Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, June 24, 2013

‘’Pulitik Memang Kras, Uyo”


HANYA satu-dua jam setelah hasil Pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu (KK) mengindikasikan kandidat mana yang menjadi pemenang, pesta demokrasi ini sudah mencapai kulminasi. Senin malam (24 Juni 2013) ini, pasangan Tatong Bara-Jainudin Damopolii (TB-JD), tim sukses (TS), dan pendukungnya masih larut dalam pesta kemenangan. Tapi ketika matahari merekah besok, hidup akan kembali seperti hari-hari sebelumnya.

Tiga hari terakhir, menjelang hari H dan ketika Pilwako digelar, saya mencatat banyak hal yang mengundang gelak dari cara warga KK mengekpresikan pandangan dan sikap mereka terhadap hajat demokrasi ini. Tatkala para kandidat mulai mengeluarkan amunisi, ‘’menyerang’’ para konstituen dengan berbagai iming-iming (terutama duit) di dua hari terakhir masa tenang, komedi politik juga mulai dipentaskan.

Para kandidat, tim sukses (TS), dan pendukungnya mungkin mengira ‘’serangan umum 24 jam’’ itu memberi pengaruh signifikan terhadap perpindahan pilihan pemilih dari satu kandidat ke kandidat lain. Saya berkeyakinan sebaliknya, karena jauh-jauh hari mayoritas warga KK sesungguhnya sudah menjatuhkan pilihan, ada atau tidak ‘’serangan umum 24 jam’’ itu.

Kepada sejumlah politikus, juga wartawan, yang bersua di restoran ikan bakar di ujung Mogolaing pada Senin malam (10 Juni 2013), saya meramalkan pasangan manapun yang akan terplih (dari empat pasang kandidat yang bertarung), perolehannya ada di kisaran 42-45 persen total suara sah. Dasar analisis saya, di tengah rivalitas TB-JD dan Djelantik Mokodompit-Rustam Simbala (RS), Muhamad Salim Lanjar-Ishak R Sugeha (MSL-IRS) tiba-tiba menguat karena Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, turun gunung mendukung pasangan ini.

Bupati yang akrab disapa Eyang, yang juga adik kandung MSL ini, berhasil menarik minat konsituen Pilwako untuk memberi perhatian pada pasangan yang dia dukung. Eyang adalah orator dan persuator ulung. Sayangnya, tewasnya Abdullah ‘’Ayu’’ Basalamah mengubah situasi yang mulanya telah memberi sinyal menguntungkan MSL-IRS. Gosip dan duga-duga tak mendasar, yang mengait-ngaitkan Eyang dengan tragedi itu, membuat ‘’krebilitasnya’’ goyah dan berimbas langsung pada MSL-IRS.

Andai tak ada tragedi Ayu (doa saya untuk Almarhum), peta perolehan suara para kandidat di Pilwako KK mungkin agak berbeda dengan apa yang tersaji saat ini.

Kembali pada respons warga terhadap apa yang dilakukan para kandidat, salah satu yang terkesan naif namun khas orang Mongondow, diekspresikan oleh seorang kakek yang bermukim di wilayah Lolayan. Di tengah riuhnya pembagian ‘’serangan umum’’, menukil BlackBerry Messenger (BBM) yang saya terima, dia dengan santai berkomentar: ‘’Masa na’a, komintan calon legislatip (kata ini sesuai aslinya) bo kapala daerah tatap bi’ mo bogoi aka aindon momili’. Aka ko-inako’, anggap don no bali’ kabiasaan don tua, na’ mo gutat. Aka oyu’on ta dia’ no bogoy, dega kinoliongan-nea, nodait don in ta sinadia, atau kita ta dia’ don noko uma.’’

Menurut kakek yang patut kita acungi jempol ini, ‘’Da’ tatap bi’ mo mili’ in pilihan naton tontani, ta korasa’an naton ta mopira, nobogoy ka dia’ in sia. Sin serangan tua tonga’ bi’ hiburan ko’i nanton. Sin aka aindon noi-litu’, ta onda in ugat mo bogoy, sia-sia bi’ doman in ugat mo gakut.’’

