politik dan birokrat yang patut diduga terlibat.

Bagaimana kabar proses hukum terhadap tiga tersangka itu? Apakah akhirnya mereka dapat dibuktikan ikut serta menjarah TPAPD atau tidak? Dugaan tindak pidana memang punya masa kedaluarsa panjang, tetapi menggantung status  hukum seseorang tanpa kejelasan tak dapat dielakkan menimbulkan tanda-tanya. Betapa ceroboh dan semena-menanya kerja polisi yang tanpa bukti kokoh menjadikan seseorang tersangka.

Dugaan tebang pilih itu juga sangat mencolok dalam kasus tindak pidana penerimaan Calon pegawai negeri Sipil (CPNS) Kota Kotamobagu (KK) 2009, yang menjerat beberapa birokrat teras (dan sudah pula menerima vonis pengadilan tingkat pertama). Dalam proses persidangan yang dicermati dan dipublikasi sejumlah media, terungkap peran penting elit KK yang anehnya hingga kini tidak ditindak-lanjuti oleh polisi dan jaksa.

Sekali lagi ingatan orang banyak terhadap kasus CPNS KK 2009 dibiarkan perlahan-lahan mengendap dan akhirnya melupakan karena ada keriuhan lain yang lebih atraktif.

Apakah di kasus TPAPD dan CPNS KK 2009 mereka yang terlanjur ditetapkan sebagai tersangka dan yang patut diduga terlibat (karena disebutkan dalam proses persidangan) punya kuasa dan uang hingga masih tetap bebas berkeliaran? Atau semata karena memang orang-orang itu sekadar ‘’patut diduga’’ tanpa didukung bukti kuat keterlibatannya? Kalau jawabannya adalah sebab kedua, polisi dan institusi hukum berwenang lainnya wajib memberikan klarifikasi dan membebaskan para terduga itu dari segala syak-wasangka hukum, demi keadilan yang mestinya ditegakkan walau langit sebentar lagi jatuh menimpa kepala kita.

Bila tidak, polisi –juga aparat penegak hukum lain di Mongondow—memang brengsek-se-brengsek-brenseknya.

Nah, kembali ke dua anggota DPR Boltim yang kini menyandang ‘’tersangka pengedar materai palsu’’, agar Polres Bolmong dan jajarannya tak dicaci orang-orang yang sadar hukum, sebaiknya sesegera mungkin dijelaskan (juga dijerat) siapa tersangka pembuat yang jadi asal benda haram jadah itu. Sungguh lucu ada pengedar yang menanggung hukuman sementara pembuat materai yang disangkakan palsu justru tak ketahuan juntrungannya. Terlebih, sepengetahuan saya, salah seorang anggota DPR Boltim yang menjadi tersangka telah melapor ke Polda Metro Jaya sebagai korban karena tertipu membeli materai palsu.

Mengedarkan materai yang diduga palsu tidak serta-merta mendudukkan seseorang sebagai kriminal bila dia tak tahu menahu keaslian dan kepalsuan benda yang ada di tangannya. Posisinya sama dengan seseorang yang membelanjakan uang yang ternyata palsu, yang mampir di tangan tersebab dia awam dalam soal uang asli dan palsu.

Berbeda dengan mengedarkan narkotika dan obat terlarang (Narkoba) yang otomatis menjerat pelakunya sebagai tersangka kriminal, dalam soal materai –juga uang palsu-- polisi profesional harusnya terlebih dahulu menelisik apakah yang akan dijadikan tersangka adalah bagian dari rantai pelaku tindak pidana atau malah korban yang hak hukumnya mesti dilindungi.

Tanpa bermaksud mencampuri cara kerja Polres Bolmong, dengan hanya menjerat pengedar tanpa memperdulikan apakah yang didudukkan sebagai tersangka itu boleh jadi adalah korban yang terjerumus karena ketidak-tahuannya, polisi telah dengan sengaja mengabaikan keluhuran Tri Brata dan Catur Prasetya. Jangan salahkan kalau kemudian ada simpulan, patut diduga Polres Bolmong sedang mempraktekkan modus klasik tebang pilih dan –lebih buruk lagi—mengalihkan perhatian publik dari kasus lain, misalnya penyalahgunaan dana MaMi di DPR Boltim.***