Pernyataan itu sungguh kearifan yang luar biasa. Terlebih bukan datang dari para pemikir, teoritikus, dan praktisi politik yang bergerombol di sekitar para kandidat, yang menganggap para pemilih mudah disilaukan iming-iming Rp 100 ribu, Rp 300 ribu, atau bahkan Rp 500 ribu. Orang Mongondow di KK tahu persis, ‘’ta onda in ugat mo bogoy, sia-sia bi’ doman in ugat mo gakut’’.

Sama dengan keyakinan sebagian besar warga yang bertekad, pasangan mana saja boleh jadi pemenang, kecuali DjM-RS. Keyakinan ini melahirkan kelucuan lain seperti yang terjadi di salah dari bagian kota di saat perhitungan suara masih berjalan. Ketika itu, kisah saksi mata kejadian, seorang pendukung DjM-RS sesumbar telah menyediakan berkarung-karung tissue yang akan digunakan pendukung kandidat lain menyeka airmata.

Begitu peta suara perolehan para kandidat menunjukkan TB-JD dipastikan jadi pemenang, berbondong-bondong orang mendatangi kediaman penyokong DjM-RS itu dan menghaburkan tissue toilet di sepanjang jalan di depan rumahnya. Menurut hemat saya, yang terjadi bukan balas dendam, tetapi cara orang Mongondow menuntaskan greget tanpa menjadi anarki. Dengan pikiran jernih dan terbuka, menghamburan tissue toilet itu justru menjadi humor yang bakal dibicarakan berhari-hari setelah gegar Pilwako berlalu.

Demikian pula dengan komentar-komentar yang lalu-lalang selama proses perhitungan suara berlangsung. Misalnya, ketika saya mengirim BBM menanyakan adakah yang tahu di mana Sehan Lanjar berada, balasan yang tiba membuat saya terbahak-bahak: ‘’Eyang ada samantara kompres depe kapala. Kase turung saki kapala karna lia ini Laris (tagline yang digunakan MSL-IRS) pe perolehan suara.’’

Tentu itu karang-karangan belaka. Tidak berbeda dengan BBM panjang yang saya terima, yang menggambarkan bahwa di kediaman DjM di Mongolaing dipenuhi orang-orang, yang berkerumun tanpa suara. Yang lucu adalah imbuhannya, ‘’Dorang ada ba tunggu DjM ada samantara uru. Baru abis pololok lei, gara-gara inimbalu’ in quick count.’’

Yang lebih dramatis lagi, mereka yang keluar dari kediaman DjM dilukiskan bagai habis mengunjungi kedukaan. Wajah penuh kesedihan dengan mata memerah seperti habis menumpahkan tangis. Tangis yang sama ternyata juga ditumpahkan para pendukung TB-JD. Pokoknya, kata sang pemotret suasana, ‘’Orang-orang yang pake atribut Kota Untuk Semua manangis baku polo di pinggir jalan, persis hari raya….’’

Namun, menurut saya, momen skala baterek-nya paling luar biasa adalah kretivitas sejumlah orang yang tiba-tiba berkumpul, menghiasi bentor berwarna kuning dengan balon-balon sewarna, menaikkan ke mobil pick-up, siap diarak diiringi barisan sepeda motor dengan pengendara dan yang dibonceng ber-tolu (topi caping), menenteng buah pinang dan pisang.

Sewaktu ditanyai apa yang akan mereka lakukan, jawabannya sungguh kocak dan sekaligus memiriskan: ‘’Mo ka Rudis. Mo kase pinang pa DjM kong abis itu mo antar dengan bentor ka Lolan.’’

Politik memang milik para pemenang. Siapa yang peduli baru beberapa jam lalu Djelantik Mokodompit adalah Walikota KK yang disegani, dijunjung, dan dipatuhi? De facto dia telah kalah dalam kompetisi sangat ketat yang dilalui dengan segala strategi dan taktik yang mungkin dilakukan, termasuk yang kotor sekali pun. Dan kalah berarti minggir dan dipinggirkan, tak peduli dengan cara sopan atau kurang ajar.

Kalau pun ada yang peduli, paling-paling hanya bersimpati dengan komentar khas Mongondow (yang juga saya terima via BBM), ‘’Pulitik memang kras, Uyo. Poko sabar don, sin lima notaong na’a kami in no sabar doman.’’***